PROFESI PENDIDIKAN
-

Sabtu, 18 April 2009

Sistem Pendidikan Tinggi

Kesempatan untuk memperoleh pendidikan diberikan kepada setiap warga negara tanpa membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, latar belakang sosial dan tingkat kemampuan ekonomi, kecuali untuk satuan pendidikan yang bersifat khusus.

Pendidikan yang tersedia serta dapat diperoleh oleh setiap orang berada dalam jalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah adalah pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Di samping itu dapat pula diselenggarakan pendidikan prasekolah.

Pendidikan Tinggi adalah pendidikan pada jalur pendidikan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi daripada menengah. Pendidikan Tinggi yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional untuk dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian dan dapat dilakukan melalui proses pembelajaran yang mengembangkan kemampuan belajar mandiri.




Sistem Pendidikan Tinggi diharapkan merupakan suatu sistem yang memudahkan seseorang menuntut pendidikan tinggi sesuai dengan bakat, minat dan tujuannya, meskipun dengan tetap mempertahankan persyaratan – persyaratan pendirian program studi yang bersangkutan.

1. Tujuan Pendidikan Tinggi
Tujuan pendidikan tinggi diatur dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan teknologi dan/atau kesenian.2. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.

2. Pendidikan Akademik

Pendidikan akademik di tingkat pendidikan tinggi adalah pendidikan yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan dan pengembangannya. Pendidikan akademik mengutamakan peningkatan mutu dan perluasan wawasan ilmu pengetahuan. Pendidikan akademik diselenggarakan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas. Pendidikan akademik terdiri atas Program Sarjana dan Program Pasca Sarjana. Program Pasca Sarjana meliputi Program Magister dan Program Doktor.

3. Pendidikan Profesional

Pendidikan Profesional merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu. Pendidikan profesional mengutamakan peningkatan kemampuan penerapan ilmu pengetahuan. Pendidikan profesional di selenggarakan oleh akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas. Pendidikan profesional terdiri atas Program Diploma I, Diploma II, Diploma III, dan Diploma IV.

4. Satuan Pendidikan di Perguruan Tinggi 

Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi disebut perguruan tinngi, yang dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut atau universitas.Akademi merupakan perguruan tinngi yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam satu cabang atau sebagian ilmu pengetahuan, teknologi atau kesenian tertentu.Politeknik merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus.Sekolah tinggi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam satu disiplin ilmu tertentu.

Institut merupakan perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu yang sejenis.Universitas merupakan perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sejumlah disiplin ilmu tertentu. 

5. Aspek – aspek yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Perguruan Tinggi

Pendidikan tinggi dapat diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat. Untuk perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah, penyelenggara perguruan tinggi adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, departemen lain, atau pimpinan lembaga pemerintah lainnya Sedangkan perguruan tinggi yang diselenggarakan masyarakat, penyelenggara perguruan tingginya adalah badan penyelenggara perguruan tinggi swasta.

Penyelenggaraan kegiatan pendidikan tinggi didasarkan pada statuta yang merupakan pedoman dasar yang dipakai sebagai acuan untuk merencanakan, mengembangkan program dan penyelenggaraan kegiatan fungsional sesuai dengan tujuan perguruan tinggi yang bersangkutan. Statuta berisi dasar yang dipakai sebagai rujukan pengembangan peraturan umum, peraturan akademik dan prosedur operasional yang berlaku di perguruan tinggi yang bersangkutan.

Tahun Akademik penyelenggaraan pendidikan tinggi dimulai pada bulan September dan berakhir pada bulan Juni. Tahun akademik dibagi dalam 2 (dua) semester, yang masing – masing terdiri atas 19 minggu, dan dipisahkan oleh masa libur selama 2 hingga 4 minggu.

Perguruan tinggi mengatur dan menyelenggarakan seleksi penerimaan mahasiswa baru. Penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi dengan tetap mengindahkan kekhususan perguruan tinggi yang bersangkutan. Warganegara asing dapat menjadi mahasiswa perguruan tinggi.

