PROFESI PENDIDIKAN
-

Rabu, 18 Maret 2009

SOSIALISASI PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

Kegiatan Sosialisasi Program Perluasan dan Peningkatan Mutu Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus berlangsung selama 3 (tiga) hari mulai dari tanggal 12 s/d 14 April 2007 bertempat di UPTD PKB Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa tenggara Timur Jln. Perintis Kemerdekaan Kota Baru Kupang. Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Bapak Ir. Thobias Uly, M. Si.

Kegiatan ini berlangsung lancar dan tertib dengan jumlah peserta 105 orang dengan melibatkan unsur-unsur Kepala Sekolah/Guru SLB, Sekolah Terpadu, Penyelenggara Akselerasi, Komite Sekolah dan Staf Sub Dinas PLBK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Tujuan pemberian subsidi ini adalah untuk mewujudkan perluasan dan pemerataan pendidikan melalui kesempatan memperoleh pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan melalui penyelenggaraan pembelajaran yang bermutu, mendorong sekolah untuk melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan di sekolah serta mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

sumber : http://www.subdinplbk-ntt.com/2007/index.php?menu=news&id_news=51

Anak Pengungsi Atambua Butuh Pendidikan Layanan Khusus

Thursday, 27 March 2008

Mandikdasmen (Atambua, NTT): "Tatapan anak-anak itu begitu penuh harapan ketika kami datang" BEGITULAH petikan yang diutarakan oleh salah satu staf dari lima staf dari Direktorat Pembinaan SLB yang datang khusus melihat secara dekat kondisi anak-anak pengungsi di Atambua, Nusa Tenggara Timur, perbatasan dengan Timor Leste, awal Maret lalu.

Setelah Timor Timur (Timtim) berdaulat menjadi Timor Leste beberapa tahun lalu kemudian disusul dengan kondisi politik dan keamanan Timor Leste bulan Februari 2008 yang tidak kondusif, mengakibatkan banyak pengungsi yang 'lari' ke wilayah RI, Atambua.

Para pengungsi itu ditempatkan dibeberapa wilayah di NTT. Biasanya tempat tinggal mereka dekat dengan markas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Hal ini agar para pengungsi dapat dipantau lebih dekat oleh pihak keamanan.

Untuk perjalanan darat dari ibukota NTT yaitu Kupang menuju Atambua akan menempuh waktu enam hingga tujuh jam. Melewati empat kabupaten, yaitu Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Bone.

Sementara perjalanan lewat udara, kurang dari setengah jam. Namun jadwal perjalanan melalui udara terbatas. Pesawat kecil yang dapat mengangkut puluhan orang itu hanya ada dua minggu sekali.

Ribuan Anak Pengungsi

Ada tiga titik wilayah konsentrasi di Kabupaten Belu yang menjadi target pelayanan pendidikan di wilayah Kecamatan Kota Atambua ini yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin.

Anak-anak korban konflik dan anak pengungsi di wilayah ini mencapai ratusan. Bahkan kabarnya bisa lebih dari 1.000 anak.

Anak-anak ini merupakan anak berusia sekolah 7-18 tahun. Mereka terdiri dari anak-anak yatim-piatu, anak-anak yang terpisah karena orang tuanya masih berada di Timor Leste, dan anak pengungsi dari orang tua yang ekonomi tidak mampu.

Bantuan Alat

Pada dasarnya mereka sudah mengenal baca, tulis dan hitung. Sehingga tidak ada kesulitan dalam pengembangan pendidikan selanjutnya.

Sehingga pihak pengelola layanan pendidikan di ketiga kelurahan ini menginginkan pendidikan yang layak bagi anak-anak pribumi yang kurang mampu dan anak-anak pengungsi ini. Karena saat ini sarana dan fasilitas masih terbatas. Selain buku-buku pelajaran, diperlukan sarana keterampilan seperti alat bengkel otomotif, alat tenun, alat jahit, dan alat boga.

"Kami mohon bantuan untuk penye-diaan fasilitas proses belajar mengajar dan sarana keterampilan lainnnya. Pasalnya saat ini sarana belajar dan keterampilan belum memadai. Saat ini anak-anak belajar di ruang kelurahan," kata Mikhael Mali sekalu Kepala Kelurahan Fatubanao.

Anak-anak yang ditampung dalam proses belajar mengajar di Fatubanao ada sebanyak 60 anak. Mereka berusia antara 12-19 tahun ini merupakan campuran dari anak-anak pribumi Atambua dan anak-anak eksodus dari Timor Leste.

Sementara di Kelurahan Tenuki'ik ada sebanyak 20 anak yang berusia 13-17 tahun. Sebanyak 16 anak diantaranya merupakan anak pengungsi.

Sedangkan di Kelurahan Manumutin ada sebanyak 35 anak. Seluruhnya anak pengungsi. Sebanyak 33 orang merupakan usia sekolah yaitu 16-18 tahun. Dua orang lainnya berusia 19 tahun dan 30 tahun.

Layanan Tutor

Selama ini, anak-anak itu diberikan pembekalan pendidikan dan keterampilan oleh lima tutor yang dibina oleh Yayasan Purnama Kasih. Agar para tutor ini merasa nyaman dalam membina anak-anak pengungsi itu, mereka diberikan honor Rp 600.000 dan sejumlah asuransi yaitu jaminan kecelakaan, jaminan kesehatan, jaminan hari tua dan jaminan kematian senilai Rp 2juta per bulan.

"Ini belumlah sebanding dengan pengabdian mereka dalam membina anak-anak ini," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih.

Saat ini mereka belajar dua hari dalam seminggu. Satu hari mereka belajar formal dan hari lainnya belajar keterampilan selama 2-3 jam. Anak-anak yang ditampung dalam pelayanan pendidikan ini nantinya akan bergabung dalam Sekolah PLK di Atambua.

"Mereka akan memperoleh 20 persen muatan pendidikan formal dan 80 persen keterampilan dengan kearifan lokal," kata Ahryanto.

Anak Pengungsi Itu Jadi Penambang Batu

Ketiga kelurahan di Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu, yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin merupakan daerah rawan kriminal seperti pemalakan, penodongan, perampokan, perkelahian dan pembunuhan. Banyak juga yang suka mengemis.

"Pada dasarnya para pengungsi ini memiliki karakter yang mudah curiga dengan orang, terutama orang asing," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih yang menjadi pemandu perjalanan ke Atambua. Namun hal tersebut dapat diminimalisir karena sebagian besar wilayah ini dikuasai oleh TNI-AD.

Anak-anak yatim-piatu dan mereka yang terpisah dengan orang tuanya, biasanya ditampung oleh para sanak keluarga yang berada di Atambua. Namun keluarga yang menampung anak-anak ini juga tidak sanggup untuk membiayai sekolah mereka.

Bagi anak-anak pribumi (Atambua) dari keluarga yang kurang mampu mereka mesti bertahan hidup bersama orang tuanya dengan berkebun atau berdagang, bahkan tak sedikit yang menjadi tukang ojek.

Sementara anak-anak pengungsi dan korban konflik tidak banyak yang bisa mereka lakukan, sehingga hal ini yang menyebabkan kerawanan di daerah tersebut. Namun anak-anak yang mandiri, mereka akan ikut serta menjadi 'penambang' batu kali. Jumlah penambang batu ini mencapai ratusan anak usia sekolah.

Anak-anak tersebut menjadi penambang untuk menyambung hidupnya, karena kabarnya tidak banyak keluarga setempat yang mau memelihara mereka karena berbagai macam alasan.

Batu kali itu dikumpulkan dari sepanjang Sungai Talao, yaitu sungai besar yang melintasi Kota Atambua di wilayah Fatubanao. Setiap rit atau sekitar tiga kubik batu yang telah dipecahkan atau batu-batu kecil dihargai Rp 200.000. Lalu batu-batu itu dijual kepada agen digunakan sebagai pembangunan jalan, atau pengecoran bangunan.

sumber : http://mandikdasmen.aptisi3.org/index.php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=34

MOBILLE SCHOOL LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK MASYARAKAT YANG TERPINGGIRKAN DI KOTA BANDUNG.

Deklarasi dakar tahun 2000 tentang pendidikan untuk semua (PUS) yang berisi 6 pokok, mengisyaratkan semua negara yang menandatangani meratifikasi UU pendidikan di negaranya masing-masing. Indonesia adalah salah satu negara tersebut, melalui UU sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 mencanangkan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun (Wajar Dikdas). Untuk itulah menuju PUS Indonesia memakai Wajar dikdas sebagai Implementasinya.

Kita mengetahui bahwasannya pendidikan merupakan hak setiap orang tanpa memandang status ekonomi, status sosial, dan lain sebagainya. Oleh karena itu pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah lokal harus berupaya menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Pemerintah lokal telah dapat menyelenggarakan bentuk layanan pendidikan secara formal, yaitu pendidikan yang dilaksanakan di tempat yang telah disediakan seperti sekolah.

Namun bagaimana dengan bentuk layanan pendidikan non formal?. Layanan pendidikan non formal dapat diartikan sebagai bentuk layanan pendidikan diluar jalur formal misalkan proses pendidikan di tempat kursus, bimbingan belajar, kejar (kegiatan belajar) paket A B C, dan tempat belajar lain diluar sekolah. Model-model layanan pendidikan non formal ini biasanya diselenggarakan pada sebuah tempat yang sifatnya menetap. Namun kelemahan model ini adalah masih adanya beberapa kalangan masyarakat yang belum tersentuh layanan pendidikan. Oleh karenanya dibutuhkan cara-cara kreatif dari pihak yang berwenang untuk mengatasi masalah ini. Pemerintah Kota Bandung telah menemukan cara-cara kreatif untuk menanggulangi masalah seperti tersebut diatas dengan menggunakan pola sekolah bergerak untuk kebutuhan layanan pendidikan bagi masyarakat yang terpinggirkan. Konsep yang ditawarkan adalah dengan konsep mobille school. Dengan konsep ini diharapkan agar seluruh warga kota Bandung yang belum tersentuh pendidikan dapat menggunakan fasilitas tersebut tanpa mengelurkan biaya sedikitpun, karena mobille school yang pada operasionalnya dengan menggunakan kendaraan bergerak menjangkau mereka. Konsep mobile school merupakan program yang dirancang untuk menjaring siswa putus sekolah atau drop out (DO), khususnya anak jalanan agar termotivasi kembali ke bangku pendidikan.