7. Tri Darma Perguruan Tinggi

Perguruan tinggi menyelenggarakan tiga kegiatan utama yang dikenal sebagai Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan/pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Penelitian merupakan kegiatan dalam upaya menghasilakn pengetahuan empirik, teori, konsep, metodelogi, model, atau informasi baru yang memperkaya ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian.

Pengabdian kepada masyarakat merupakan kegiatan yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam upaya memberikan sumbangan demi kemajuan masyarakat.

8. Kurikulum Pendidikan Tinggi

Penyelenggaraan pendidikan tinggi dilaksanakan dalam program – program studi. Program studi merupakan pedoman penyelenggaraan pendidikan akademik dan/atau profesional yang diselenggarakan atas dasar suatu kurikulum serta ditujukan agar mahasiswa dapat menguasai pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang sesuai dengan sasaran kurikulum.

Kurikulum yang digunakan pada program studi disusun sesuai dengan sasaran program studi dan berpedoman pada kurikulum yang berlaku secara nasional yang diatur oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kurikulum yang berlaku secara nasional merupakan rambu – rambu untuk menjamin mutu dan kemampuan sesuai dengan program studi yang ditempuh dan merupakan patokan proporsi terhadap kategori kelompok mata kuliah.

9. Sistem Penilaian di Perguruan Tinggi

Kegiatan dan kemajuan belajar mahasiswa dinilai secara berkala. Bentuk penilaian dapat berupa ujian, tugas, dan pengamatan oleh dosen. Jadi, selain memperhatikan hasil ujian, penilaian keberhasilan belajar mahasiswa dapat juga didasarkan atas penilaian pelaksanaan tugas serta keikutsertaan dalam seminar, penulisan makalah, praktikum, pembuatan laporan, pembuatan rancangan atau tugas lain serta hasil pengamatan.

Ujian dapat diselenggarakan melalui ujian semester, ujian akhir program studi, ujian skripsi, ujian tesis, dan ujian disertasi. Untuk bidang – bidang tertentu penilaian hasil belajar program sarjana dapat dilaksanakan tanpa ujian skripsi. Penilaian hasil belajar dinyatakan dengan huruf A,B,C,D, dan E yang secra berturut – turut bernilai 4,3,2,1, dan 0. Pelaksanaan ketentuan ujian diatur oleh senat masing – masing perguruan tinggi.

Ujian akhir program studi suatu program sarjana dapat terdiri atas ujian komprehensif atau ujian karya tulis, atau ujian skripsi.

10. Gelar Lulusan Perguruan Tinggi

Lulusan pendidikan akademik dapat diberikan hak untuk menggunakan gelar akademik (Sarjana, Magister, dan Doktor), sedangkan lulusan pendidikan professional dapat diberikan hak untuk menggunakan sebutan profesional.

Gelar sarjana hanya diberikan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas. Gelar magister dan doktor diberikan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas yang memenuhi persyaratan. Sebutan profesional dapat diberikan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan profesional.

Gelar akademik Sarjana dan Magister ditempatkan dibelakang nama pemilik hak atas penggunaan gelar yang bersangkutan dengan mencantumkan huruf S. untuk Sarjana dan huruf M. untuk Magister disertai singkatan nama kelompok bidang ilmu. Gelar akademik Doktor ditempatkan di depan nama pemilik hak atas penggunaan gelar yang bersangkutan dengan mencantumkan huruf Dr.