Pemerintah akan menjamin mereka yang termotivasi untuk disalurkan ke sekolah-sekolah terdekat dengan cara menjalin kerja sama dengan sekolah-sekolah agar calon siswa yang tertarik bisa langsung disalurkan sesuai dengan kebutuhannya, baik melalui jalur pendidikan formal maupun informal. Pengawasan program dilakukan pihak terkait setiap saat agar pelayanan pendidikan dengan konsep ini dapat mengena dan tepat sasaran. Masyarakat dapat turut berpartisipasi, agar proses layanan pendidikan dengan mobile school dapat berjalan dengan lancar. Karena pendidikan adalah investasi dan kunci untuk memajukan bangsa dari ketertinggalan.

sumber :http://duniapendidikan.wordpress.com/2007/12/09/mobille-school-layanan-pendidikan-untuk-masyarakat-yang-terpinggirkan-di-kota-bandung/

Pendidikan Layanan Khusus untuk Daerah-daerah Bencana

Jakarta, Kompas - Model pendidikan di daerah pascabencana gempa bumi dan tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut) hendaknya disertai kebijaksanaan dan perlakuan khusus, mengingat situasinya sangat tidak normal dibandingkan daerah-daerah lainnya. Perlakuan serupa juga harus diberikan kepada daerah-daerah yang sebelumnya dilanda gempa bumi, seperti Alor di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nabire di Papua.

Pendidikan layanan khusus bisa diwujudkan antara lain dengan membangun sekolah berasrama atau pesantren. Terhadap siswa dan mahasiswa yang kehilangan dokumen dalam melanjutkan pendidikan, seperti ijazah dan rapor, harus diberikan kemudahan administratif.

Demikian kesimpulan Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Menteri Pendidikan Nasional di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, Kamis (13/1). Rapat yang dipimpin Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi tersebut secara khusus membahas langkah-langkah penanganan pascabencana alam di NAD dan Sumut, serta Papua dan NTT.

Pada kesempatan itu, Mendiknas Bambang Sudibyo antara lain didampingi Sekjen Depdiknas Baedhowi, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi, dan Dirjen Pendidikan Tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro.

Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin menegaskan, pendidikan layanan khusus di daerah bencana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 32 Ayat (2) berbunyi: pendidikan layanan khusus diberikan kepada peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Berkaitan dengan itu, Mendiknas telah menyiapkan langkah-langkah penanganan jangka pendek (1-6 bulan) dan jangka panjang (4-5 tahun). Penanganan jangka pendek bertujuan memulihkan kembali kelangsungan proses pembelajaran dalam situasi darurat. Tahapan ini mencakup pendidikan formal (persekolahan) dan non formal (luar sekolah).

Pada jalur formal, Depdiknas sedang membangun sekolah tenda dengan kapasitas 40 orang per kelas. Setiap kelas ditangani tiga orang guru. Sekolah darurat didirikan di sekitar lokasi pengungsian sehingga kegiatan belajar-mengajar sudah bisa dimulai paling lambat 26 Januari 2005.

Guru bantu

Khusus untuk wilayah NAD, Depdiknas juga segera mengisi kekurangan tenaga guru yang meninggal akibat bencana. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi mengatakan, pada tahap awal, guru bantu yang ditugaskan di NAD tidak lain adalah para guru bantu yang baru saja dikontrak untuk daerah itu.

"Kebetulan, pada akhir 2004, di NAD telah dikontrak sekitar 3.000 guru bantu. Untuk sementara mereka itulah yang diterjunkan mengisi kekurangan guru di daerahnya," ujar Indra.

Ia menambahkan, jumlah yang dibutuhkan untuk bertugas di sekolah-sekolah darurat di sekitar kamp pengungsi sekitar 2.800 orang. Daripada gegabah mengontrak guru bantu baru, akan lebih efektif jika guru yang sudah telanjur dikontrak tadi difungsikan secara optimal.

Lagi pula, secara sosio-kultural, para guru bantu tersebut sudah paham situasi masyarakat Aceh. Peran ganda mereka sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangat hidup para murid dan guru agar bisa melupakan trauma bencana.

"Jika nanti ternyata masih dibutuhkan tambahan guru bantu, tentu ada perekrutan guru bantu sesuai jumlah yang dibutuhkan," ujar Indra.

Jumlah yang dibutuhkan disesuaikan dengan jumlah sekolah darurat maupun sekolah permanen yang didirikan pascabencana. Sekolah darurat maupun sekolah permanen yang dibangun itu mungkin hanya 70-80 persen jumlahnya dari sekolah yang rusak. Sebab, dua-tiga sekolah yang kekurangan murid dapat digabung jadi satu.

Pada jalur nonformal, Depdiknas dan para relawan dalam situasi darurat belakangan ini memberikan layanan pendidikan untuk membangkitkan semangat hidup para korban di kamp-kamp pengungsi. Layanan yang dimaksud berupa program pendidikan anak usia dini bagi usia 0-6 tahun, taman bacaan masyarakat bagi anak usia 7-18 tahun, serta kecakapan hidup bagi usia 18 tahun ke atas.

Kepada pers seusai rapat, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan di daerah bencana akan tetap dilakukan. Karena situasinya tidak normal, waktu ujian akhir dan standar soalnya tentu dirancang khusus.

Meski begitu, Mendiknas mengisyaratkan akan tetap menerapkan standar angka kelulusan secara nasional. "Ibarat net untuk main voli, standar kelulusan itu harus tetap distandarkan. Kalau netnya kerendahan, semua orang nanti bisa men-smash," katanya.

Guna menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gempa dan tsunami, Komisi X meminta Depdiknas memperkaya muatan kurikulum SD hingga perguruan tinggi mengenai langkah antisipasi.

Berkait dengan penggunaan anggaran untuk pemulihan kegiatan pendidikan, Komisi X menekankan prinsip kehati- hatian. Depdiknas diminta melaporkan secara rinci jumlah dan asal bantuan serta rencana alokasinya. Paling lambat Februari 2005, Depdiknas diminta mengajukan rencana menyeluruh dari rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah bencana. (NAR/INE).

sumber : http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0501/14/humaniora/1499439.htm

Layanan Pendidikan Untuk Kaum Marginal Masih Terabaikan

(Tempo Interaktif) Direktur Direktorat Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional Ella Yulaelawati mengatakan layanan pendidikan bagi kaum marginal masih sangat minim. Beasiswa yang selama ini digulirkan pemerintah untuk membantu kaum marginal juga dinilai tidak efektif.

"Tidak cukup hanya dengan pemberian beasiswa. Pendidikan untuk kaum marginal harus dilakukan dengan empati," katanya dalam seminar dan sosialisasi pendidikan kesetaraan di Aula Masjid Baitussalam, Jakarta, Minggu (29/04).

Menurutnya, layanan pendidikan yang bersifat empati, salah satunya adalah dengan menggalakkan program pendidikan kesetaraan bagi kaum marginal. Selain lebih efektif, pendidikan kesetaraan juga dianggap lebih fleksibel dan tepat diterapkan pada kaum marginal. Sebab, selain bersifat nonformal, pendidikan kesetaraan juga mengajarkan keterampilan dasar yang dapat melatih peserta didiknya untuk lebih siap dalam menghadapi dunia kerja. "Dalam pendidikan kesetaraan, yang diajarkan bukan hanya keseriusan, tapi juga bermain. Bukan hanya logika, tapi juga empati," katanya.

Pendidikan kesetaran merupakan pendidikan nonformal yang mencakup program Paket A (setara dengan Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiah), Paket B (setara dengan Sekolah Menengah pertama atau Madrasah Tsanawiyah), serta Paket C (setara Sekolah Menengah Umum atau Madrasah Aliyah). Hasil pendidikan nonformal dihargai setara dengan hasil pendidikan formal, setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Sehingga, setiap peserta didik yang lulus ujian kesetaraan berhak melanjutkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. "Status kelulusan Paket C mempunyai hak eligibilitas yang setara dnegan pendidikan formal dalam memasuki perguruan tinggi atau lapangan kerja," katanya.

Ia manambahkan, pendidikan kesetaraan bukanlah hal yang baru. Ia mencontohkan, sebanyak 1,1 juta siswa di Amerika Serikat memilih pendidikan di sekolah rumah. Sedangkan di Inggris, sekitar 90 ribu orang memilih belajar di rumah daripada disekolah. "Hal yang sama juga terjadi Kanada dan Selandia Baru," katanya.

Di Indonesia sendiri, peserta didik pendidikan kesetaraan Paket B pada 2007 tercatat 535,072 orang. Angka ini jauh lebih tinggi dari jumlah peserta didik pendidikan kesetaraan pada 2003 yang hanya berjumlah 259,360. Sedangkan peserta didik pendidikan kesetaraan Paket A tahun ini berjumlah 105,468 orang. Jumlah kelulusan Paket B pada 2006 tercatat 310,287 orang dan Peket A sebanyak 27,821 orang. Untuk meningkatkan layanan pendidikan kesetaraan, ia menambahkan, Departemen Pendidikan Nasional telah menganggarkan dana sebesar Rp 260 ribu untuk setiap peserta didik Paket A per tahun dan Rp 238 ribu untuk peserta didik Paket B per tahun. Sedangkan untuk penyelenggara pendidikan kesetaraan, departemennya akan membantu dana sebesar Rp 1,8 juta per tahun untuk Paket A dan 2,4 juta per tahun untuk Paket B.

Selain mensosialisasikan pendidikan kesetaraan, ia juga memberikan bantuan berupa satu unit mobil kepada Yayasan Al Hikmah untuk menjalankan program pendidikan kesetaraan. Acara ini juga dihadiri Anggota Komisi X DPR Aan Rohanah dari Fraksi PKS dan Ahli bidang pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta Sukro Muhab.

sumber : http://www.kesetaraan.net/index.php?option=com_content&task=view&id=33&Itemid=1

DUNIA KAMPUS SENTRA LAYANAN PENDIDIKAN KHUSUS


Rabu, 19 Juli 2006
Direktorat Pendidikan Luar Biasa (PLB) mengubah paradigma layanan pendidikannya tidak saja mengurusi anak cacat yang selama ini disebut sebagai siswa luar biasa, tetapi juga siswa yang memiliki prestasi luar biasa seperti siswa pemenang lomba otak tingkat internasional siswa berbakat lainnya dalam bidang non-eksakta.
"Selama ini, PLB dikonotasikan sebagai direktorat yang menangani anak cacat. Padahal, mereka yang luar biasa itu termasuk anak-anak cerdas yang tergabung dalam kelas akselerasi. Mereka semua akan ditangani oleh layanan pendidikan yang disebut Sentra Layanan Pendidikan Khusus," kata Direktur PLB, Eko Djatmiko dalam penjelasannya kepada wartawan, di Jakarta, belum lama ini.
Perubahan paradigma ini sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang tidak menyebutkan satu pun mengenai sekolah luar biasa. Dalam UU Sisdiknas itu hanya ada pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus.
Menurut dia, pendidikan khusus - pendidikan bagi siswa yang yang tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau punya potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Saat ini sedikitnya ada sekitar 66.000 siswa SD-SLTA di Indonesia yang belum terlayani oleh PLB. Dari jumlah tersebut, 54.000 di antaranya siswa dari kelompok wajib belajar - SD-SLTP. Untuk mengatasi hal ini pemerintah terus meningkatkan pelayanan, termasuk pendidikan inklusif.
Eko Djatmiko menyebut anak-anak yang memerlukan pendidikan khusus, selain anak cacat yang selama ini telah ditangani PLB adalah mereka memiliki kecerdasan diatas rata-rata (IQ diatas 125), memiliki potensi bakat istimewa antara lain bidang musik, tari, bahasa, interpersonal hingga spiritual. Selain itu, mereka yang mengalami kesulitan belajar seperti dyslexia (baca), dysphasia (bicara), anak hiperaktif dan anak autis.
Menurut Eko, Sentra Layanan Pendidikan Khusus itu akan diujicobakan di 12 daerah di Indonesia. Ke-12 sentra pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus tersebut berlokasi di Medan, Batam, Lampung, Jakarta, Sumedang, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Mataram, Banjarmasin dan Makassar.
Jumlah ini terdapat pada peserta didik Sekolah Luar Biasa sebanyak 81.434 siswa yang terdiri dari 3.218 siswa tunanetra, 19.199 siswa tunarungu, 27.998 siswa tunagrahita ringan, 10.547 siswa tunagrahita. Sedang 1.920 siswa tunadaksa ringan, 553 siswa tunadaksa, 788 siswa tunalaras, 450 siswa tunaganda, 1.752 siswa Autis dan berkebutuhan khusus 10.338 siswa serta program percepatan belajar 4.671 siswa.
Pelaksanaan Pendidikan Layanan Khusus diperuntukan bagi Sekolah yang kesulitan geografisnya itu seperti di wilayah Bengkulu dan Sulsel dan Sekolah untuk kesulitan etnis minoritas seperti Badui dan Kubu. Kemudian, sekolah untuk daerah bencana alam, sekolah untuk kesulitan hambatan sosial seperti anak jalanan, pekerja anak, dan pengungsi, serta Sekolah untuk kesulitan hambatan ekonomi seperti anak miskin.
Dijelaskan, pendirian Sentra Layanan Pendidikan Khusus ini akan memanfaatkan sekolah luar biasa (SLB) pembina yang biasanya ada di masing-masing kabupaten/kota. Sekolah tersebut akan ditambah aneka fasilitas yang menampung semua anak-anak yang memerlukan pendidikan khusus.
Ia mencontohkan, fasilitas komputer yang ada di Sentra bukan hanya digunakan untuk kegiatan tulis menulis bagi lewat komputer, tetapi harus bisa memberi nilai lebih bagi anak sehingga lulusannya bisa menjadi seorang web designer dan membuat program komputer.
Satu kendala yang akan dihadapi pada pendirian Sentra Layanan Pendidikan Khusus ini adalah penyiapan tenaga pendidiknya. "Karena ini sekolah khusus, gurunya juga tidak bisa lagi yang standar seperti yang ada saat ini. Karena itu, selama masa persiapan kami akan memberi keterampilan tambahan kepada guru-guru yang akan terlibat dan Sentra Pendidikan Khusus," ucap Eko Djatmiko.
Keberadaan Sentra Pendidikan Khusus disambut Ketua Tim Pengerak PKK dan juga istri Menteri Dalam Negeri, RR Susyati Ma'ruf. Ia meminta kepada para istri Gubernur, Walikota dan Bupati di Indonesia untuk lebih memperhatikan hak azasi anak-anak untuk mendapat layanan pendidikan secara baik.
Pasalnya, sekarang ini angka putus sekolah terancam semakin meningkat menyusul sejumlah peristiwa bencana yang terjadi. "Anak jalanan, anak-anak korban gempa dan anak-anak yang kehilangan masa depannya karena konflik berkepanjangan di negeri ini tidak boleh sampai kehilangan haknya untuk tetap belajar dan memperoleh layanan pendidikan. Mereka menurut Undang Undang Sisdiknas dan UUD menjadi tanggungjawab negara dan kita bersama. Mereka sebaiknya ditangani secara khusus. Karena itu mereka menjadi tanggung jawab pendidikan khusus dan layanan khusus," katanya.
Menurut Susyati, istri dari pimpinan pemerintah daerah seharusnya menjadi pilar pertama dalam menyelamatkan anak-anak dari putus sekolah dan kehilangan masa depannya. Karena sebagai generasi penerus bangsa, negera ini membutuhkan manusia-manusia Indonesia yang berkarakter dan unggul.

sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=149788

Perhatian Khusus pada Pendidikan Khusus.


KabarIndonesia - Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan menghabiskan waktu dan merayakan hardiknas bersama siswa-siswi sekolah luar biasa Siswa Budhi Surabaya. Berdasarkan refleksi diri dari pengalaman berharga itulah artikel singkat ini ditulis.

Sejak diberlakukannya UU No.20/2003 tentang Sisdiknas, maka sejak saat itu istilah pendidikan luar biasa berganti nama menjadi pendidikan khusus, demi memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa itu sendiri. Namun sayang, meski istilahnya telah berubah, perhatian pemerintah maupun stigma keterbelakangan di masyarakat toh tidak juga berubah. Malah makin memarginalkan kaum yang sudah termarginalkan ini.

Contoh nyata yang dilakukan masyarakat misalnya masih adanya tindak diskriminatif terhadap penyandang cacat. Bahkan saya masih menemukan orang tua yang menganggap kurang penting menyekolahkan anaknya ke sekolah khusus (SLB). Lantas, masih pantaskah kita menuntut mereka untuk mandiri dan berguna bagi masyarakat / lingkungannya jika kita sendiri enggan membukakan peluang bagi mereka untuk berkembang?

Sedang contoh ketidak-adilan yang dilakukan pemerintah lebih kompleks lagi. Mulai dari ketidak tersediaan fasilitas hingga kurangnya perhatian akan kesejahteraan guru pendidikan khusus. Padahal dalam pendidikan khusus jelas dibutuhkan perhatian yang khusus pula. Diperlukan perhatian yang luar biasa pula untuk memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa.

Menyedihkan sekali melihat di sekolah luar biasa yang sempat saya cicipi itu tidak ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang sebetulnya sangat diperlukan oleh masing-masing ketunaan. Misalnya, tidak tersedia ruang bina persepsi dan kedap suara bagi anak-anak tunarungu, tidak ada juga ruang latihan orientasi mobilitas dan mesin braille bagi anak-anak tunanetra, bahkan permainan khusus bagi anak-anak tuna grahita pun tidak ada, semua itu karena keterbatasan dana. Tanpa penyediaan fasilitas-fasilitas itu, sangat mustahil kiranya untuk meningkatkan aksesibilitas, partisipasi, dan kesempatan belajar anak-anak berkebutuhan khusus ini.

Sudah saatnya kita semua serius dalam usaha peningkatan mutu pendidikan khusus. Supaya mereka dapat menjadi pribadi yang mandiri dan mampu bersaing dengan anak-anak normal lainnya. Hal ini bisa diwujudkan dengan banyak cara, diantaranya pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan tiap-tiap ketunaan, mengembangkan kurikulum berstandar nasional, termasuk meningkatkan kualitas para pengajar di pendidikan luar biasa.

Pemerintah wajib memberi peluang yang sama bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini untuk memperoleh pendidikan terpadu dan sesuai dengan karakteristik ketunaannya.

Jika kita mau mencoba melihat dunia dengan kacamata mereka, tentunya kita akan temukan dunia yang berbeda. Mereka mungkin berkelainan, mereka mungkin tidak beruntung, baik secara fisik, sosial, ekonomi, ataupun kultural. Tapi mereka juga anak-anak manusia, yang juga berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sama terbukanya seperti kita untuk mengenyam pendidikan yang layak.

sumber :
www.kabarindonesia.com

Kerajinan Peraga Pendidikan Khusus Anak




Thursday, 04 September 2008
Masa kanak - kanak adalah masa yang paling menyenangkan. Anak yang tumbuh dengan kasih sayang dan pendidikan yang baik. Akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang mandiri dan sesuai harapan orangtua.

Berbagai media pendidikan kini banyak dibuat khusus untuk anak -.anak. Dan ini rumahnya menjadi ladang bisnis tersendiri bagi Ibu Ida, salah satu pengusaha mainan anak dan alat peraga TK ini.

Rupanya pendidikan anak dan alat peraganya menjadi sumber inspirasi bisnis. Kini usahanya makin berkembang, dan sedikitnya lebih dari 40 karyawan kini aktif menjadi salah satu aset perusahaan yang ia kelola.


Berbagai jenis mainan anak TK. Yang bernuansa edukatif ada disini. Seperti puzzle, binatang, dan tumbuhan. Balok - balok mainan, replika, mobil, ayunan, buku pelajaran hingga, peralatan bermain musik dan olah raga. Bisa dibuat di pabrik yang luasnya sekitar lima ratus meter persegi ini.

Keunggulan produk, mainan ini, adalah semua desain dan bahan nya menggunakan produk local. Hampir semuai pengerjaan berbagai model mainan anak dilakukan dengan cara hand made.

Hasil dari tangan tangan terampil para pekerja sekitar. Mainan yang di buat cukup beragam, dan semuanya bernuansa edukatif.

Proses pembuatan berbagai model mainan dan alat peraga pendidikan ini, cukup sederhana. Dimulai dengan proses pemolaan yang sudah jadi di dalam kertas seketsa. Sesuai peruntukannnya. Semua bahan di potong dan dihaluskan diruangan khusus. Untuk mainan dari kayu.

Bahan kayu bisa digunakan kayu dari jenis albasia. kayu pinus maupun kayu olahan seperti kayu mdf. Bahan - bahan itu dipotong dengan gergaji mesin sederhana.

Kemudian dirangkai dan dihaluskan satu persatu. Setelah barang sudah menjadi rangka setengah jadi. Maka tibalah ke proses finising atau, pewarnaan.

Di tempat ini. Barang - barang yang sudah setengah jadi tersebut, diperhalus dan diberi warna. Pemakaian warna - warna mencolok yang berani. Sangat disukai anak – anak. Sehingga berbagai jenis puzzle atau balok mainan ini terlihat berwarna cerah dan menarik perhatian.

Tiap minggunya, tak kurang dari lebih dari seratus pesanan barang, kerap dipenuhi, CV Hanimo ini untuk memenuhi beragam keperluan alat peraga sekola TK senusantara. Berbekal ketekunan dan kesabaran menjalani usaha. Kini usaha Ibu Ida. Telah bisa menghidupi sedikitnya lima puluh orang karyawan berikut keluarganya.

sumber ;http://www.indofamilybisnis.com/index.php?option=com_content&task=vi

Pemerintah Lamban Atasi Pendidikan Khusus

JAKARTA (Media): Perhatian pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus atau special needs masih sangat minim.

Padahal, jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang menderita cacat seperti tuna netra, autistik, down syndrome, keterlambatan belajar, tuna wicara serta berbagai kekurangan lain, jumlahnya terus bertambah.

Pikiran di atas mengemuka dari Torey Hayden, pakar psikologi pendidikan dan pengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus asal Inggris (Kuliah Bahasa Inggris), yang juga telah menerbitkan buku berisi pengalamannya mengajar di Jakarta, kemarin.

Hayden mengungkapkan, jumlah anak dengan kebutuhan khusus di seluruh dunia terus bertambah. Kondisi serupa diperkirakan juga terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan, diperkirakan penderita autisme di dunia mencapai satu dari 150 anak.

"Itu baru penderita autis saja, belum berbagai kekurangan lain. Berdasarkan penelitian diperkirakan jumlah anak dengan special needs, dan kriteria lain juga terus bertambah pesat, diduga terkait dengan gaya hidup dan kontaminasi berbagai polutan," ungkap Hayden yang sembilan bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia itu.

Hayden menegaskan, idealnya pemerintah memberikan perhatian pada anak-anak dengan kebutuhan khusus, sama besarnya seperti yang diberikan pada murid-murid normal. Pasalnya, sebagian anak dengan kebutuhan khusus itu memiliki potensi intelektualitas yang tidak kalah dibandingkan teman-temannya sebayanya. Selain itu, pendidikan yang memadai serta disesuaikan dengan kebutuhan mereka juga akan membuat anak-anak tersebut, dapat hidup dengan wajar serta mengurangi ketergantungannya pada bantuan keluarga dan lingkungannya.

Namun, lanjut Hayden, dengan minimnya pendidikan yang diberikan pada mereka, anak-anak yang telanjur dicap cacat itu, justru akan menjadi beban sosial yang akan merepotkan keluarga dan lingkungannya. "Selain dibutuhkan jumlah sekolah yang memadai untuk mereka, juga diperlukan pola pendidikan yang tepat. Selain tentunya guru yang memadai dan benar-benar mencintai mereka," ujar penulis buku terlaris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, yang rencananya hari ini penulis yang kini tinggal di North Wales ini, bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) A Malik Fajar serta memberikan ceramah di Jakarta, Bandung serta Yogyakarta.

Untuk kasus Indonesia, konflik merebak di berbagai daerah, Hayden melihat dari berbagai sisi, telah membuat banyak anak mengalami trauma sosial. Mereka juga memerlukan pola pendidikan khusus berbeda dengan teman-temannya. Anak-anak yang pernah mengalami dan menyaksikan kekerasan, kata Torey, memerlukan pendekatan yang berbeda disesuaikan dengan kondisi psikologis mereka.

Anak-anak tersebut, urai Hayden, harus diyakinkan bahwa mereka dicintai lingkungannya. Selain memberikan muatan pendidikan formal, guru-guru pun, seharusnya mau mendengar keluh kesah mereka serta melakukan pendekatan psikologis lainnya.

"Ya, saya mendengar tentang kondisi di Indonesia. Jika kondisi traumatis itu dibiarkan begitu saja, kita tak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya setelah dewasa. Yang penting, bagaimana caranya agar anak-anak itu tetap memiliki harapan dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik, bahwa kondisi buruk yang terjadi sekarang bisa berubah nantinya," ujar Hayden.

Sementara itu, Haidar Bagir, Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah unggulan, dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, di tempat yang sama, sepakat dengan pikiran yang digulirkan Hayden. Haidar mengungkapkan, selain mengalami kekurangan jumlah sekolah yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, Indonesia pun harus melakukan perbaikan pada kurikulum pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.

"Padahal, jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD), disebutkan bahwa anak telantar dan anak cacat itu menjadi tanggungan negara. Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah sejauh mana amanat UUD itu bisa dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Namun, daripada menunggu pemerintah, kami mencoba bergerak lebih dahulu, termasuk memberikan Beasiswa bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah kami," tukas Haidar, Direktur Utama Mizan Publika, perusahaan yang menerbitkan buku-buku Torey Hayden.

Sumber: Media Indonesia, 7 September 2004

Baru 64.000 Anak Cacat Mendapat Pendidikan Khusus

Jakarta (ANTARA News) - Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi (YAB) Jakarta Ny RA Aryanto.

"Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu.

Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain.

"Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya.

Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembang dan memiliki keterampilan untuk mandiri.

Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.

sumber ; http://www.antara.co.id/arc/2007/12/16/baru-64000-anak-cacat-mendapat-pendidikan-khusus

Masyarakat Diajak Untuk Berpartisipasi dalam Pendidikan Keagamaan

Setelah keluarnya Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 14 taun 2005, dan Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007, masyarakat diajak untuk berpartisipasi dalam pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.
Dorongan sekaligus ajakan ini datang dari Kanwil Depag Sulut melalui Kakanwil Depag, yang didampingi Kabid Urusan Ibadah dan Pendidikan Agama Kristen (PAK) Drs Jifry Kawung dan Hubmas Pdt John Tiaar STh, Kamis (14/02).
Menurut Kawung, dasar hukum pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan tersebut berdasarkan PMA nomor 14 tahun 2005 tentang [edoman pelnyelenggaraan Sekolah menengah Teologi Kristen (SMTK) serta ujian negara, dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.
Untuk pengembangannya menurut dia, ada petunjuk tekni dan kurikulum yang dikeluarkan Dirje Bimas Kristen Depag RI untuk Sekolah Dasar Teologi Kristen (SDTK), Sekolah Menengah Pertama Teologi Kristen (SMPTK), dan Sekolah Menengah Agama Kristen (SMTK).
“Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yagn mempersiapkan peserta didik mejadi anggota masyarakat yang emmahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agaman dan menjadi ahli ilmu agama,” tambahnya.
Pendidikan keagamaan jelas dia, merupakan salah satu pilar utama untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam pasal 3 UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
Sementara itu tentang tujuan pendidikan keagamaan tambahnya, pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang memperisiapkan peseta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan atau menjadi ahli ilmu agama dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
“Berdasarkan hal inilah kami mengharapkan pada seluruh yayasan, sinode gereja-gereja, atau pimpinan gereja, sekiranya dapat menyelenggarakan Sekolah Menengah Teologi Kristen, bahkan dari tingkat SD,” tambahnya. (lex)


sumber : http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2008/feb_15/lkMim001.html

Depag Tak Sanggup Berikan Pendidikan Bermutu

Jakarta – Menteri Agama M Maftuh Basyuni mengatakan Departemen Agama (Depag) tidak yakin mampu memberi pelayanan pendidikan yang bermutu. Alasannya anggaran untuk pelaksanaan program pokok pendidikan yang kini diterima sangat kecil.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Paskah Suzetta mengamini pernyataan Menag. Namun, Bappenas menyesalkan rendahnya kontribusi pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran untuk pendidikan keagamaan (madrasah), karena urusan pendidikan agama bukan lagi melulu beban Departemen Agama.
“Kami di Depag berharap mendapat anggaran yang lebih wajar dalam rangka meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu. Sesuai dengan UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga mengamanatkan bahwa dana pendidikan dialokasikan sekurangnya 20 persen dari APBN dan APBD di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Kami minta yang wajar,” kata Maftuh Basyuni dalam rapat kerja gabungan Komisi VIII dan X DPR di Jakarta, Senin (10/7). Rapat tersebut juga dihadiri oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo dan Kepala Bappenas Paskah Suzetta.
Karena itu, setidaknya Depag memerlukan tambahan anggaran sebesar Rp 4,24 triliun untuk membiayai program dan kegiatan mendesak yang belum tertampung dalam APBN 2006. Maftuh juga menjelaskan pihaknya akan membentuk panitia kerja (panja) bersama Mendiknas dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) guna mengatasi adanya diskriminasi dalam anggaran pendidikan anatara departemen pendidikan dan Depag.

Bukan Beban Depag
Pihaknya akan melakukan pembicaraan awal yang intensif dalam waktu dekat. Hal itu terkait dengan alokasi anggaran pendidikan nasional yang 84% masuk ke Depdiknas.
Menag menilai ada diskriminasi anggaran pendidikan terhadap pihaknya. Ihwalnya, 20 persen anggaran pendidikan yang diambil dari APBN, sekitar 84 persen untuk pendidikan nasional dan hanya 16 persen untuk pendidikan agama. Namun, di Depag, anggaran tersebut dibagi menjadi 2, yaitu untuk pendidikan agama dan gaji pegawai. Untuk Diknas, dana itu khusus untuk anggaran pendidikan.
Rendahnya anggaran pendidikan di Depag tersebut disesalkan Kepala Bappenas Paskah Suzetta. Ia juga menyesalkan rendahnya kontribusi pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran untuk pendidikan keagamaan (madrasah). Menurutnya, pendidikan keagamaan tidak lagi menjadi wewenang pemerintah pusat, yakni Departemen Agama.
Menurut Paskah, sekolah umum yang dikelola Depdiknas berbeda dengan sekolah keagamaan yang telah didesentralisasikan dan APBD memiliki kontribusi. Perbedaan juga terjadi dalam hal tunjangan kesejahteraan guru yang bersumber dari APBD.
Oleh karena itu, yang dibutuhkan saat ini adalah formulasi baru agar daerah bisa memberi kontribusi juga kepada pendidikan keagamaan di daerahnya dan tidak hanya memberatkan pada kebijakan pemerintah pusat.
Sementara itu, Depag mengusulkan anggaran untuk tahun 2007 sebesar Rp 21,4 triliun. Namun, Depag hanya memperoleh pagu sementara sebesar Rp 10,7 triliun untuk membiayai 5 fungsi dan 21 program Depag. Dari pagu sementara itu, anggaran untuk pendidikan agama hanya Rp 3,6 triliun. (inno jemabut)


Jakarta – Menteri Agama M Maftuh Basyuni mengatakan Departemen Agama (Depag) tidak yakin mampu memberi pelayanan pendidikan yang bermutu. Alasannya anggaran untuk pelaksanaan program pokok pendidikan yang kini diterima sangat kecil.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Paskah Suzetta mengamini pernyataan Menag. Namun, Bappenas menyesalkan rendahnya kontribusi pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran untuk pendidikan keagamaan (madrasah), karena urusan pendidikan agama bukan lagi melulu beban Departemen Agama.
“Kami di Depag berharap mendapat anggaran yang lebih wajar dalam rangka meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu. Sesuai dengan UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga mengamanatkan bahwa dana pendidikan dialokasikan sekurangnya 20 persen dari APBN dan APBD di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Kami minta yang wajar,” kata Maftuh Basyuni dalam rapat kerja gabungan Komisi VIII dan X DPR di Jakarta, Senin (10/7). Rapat tersebut juga dihadiri oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo dan Kepala Bappenas Paskah Suzetta.
Karena itu, setidaknya Depag memerlukan tambahan anggaran sebesar Rp 4,24 triliun untuk membiayai program dan kegiatan mendesak yang belum tertampung dalam APBN 2006. Maftuh juga menjelaskan pihaknya akan membentuk panitia kerja (panja) bersama Mendiknas dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) guna mengatasi adanya diskriminasi dalam anggaran pendidikan anatara departemen pendidikan dan Depag.

Bukan Beban Depag
Pihaknya akan melakukan pembicaraan awal yang intensif dalam waktu dekat. Hal itu terkait dengan alokasi anggaran pendidikan nasional yang 84% masuk ke Depdiknas.
Menag menilai ada diskriminasi anggaran pendidikan terhadap pihaknya. Ihwalnya, 20 persen anggaran pendidikan yang diambil dari APBN, sekitar 84 persen untuk pendidikan nasional dan hanya 16 persen untuk pendidikan agama. Namun, di Depag, anggaran tersebut dibagi menjadi 2, yaitu untuk pendidikan agama dan gaji pegawai. Untuk Diknas, dana itu khusus untuk anggaran pendidikan.
Rendahnya anggaran pendidikan di Depag tersebut disesalkan Kepala Bappenas Paskah Suzetta. Ia juga menyesalkan rendahnya kontribusi pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran untuk pendidikan keagamaan (madrasah). Menurutnya, pendidikan keagamaan tidak lagi menjadi wewenang pemerintah pusat, yakni Departemen Agama.
Menurut Paskah, sekolah umum yang dikelola Depdiknas berbeda dengan sekolah keagamaan yang telah didesentralisasikan dan APBD memiliki kontribusi. Perbedaan juga terjadi dalam hal tunjangan kesejahteraan guru yang bersumber dari APBD.
Oleh karena itu, yang dibutuhkan saat ini adalah formulasi baru agar daerah bisa memberi kontribusi juga kepada pendidikan keagamaan di daerahnya dan tidak hanya memberatkan pada kebijakan pemerintah pusat.

Sementara itu, Depag mengusulkan anggaran untuk tahun 2007 sebesar Rp 21,4 triliun. Namun, Depag hanya memperoleh pagu sementara sebesar Rp 10,7 triliun untuk membiayai 5 fungsi dan 21 program Depag. Dari pagu sementara itu, anggaran untuk pendidikan agama hanya Rp 3,6 triliun. (inno jemabut)

sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0607/11/nas06.html

Asah Pendidikan Keagamaan Pada Anak

Pontianak,- Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.

“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.

Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.

Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.

Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.

Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.

Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi)< Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.

“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.

Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.

Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.

Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.

Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.

Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah.

sumber : http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Kota&id=148709

PENDIDIKAN KEAGAMAAN: Anggaran Depag Masih Jauh dari Ideal

SUKADANA (Ant/Lampost): Bupati Lampung Timur H. Satono pada Hari Amal Bakti (HAB) ke-63 Departemen Agama (Depag) di Sukadana, Lampung Timur, Rabu (7-1), mengatakan anggaran pendidikan di departemen tersebut jauh dari ideal.
"Kendati pemerintah terus menerus meningkatkan anggaran pendidikan Depag di luar pendidik dan tenaga pendidikan, tetapi dinilai masih kurang," kata dia.
Ia menyebutkan berdasarkan data dari Departemen Agama, dari tahun ke tahun pemerintah telah berupaya untuk terus meningkatkan anggaran pendidikan di Depag.
Sebagai gambarannya, anggaran pendidikan Depag di luar pendidik dan tenaga pendidikan tahun 2005 sebesar Rp3,284 triliun, dan pada 2009 direncanakan jumlahnya mencapai Rp14,888 triliun.
Menurut dia, peningkatan jumlah anggaran tersebut masih jauh dari jumlah ideal yang diharapkan.
"Dengan anggaran yang terbatas itu, kita harus mampu menyusun prioritas program dan kegiatan yang secara signifikan memberi sumbangan bagi peningkatan mutu pendidikan agama dan keagamaan," ujarnya.
Satono mengharapkan anggaran pendidikan itu harus dimanfaatkan sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) pemerintah dan rencana strategis Depag.
Di tengah-tengah keterbatasan anggaran yang mendera lembaga-lembaga pendidikan agama dan keagamaan, ia menegaskan bahwa kita tidak boleh patah arang atau putus semangat dan bersikap apatis, tetapi kita harus tetap yakin dan bekerja keras untuk mendayagunakan segala potensi yang ada.
"Anggaran yang terbatas justru harus menjadi tantangan agar kita lebih cerdas dan inovatif menentukan pilihan program dan kegiatan yang tepat sasaran," kata Satono pula.
Terkait peringatan HAB tersebut, Kantor Depag Lamtim sebelumnya telah menyelenggarakan berbagai macam perlombaan yang bertujuan untuk memupuk silaturahmi dan mempererat tali persaudaraan.
Adapun lomba yang diselenggarakan adalah tenis meja, bola voli, catur, tarik tambang, dan bulu tangkis yang diikuti para pegawai dinas terkait.
Pada kesempatan itu, panitia juga mengadakan lomba nasi tumpeng dan makanan nonberas seperti nasi oyek, tiwul, dan nasi jagung yang diikuti oleh para guru MAN, MIN, dan MTs.
Hadir pada acara tersebut para guru agama se-Lamtim, juga tampak hadir pada saat itu petugas pencatat nikah (PPN), Dharma Wanita, dan para pejabat Kandepag Lamtim.sumber :http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009010723212631

Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius

Senin, 2 Juni 2008 13:44:43 - oleh : admin

YOGYAKARTA--Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5). Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan. Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak. Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik. Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag. Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa. Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag. Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag. BPIH 1429 H Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan. ''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi. Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap. Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram. (osa ) (sumber: republika)


sumber: http://www.maarif-nu.or.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=14

Idul Fitri Media Pendidikan Keagamaan Kritis-Konstruktif

DALAM kalender peribadatan umat Islam, puasa merupakan ibadah yang memakan waktu paling lama dibandingkan dengan ibadah yang lain. Selama menjalankan puasa, manusia Muslim memperoleh beberapa pengalaman rohaniah-religius yang langsung terkait dengan pengasahan kepekaan terhadap lingkungan sekitar dan pemupukan rasa solidaritas sosial-kemanusiaan paling dalam. Sedemikian dalamnya sehingga Allah SWT menjanjikan ampunan dosa bagi yang berpuasa dengan penuh perhitungan, introspeksi mendalam, dan kesungguhan (ghufira ma taqaddama min dhanbihi wa ma ta’akhkhara).

Akan tetapi, tidak mudah bagi seseorang apalagi kelompok untuk memetik saripati atau buah gemblengan puasa. Begitu sulitnya, sampai-sampai Rasulullah SAW perlu menyampaikan peringatan tegas kepada pengikutnya, tidak semua orang yang telah melakukan puasa serta-merta akan memetik buah ibadah puasa. "Banyak orang berpuasa tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, kecuali hanya lapar dan dahaga" (kam min saimin laisa lahu min saumihi illa al-ju’ wa al-’atas).

Dalam setiap ritual keagamaan, selain ada unsur "optimisme", juga ada unsur "pesimisme". Kenyataan hidup sehari-hari, kedua unsur itu ada dalam diri seseorang. Ada perasaan besar harap (al-raja), tetapi juga ada perasaan khawatir atau ragu (al-khauf). Untuk itu, pada ayat yang mewajibkan orang mukmin berpuasa diakhiri dengan "harapan" (la’ala: la’alakum tattaqun); semoga dengan ibadah puasa dapat mencapai derajat takwa yang sesungguhnya. Mengapa? Karena masih banyak cobaan, rintangan, dan godaan yang harus dihadapi dalam kehidupan sehari-hari di luar bulan puasa, yang dapat menjauhkan dari nilai-nilai puasa yang seharusnya dipetik.

Panduan etika kehidupan

Abad baru, abad ke-21, membawa tantangan baru negatif maupun positif bagi manusia. Jika hal-hal negatif tidak segera diwaspadai dan diantisipasi, maka hal itu akan membuat lingkungan hidup di muka planet Bumi kian tidak nyaman dihuni.

Tanda-tanda ke arah itu cukup jelas. Kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam di mana-mana. Tindak kekerasan kian bertambah kualitas maupun kuantitasnya. Bom bunuh diri dianggap wajar. Merajalela dan tidak dapat dicegahnya tindak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); kemiskinan tampak begitu jelas; rapuhnya kelembagaan keluarga; penyalahgunaan obat terlarang, ketidaksalingpercayaan (mutual distrust) antarwarga, buruk sangka antarkelompok sosial, antarkelompok intern umat beragama, antar-ekstern umat beragama; melemahnya solidaritas kemanusiaan; dan banyak lagi penyakit sosial lainnya.

Menghadapi situasi itu, muncul pertanyaan dari generasi muda dan oleh siapa saja yang ingin menjalani lebih lanjut makna ibadah Ramadhan, sekaligus berharap dapat memperoleh nilai tambah dan manfaat praktis dari ibadah yang dilakukan untuk dijadikan panduan etik dalam hidup sehari-hari.

Dalam studi agama Islam selalu dibedakan-meski tidak bisa dipisahkan-antara wilayah "doktrin" (yang bercorak tekstual teologis) dan wilayah "praktis" (yang bersifat fungsional praktis). Dari segi doktrin, tidak kurang dalam tekstual atau dalil yang dapat dijadikan landasan teologis untuk mewajibkan ibadah puasa. Namun, dari segi manfaat dan nilai guna yang bersifat fungsional praktis, khususnya yang dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari untuk kehidupan sebelas bulan di luar Ramadhan, orang masih perlu menjelaskan dan mengupasnya lebih lanjut.

Setidaknya ada tiga nilai pokok yang dapat dipetik dari ibadah Ramadhan yang dapat dijadikan pedoman etik kehidupan selama 11 bulan yang akan datang.

Sikap kritis dan peduli lingkungan

Agama Islam mempunyai cara pandang dan weltanschauung yang unik. Tidak selamanya kebutuhan makan minum harus dipenuhi lewat tradisi yang biasa berjalan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Rutinitas makan dan minum yang mengandung kalori berlebihan sekali waktu perlu dicegah dan dihindari. Islam mengajarkan, orang tidak harus selalu "terjebak", "terbelenggu", "diperbudak" oleh rutinitas makan dan minum yang terjadwal. Lebih jauh lagi, jangan "terbelenggu" dan "terjebak" rutinitas hukum pasar dan rutinitas hukum ekonomi. Sekali waktu harus dapat mengambil jarak, menahan diri, bersikap kritis, dan keluar dari kebiasaan rutin budaya konsumerisme-hedonisme yang selalu ditawarkan oleh pasar.

Sebenarnya orang yang menjalani puasa dilatih bersikap "kritis" ketika melihat semua fenomena kehidupan yang sedang berjalan dan terjadi di masyarakat luas. Maksud latihan itu agar timbul kekuatan dan keberanian moral untuk melakukan koreksi dan tindakan perbaikan terhadap keadaan lingkungan sekitar. Tindakan koreksi dan perbaikan adalah simbol rasa memiliki sekaligus peduli seseorang terhadap lingkungan sekitar. Pada gilirannya, sikap kritis itu dapat disemaikan kepada orang lain, teman seprofesi, seagama, sejawat penyelenggara negara, dan lebih jauh membuahkan gerakan masyarakat peduli (care society) lingkungan alam dan sosial yang genuin.

Bangsa Indonesia kini sedang terjangkit penyakit careless society, masyarakat yang tidak peduli kepada nasib kiri-kanan. Akibatnya, mereka dirundung berbagai penyakit moral. Generasi muda mudah tergiur narkoba, generasi tua dihinggapi penyakit KKN kronis yang meluluhlantakkan sendi-sendi peradaban masyarakat.

Kedua fenomena moral-sosial itu hanya menunjukkan ketahanan mental dan kekuatan moral bangsa Indonesia sudah mencapai titik terendah. Dalam pergaulan sehari-hari, manusia Muslim tidak lagi mempunyai daya tangkal dan nalar kritis terhadap lingkungan sosial sekitar. Pendidikan agama hanya dipahami secara formal-tekstual-lahiriah, terjebak dan terkurung ibadah mahdlah (murni) dan sifatnya terlalu teosentris, tetapi kurang dikaitkan dengan "jiwa", "makna", "nilai", dan "spirit" terdalam dari ajaran agama yang dapat menggerakkan jiwa seseorang dan kelompok untuk lebih peduli terhadap persoalan kemanusiaan sekitar (anthroposentris).

Dengan berakhirnya ibadah puasa, umat Islam bersama seluruh lapisan masyarakat diharapkan, bahkan dituntut, dapat mengkristalkan nilai dan mengambil sikap bersama untuk membasmi penyakit mental dan moral yang sedang melilit bangsa, yang mengakibatkan krisis multidimensi di Tanah Air.

Kesalehan pribadi dan sosial

Jika direnungkan kembali, falsafah peribadatan Islam, khususnya yang terkait dengan puasa, menegaskan perlunya "turun mesin" (overhauling) kejiwaan selama 29 hari dalam satu tahun. Pada saat turun mesin, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Semua peralatan dibongkar, dicek, dan diperiksa satu per satu, lalu diperbaiki dan alat-alat yang rusak diganti. Koreksi total ini dibutuhkan guna menjamin kelancaran dan keselamatan kendaraan untuk waktu-waktu berikutnya.

Dalam beribadah puasa harus selalu ada semangat untuk perbaikan. Pengendalian hawa nafsu, emosi, dan pengendalian diri tidak hanya terfokus pada kehidupan individu, tetapi perlu dikaitkan dan diangkat ke level kehidupan sosial. Dimensi sosial ibadah puasa meminta lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga sosial keagamaan, dan lembaga negara untuk selalu menghidupkan semangat social critics, social auditing, dan social control. Semuanya dimaksudkan untuk memperkuat dan memberdayakan kesalehan publik yang lebih nyata.

Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyyah selalu menekankan aspek kepedulian sosial. Makna tazkiyatu al-nafs (penyucian diri) kini tidak cocok lagi dipahami sebagai menarik diri dari pergumulan dan pergulatan sosial kemasyarakatan, menyepi. Makna tazkiyatu al nafs era kontemporer amat terkait dengan keberadaan orang lain, lingkungan hidup, lingkungan dan sosial sekitar. Zakat, sebagai contoh, selalu terkait dengan keberadaan orang lain. Sebenarnya penyucian diri pribadi atau ritus-ritus individual yang tidak punya dampak dan makna sosial sama sekali kurang begitu bermakna dalam struktur bangunan pengalaman keagamaan Islam yang otentik.

Dengan lain ungkapan, kesalehan pribadi amat terkait dengan kesalehan sosial. Krisis lingkungan hidup di Tanah Air adalah cermin krisis kepekaan dan kepedulian sosial. Ada korelasi positif antara krisis sosial, krisis ekonomi, dan krisis lingkungan hidup. Dampak krisis ekonomi terhadap kehidupan rakyat kecil cukup signifikan, khususnya yang terkait dengan pendidikan anak-anak. Gerakan orangtua asuh, rumah singgah, kesetiakawanan sosial, solidaritas sosial, perlu terus dipupuk, didorong, dan didukung oleh semua pihak.

Ada kecenderungan tidak begitu nyaman di Tanah Air di era reformasi, yaitu menjelmanya gerakan sosial keagamaan menjadi gerakan sosial politik. Perlu kesadaran baru dan upaya lebih serius yang dapat menggiring gerakan sosial keagamaan ke porosnya semula, yaitu gerakan sosial kemasyarakatan agama yang lebih peduli (care society) terhadap isu lingkungan hidup, sosial, pendidikan, ekonomi, dan budaya.

Sejauh manakah ibadah puasa berdampak positif dalam membentuk kesalehan pribadi dan memperkokoh kesalehan sosial? Sejauh mana nuansa pemikiran kritis terhadap lingkungan dapat ditumbuhkembangkan untuk mengurangi jurang yang terlalu jauh antara kesalehan pribadi dan kesalehan sosial? Jika dampaknya masih sedikit, mungkin benar sinyalemen Nabi bahwa banyak orang berpuasa, tetapi mereka tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga. Artinya, intisari dan hikmah puasa belum disadari, apalagi diimplementasikan.

Jiwa keagamaan yang inovatif

Kiranya dapat disimpulkan, nilai kegunaan praktis puasa adalah kemampuan membentuk pribadi, cara pandang, dan semangat keagamaan yang baru, inovatif, kreatif, dan dapat diperbarui terus-menerus. Tujuan utama disyariatkan puasa Ramadhan adalah perubahan kualitas hidup beragama ke arah paradigma berpikir keagamaan baru yang lebih menggugah-imperatif, inovatif, kreatif dan transformatif dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik dalam kapasitas seseorang sebagai petani, pedagang, guru, kiai, dosen, artis, birokrat, pejabat negara, pemimpin masyarakat, pemimpin halaqah-halaqah, juru-juru dakwah pimpinan usrah-usrah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ulama, tokoh-tokoh LSM, pegawai kantor, mahasiswa, anggota TNI, polisi, maupun lainnya.

Puasa tidak semata-mata sebagai "doktrin" kosong yang harus dijalani begitu saja, tanpa mengenal makna terdalam serta implikasi dan konsekuensi praktisnya dalam kehidupan nyata sehari-hari. Ibadah puasa mempunyai fungsi moralitas praktis, akhlak karimah, budi luhur dan pendidikan keagamaan yang bermuatan nilai-nilai kritis-konstruktif dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tanpa menangkap makna itu, puasa hanya mendapat lapar.

Terbentuknya cara berpikir, mentalitas, cara pandang, way of life dan cara hidup keagamaan yang "baru", setelah turun mesin 29 hari adalah bagian tak terpisahkan dan termasuk tujuan utama disyariatkan ibadah puasa. "Laisa al-'’d liman labisa al-jadid, wa lakinna al’idu liman taqwa hu yazid" (hari Idul Fitri bukan lagi orang-orang yang mengenakan baju baru, tetapi bagi orang- orang yang takwanya bertambah), yakni bagi mereka yang mempunyai kemauan dan semangat untuk terus memperbaiki kehidupan pribadi, keluarga dan sosial kemasyarakatan, sosial politik dengan landasan keagamaan yang otentik.

Mudah-mudahan dengan mengenal tujuan syar'’y ibadah puasa, dalam merayakan Idul Fitri 1424 H ini umat Islam mampu memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup keagamaan ke arah terbentuknya masyarakat yang kritis dan peduli terhadap lingkungan sosial dan alam sekeliling; mampu berperan aktif mengoreksi perjalanan dan tanggung jawab sejarah di bumi Nusantara.

sumber :http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0311/22/utama/704000.htm

Perlu Gerakan Pendidikan Usia Dini

Jakarta, Kompas - Pendidikan anak usia dini tidak harus selalu mengeluarkan biaya tinggi atau melalui wadah tertentu, melainkan dapat dimulai di rumah oleh keluarga. Tempat bermain, kelompok belajar, dan taman penitipan anak baru sebatas sarana.

Hal itu diungkapkan Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Fasli Djalal di sela jumpa pers Lomba Karya Jurnalistik berfokus Pendidikan Anak Usia Dini, Rabu (20/10).

Pendidikan usia dini dapat diberikan sejak anak dalam kandungan hingga berusia enam tahun. "Rangsangan itu dapat mulai diberikan sejak anak dalam kandungan, misalnya dengan bercakap-cakap," katanya.

Kontak anak dengan keluarga dan lingkungannya dapat menjadi stimuli utama, terlebih lagi anak menghabiskan waktu terbanyak dengan keluarga.

Dalam perkembangannya, rangsangan diberikan dengan melibatkan seluruh indra anak. Pada intinya, anak jangan dibiarkan sendiri, termenung- menung tanpa aktivitas. "Kalau konsep sederhana tersebut sudah diikuti, itu sudah mencakup pendidikan usia dini," ujarnya.

Usia dini merupakan usia emas untuk menyerap berbagai materi, termasuk membaca atau berhitung. Namun, orangtua dan tenaga pendidik harus memberikan materi yang dekat dengan kehidupan dan lingkungan anak.

Kegiatan itu dijalani anak dengan menyenangkan dan tanpa paksaan. Orangtua dan pendidik hanya menjadi fasilitator yang memberikan pilihan kepada anak, bukan memaksakan kehendak.

Pendidikan usia dini juga mencakup masalah pengasuhan, gizi, dan kesehatan anak. Hanya saja, pendidikan usia dini belum banyak diketahui masyarakat.

Anak yang mendapatkan pelayanan pendidikan usia dini juga masih terbatas. Dari 12 juta anak usia taman kanak-kanak, hanya sekitar 2,4 juta anak yang terlayani. Sementara rata-rata kelahiran anak sekitar 4 juta setiap tahun.

Fasli juga mengharapkan potensi masyarakat untuk membuat gerakan pendidikan usia dini. Salah satu kekuatan besar untuk digabungkan dengan program pendidikan usia dini adalah pos pelayanan terpadu (posyandu). Saat ini terdapat sekitar 245.758 posyandu di seluruh Indonesia


sumber : Perlu Gerakan Pendidikan Usia Dini Jakarta, Kompas - Pendidikan anak usia dini tidak harus selalu mengeluarkan biaya tinggi atau melalui wadah tertentu, melainkan dapat dimulai di rumah oleh keluarga. Tempat bermain, kelompok belajar, dan taman penitipan anak baru sebatas sarana. Hal itu diungkapkan Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Fasli Djalal di sela jumpa pers Lomba Karya Jurnalistik berfokus Pendidikan Anak Usia Dini, Rabu (20/10). Pendidikan usia dini dapat diberikan sejak anak dalam kandungan hingga berusia enam tahun. "Rangsangan itu dapat mulai diberikan sejak anak dalam kandungan, misalnya dengan bercakap-cakap," katanya. Kontak anak dengan keluarga dan lingkungannya dapat menjadi stimuli utama, terlebih lagi anak menghabiskan waktu terbanyak dengan keluarga. Dalam perkembangannya, rangsangan diberikan dengan melibatkan seluruh indra anak. Pada intinya, anak jangan dibiarkan sendiri, termenung- menung tanpa aktivitas. "Kalau konsep sederhana tersebut sudah diikuti, itu sudah mencakup pendidikan usia dini," ujarnya. Usia dini merupakan usia emas untuk menyerap berbagai materi, termasuk membaca atau berhitung. Namun, orangtua dan tenaga pendidik harus memberikan materi yang dekat dengan kehidupan dan lingkungan anak. Kegiatan itu dijalani anak dengan menyenangkan dan tanpa paksaan. Orangtua dan pendidik hanya menjadi fasilitator yang memberikan pilihan kepada anak, bukan memaksakan kehendak. Pendidikan usia dini juga mencakup masalah pengasuhan, gizi, dan kesehatan anak. Hanya saja, pendidikan usia dini belum banyak diketahui masyarakat. Anak yang mendapatkan pelayanan pendidikan usia dini juga masih terbatas. Dari 12 juta anak usia taman kanak-kanak, hanya sekitar 2,4 juta anak yang terlayani. Sementara rata-rata kelahiran anak sekitar 4 juta setiap tahun. Fasli juga mengharapkan potensi masyarakat untuk membuat gerakan pendidikan usia dini. Salah satu kekuatan besar untuk digabungkan dengan program pendidikan usia dini adalah pos pelayanan terpadu (posyandu). Saat ini terdapat sekitar 245.758 posyandu di seluruh Indonesia

sumber : kompas.com

Pendidikan Usia Dini bagi Warga Miskin

Pendidikan Usia Dini bagi Warga Miskin

Pendidikan anak usia dini sudah selayaknya mendapatkan prioritas. Berbagai hasil studi menunjukkan, jika pada masa usia dini seorang anak mendapat stimulasi maksimal, maka potensi anak akan tumbuh dan berkembang secara optimal.

Pemerintah pun menaruh perhatian besar terhadap hal tersebut. Terbukti, dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diatur masalah pendidikan anak. UU ini menegaskan, setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya, serta kecerdasan.

Namun, kenyataannya, tidak semua anak bisa mendapatkan pendidikan usia dini. Terutama bagi masyarakat miskin. Jangankan pendidikan usia dini, untuk menyekolahkan anak ke bangku sekolah dasar saja, banyak yang tidak mampu. Sadar akan masalah tersebut, BKM Sehati mencoba memberikan solusi dengan mendirikan playgroup gratis.

Playgroup yang mengkhususkan pada pendidikan usia dini ini diperuntukan bagi anak warga miskin. Setidaknya, ada 365 warga miskin yang menjadi target sasaran. Sebanyak 20 anak warga miskin berusia 4 - 6 tahun, mengikuti playgroup tahap pertama yang diselenggarakan dari bulan Februari hingga Juni 2007.

“Tahap awal ini, memang kita terlambat mengadakan playgroup, padahal akhir tahun ajaran jatuh pada bulan Juni. Karenanya, waktu pendidikan hanya beberapa bulan saja. Tahap kedua dan selanjutnya, proses pendidikan diselenggarakan selama satu tahun, sesuai dengan tahun ajaran pendidikan,” papar Koordinator BKM Sehati, sekaligus pengelola playgroup, Dolfie Pandara.

Dalam menyelenggarakan playgroup ini, BKM Sehati bekerjasama dengan SDN 86 Kelurahan Tumumpa Dua, Kota Manado. Pihak sekolah menyediakan salah satu ruang kelasnya secara cuma-cuma, untuk digunakan kegiatan playgroup.

Sebagai tenaga pengajar, BKM Sehati “menggandeng” Ibu Ribka Rahel Kobis, seorang pegawai negeri yang sehari-harinya mengajar di TK GMIM Torsina. “Setiap bulan kita memberi Ibu Ribka insentif sebesar Rp 400.000, yang diambil dari hasil dana bergulir,” jelas Dolfie.

Waktu kegiatan playgroup dimulai pukul 15.00 hingga 17.00 WITA, sebab di pagi hari ruangan digunakan oleh murid SDN 86 untuk belajar. “Kepala Sekolah SDN 86, Ibu Patinama, hanya menyediakan ruang kelas. Sedangkan, bangku dan meja plastik untuk siswa kita yang menyediakan,” ujar Dolfie.

BKM Sehati juga menyediakan seluruh keperluan proses belajar mengajar. Misalnya, paket buku pelajaran, alat-alat tulis, lemari buku, beragam mainan anak dan ayunan. Bagi siswa playgroup diberikan peralatan tulis menulis secara gratis. Dana pengadaan sarana belajar ini, menurut Dolfie, diambil dari uang Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) sebesar Rp 12,1 juta.

Saat ini, BKM Sehati tengah mempersiapkan pelaksanaan playgroup angkatan kedua. Rencananya, proses pendidikan akan dilaksanakan bulan September 2007 dengan jumlah peserta didik sebanyak 20 anak. Berbeda dengan angkatan pertama, proses belajar playgroup dilaksanakan selama satu tahun. Usia anak juga diturunkan menjadi minimal 3 tahun. “Proses pendaftarannya melalui ketua RT/RW setempat. Nanti setelah datanya diserahkan ke BKM, kita akan cek lagi apakah mereka benar berasal dari warga miskin,” kata Dolfie.

Tak hanya mengadakan playgroup gratis, BKM Sehati juga menyedikan taman baca di lokasi playgroup. Taman baca dibuat dengan tujuan menumbuhkan minat baca masyarakat. Selain itu, taman baca bisa dimanfaatkan para orang tua yang sedang menunggu anaknya belajar di playgroup.

Setidaknya lebih dari 30 judul buku dan majalah tersedia di taman bacaan. Namun, bahan bacaan tersebut hanya boleh dibaca di tempat dan tidak boleh dibawa pulang. Tujuannya, agar tidak hilang dan cepat rusak. “Kebanyakan buku dan majalah yang ada, berkaitan dengan kewanitaan. Karena, memang taman bacaan ini dikhususkan bagi ibu-ibu dari warga miskin yang menunggu anaknya belajar di playgroup,” kata Dolfie.

Adapun BKM Sehati dibentuk sejak 19 Juni 2005, dan disahkan oleh notaris pada 7 Juli 2005. Saat ini anggota BKM Sehati berjumlah 13 orang, dengan komposisi dua perempuan dan 11 laki-laki. Total dana BLM yang telah diterima dalam tiga tahap adalah sebesar Rp 450 juta.

Ke depannya, BKM Sehati berencana akan lebih mengembangkan pusat kegiatan belajar masyarakat melalui kegiatan kelompok bermain, kelas belajar, taman bacaan masyarakat, kursus komputer, melukis dan warnet. Semoga rencana tersebut segera terealisir. (Tim Sosialisasi KMP-2 P2KP/KMW V PNPM P2KP-2 Manado; Nina)


sumber ; http://www.p2kp.org/web/bestpracticedetil.asp?mid=22&catid=4&

Pendidikan anak Usia Dini

Pendidikan Anak Usia Dini atau disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.

Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu: Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa. Tujuan penyerta yaitu untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.

Bentuk Satuan Pendidikan Anak Usia Dini

Menurut Pasal 28 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bentuk satuan pendidikan anak usia dini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

Jalur Pendidikan Formal

Terdiri atas Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Atfal. Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Atfal dapat diikuti anak usia lima tahun keatas. Termasuk disini adalah Bustanul Atfal.

Jalur Pendidikan Nonformal

Terdiri atas Penitipan Anak, Kelompok Bermain dan Satuan PAUD Sejenis. Kelompok Bermain dapat diikuti anak usia dua tahun keatas, sedangkan Penitipan Anak dan Satuan PAUD Sejenis diikuti anak sejak lahir, atau usia tiga bulan.

Jalur Pendidikan Informal

Terdiri atas pendidikan yang diselenggarakan di keluarga dan di lingkungan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah melindungi hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan, meskipun mereka tidak masuk ke lembaga pendidikan anak usia dini, baik formal maupun nonformal.


sumber: http://www.e-smartschool.com/sptPendidikan/Pendas9.asp

Kurikulum untuk usia dini, perlukah?

Anak-anak usia dini hidup dalam dunia bermain. Meskipun demikian,tak ada salahnya jika orang tua memiliki rancangan bahan atau materi untuk mengisi hari-hari mereka. Hal yang pasti, kurikulum untuk anak usia dini haruslah sangat fleksibel, sesuai dengan kemampuan dan minat anak.

Kelas-kelas pra-sekolah seperti Play Group (PG) atau Taman Kanak-Kanak (TK) pasti memiliki kurikulum dan target-target, namun karena tuntutan aturan formal, mau tidak mau guru akan menilai perkembangan anak secara kasar, berdasarkan akumulasi kemampuan yang dikuasai anak selama kurun waktu tertentu. Jelas penilaian itu tidak valid, karena ketika guru memasuki kurikulum mewarnai misalnya, beberapa anak mungkin belum siap dengan fase itu. Mereka mungkin menolak untuk melakukannya atau hanya membubuhkan satu coretan pendek di kertasnya, karena dia memang belum berminat.

Di sinilah peran orang tua sangat dibutuhkan. Tak peduli apakah anak-anak masuk TK ataupun tidak, tugas orang tua-lah untuk memahami anak-anaknya dengan baik, sehingga tahu kapan harus memperkenalkan sebuah keterampilan, kapan harus menundanya, kapan harus memacunya lebih kencang, dan bagaimana membuat anak menjadi tertarik untuk mempelajari sesuatu tanpa harus dipaksa oleh waktu dan penilaian pihak lain.

Pendidikan sungguh jauh melampaui batas-batas nilai kuantitatif seperti diterapkan di sekolah. Pendidikan adalah rangkaian proses belajar untuk menjadi manusia yang terus tumbuh, baik secara fisik, mental, maupun spiritual.

Menyusun kurikulum untuk anak usia dini berarti siap mengikuti irama mereka dan siap untuk melangkah lebih jauh saat mereka berminat untuk tahu lebih banyak. Ketika anak-anak diperkenalkan tentang kuda misalnya, bisa jadi rasa ingin tahu mereka berkembang, ingin tahu tentang makanannya, di mana tidurnya, dan mungkin ingin mencoba menaikinya dan mengoleksi gambar-gambarnya.

Adapun secara terstruktur, ada banyak model kurikulum anak usia dini yang telah dikembangkan di dunia. Kurikulum Montessori adalah salah satu di antaranya. Model ini cocok bagi mereka yang senang dengan keteraturan dan mengharapkan anak-anak juga bersikap teratur dan runut. Sebuah buku berjudul Montessori untuk Prasekolah yang disusun oleh seorang praktisi kurikulum Montessori bernama Elizabeth G. Hainstock dan diterbitkan edisi terjemahannya oleh penerbit Delapratasa Publishing, bisa menjadi pilihan untuk mengetahui lebih detail kegiatan-kegiatan ala Montessori.

Melalui buku tersebut akan kita temukan bahwa model Montessori lebih banyak mempergunakan perabotan rumah tangga sebagai media dan mempergunakan kegiatan rutin sehari-hari di rumah sebagai aktivitas belajar.

Temuan tentang multi kecerdasan oleh Howard Gardner juga bisa menginspirasi kita untuk menyusun kurikulum. Delapan bahkan sembilan jenis kecerdasan versi Gardner, yaitu: kecerdasan bahasa, logika-matematika, visual-spasial, fisik, interpersonal, intrapersonal, musikal, natural, dan spiritual bisa dijadikan acuan untuk memilih ragam kegiatan belajar-bermain di rumah.

Buku yang ditulis Thomas Amstrong berjudul Sekolah Para Juara mencoba menjabarkan konsep multi kecerdasan tersebut dalam konteks sekolah formal untuk anak-anak yang lebih besar. Namun bukan tidak mungkin hal itu bisa menginspirasi para orang tua yang memiliki anak usia dini untuk menerapkan jalan pikiran Amstrong ke dalam konteks belajar anak usia dini di rumah.

Kurikulum berdasarkan Perkembangan Anak

Perkembangan anak secara umum ternyata bisa diukur dengan beberapa ukuran berikut: perkembangan fisik motorik, perkembangan kognitif, perkembangan moral & sosial, emosional, dan komunikasi (Slamet Suyanto, Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini:192. Penerbit: Hikayat Publishing. Yogyakarta)

Kita bisa menciptakan kurikulum dengan mengacu pada teori tersebut. Berikut gambaran kasar kurikulum yang mungkin diterapkan:

Perkembangan fisik motorik

  1. Motorik Kasar : Berlari, memanjat, menendang bola, menangkap bola, bermain lompat tali, berjalan pada titian keseimbangan, dll.

  2. Motorik Halus : Mewarnai pola, makan dengan sendok, mengancingkan baju, menarik resluiting, menggunting pola,menyisir rambut, mengikat tali sepatu, menjahit dengan alat jahit tiruan, dll.

  3. Organ Sensoris : Membedakan berbagai macam rasa, mengenali berbagai macam bau, mengenali berbagai macam warna benda, mengenali berbagai benda dari ciri-ciri fisiknya, mampu membedakan berbagai macam bentuk, dll.

Perkembangan Kognitif

Misalnya: mengenal nama-nama warna,mengenal nama bagian-bagian tubuh, mengenal nama anggota keluarga,mampu membandingkan dua objek atau lebih, menghitung, menata, mengurutkan; mengetahui nama-nama hari dan bulan; mengetahui perbedaan waktu pagi, siang, atau malam; mengetahui perbedaan kecepatan (lambat dan cepat); mengetahui perbedaan tinggi dan rendah, besar dan kecil, panjang dan pendek; mengenal nama-nama huruf alfabet atau membaca kata; memahami kuantitas benda, dll.

Perkembangan Moral dan sosial

Misalnya: Mengetahui sopan santun, mengetahui aturan-aturan dalam keluarga atau sekolah jika ia bersekolah, mampu bermain dan berkomunikasi bersama teman-teman, mampu bergantian atau antre, dll.

Perkembangan Emosional

Misalnya: Menunjukkan rasa sayang pada teman, orang tua, dan saudaranya; menunjukkan rasa empati; mengetahui simbol-simbol emosi: sedih, gembira, atau marah dan mampu mengontrol emosinya sesuai kondisi yang tepat.

Perkembangan Komunikasi (Berbahasa)

Misalnya: Mampu mengungkapkan keinginannya dengan kata-kata,mampu melafalkan kata-kata dengan jelas (bisa dimengerti oleh orang lain).

Begitu beragam model kurikulum yang ada. Mau pilih yang mana? Mengumpulkan sebanyak mungkin sumber dan memilahnya sesuai kekhasan keluarga masing-masing adalah cara paling baik agar kita memiliki bahan yang lebih kaya untuk anak-anak kita.

Salam Pendidikan!

Penulis : Maya A Pujiati
Sumber : Pustaka Nilna

http://www.e-smartschool.com/sptPendidikan/Pendas21.asp