Sebutan profesional Ahli Pratama bagi lulusan Program Diploma I, Ahli Muda bagi lulusan Program Diploma II, Ahli Madya bagi lulusan Program Diploma III dan Sarjana Sains Terapan bagi lulusan Program Diploma IV ditempatkan di belakang nama pemilik hak atas penggunaan sebutan yang bersangkutan.

sumber : http://www.gunadarma.ac.id/en/page/sistem-pendidikan-tinggi.html

Membedah Industri Pendidikan Tinggi

KOMPETISI global juga sudah melanda dunia pendidikan. Setiap tahun, saat lulusan SMA dan SMK bersaing untuk 
mendapatkan institusi pilihan, perguruan tinggi pun berlomba-lomba mempromosikan diri dan menjaring calon-calon 
mahasiswa potensial. Potensial bisa berarti mampu secara akademis atau finansial.
PERGURUAN tinggi dari luar negeri pun tidak mau kalah, dan gencar berpromosi. Begitu pula perguruan-perguruan tinggi 
swasta (PTS) melakukan berbagai upaya pemasaran dan menjadikan dunia pendidikan tinggi seperti bisnis dan industri. 
Kini beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) tidak mau ketinggalan dengan membuka jalur khusus atau ekstensi.

Persaingan merebut kue

Akhir tahun ajaran jenjang pendidikan SLTA sebenarnya jatuh sekitar bulan Mei. Para lulusan SMA/SMK biasanya 
mendapat surat tanda tamat belajar (STTB) dan surat tanda kelulusan (STK) sekitar bulan Juni. Namun sebelum 
mengikuti ujian akhir nasional (UAN), sebagian siswa SMA/SMK -terutama yang nilai rapor hingga semester lima tidak di 
bawah rata-rata-sudah mendapat tempat di perguruan tinggi.

Beberapa perguruan tinggi sudah melakukan ujian seleksi masuk dan menerima siswa SMA/SMK sekitar bulan Maret dan 
April. Bahkan ada perguruan tinggi yang sudah memulai seleksi gelombang pertama pada Januari dan Februari.
Beberapa tahun terakhir ini, seleksi mahasiswa baru menjadi makin dini karena perguruan tinggi berlomba-lomba 
memajukan tanggal penerimaan mahasiswa baru untuk menjaring mahasiswa pilihan sebelum didahului perguruan 
tinggi pesaing. Dalam semangat persaingan ini, ada perguruan tinggi yang menetapkan seleksi gelombang pertama 
pada awal tahun, tetapi sebetulnya diam-diam sudah memastikan untuk menerima mahasiswa pilihan sekitar bulan 
Oktober dan November ketika siswa SMA/SMK belum mengikuti ujian akhir semester gasal. Seleksi pra-gelombang 
pertama ini dibungkus dengan nama jalur prestasi, jalur khusus, jalur kerja sama, dan semacamnya.
Praktik penerimaan mahasiswa baru ketika mereka masih berstatus siswa kelas III, sering menimbulkan protes dari 
pihak sekolah menengah. Ada keluhan, siswa kelas III yang sudah diterima di perguruan tinggi menunjukkan 
kecenderungan meremehkan pelajaran dan guru mereka, meski beberapa perguruan tinggi menjanjikan bisa saja 
membatalkan penerimaan jika ada laporan pihak SMA/SMK mengenai tindakan indisipliner siswa.
Keluhan lain pihak SLTA adalah kedatangan dan kunjungan perguruan tinggi yang meminta waktu untuk melakukan 
presentasi kepada siswa kelas tiga. Akibat frekuensi kunjungan yang begitu besar, banyak kepala dan guru SLTA 
menghkhawatirkan terganggunya jadwal kerja dan pelajaran sekolah.
Di satu sisi, siswa kelas III memang membutuhkan informasi dan sosialisasi dari perguruan tinggi. Tetapi di sisi lain, jika 
kepala SMA/SMK melayani setiap permintaan perguruan tinggi untuk mengadakan presentasi, banyak waktu pelajaran 
harus dikorbankan, sementara siswa kelas III juga harus menyiapkan diri menghadapi UAN.
Beberapa SMA-terutama yang favorit dan menjadi target PTS-mengakomodasi kedua kebutuhan ini dengan menyediakan 
satu atau dua hari khusus untuk informasi studi dan mengundang PTS (dalam negeri maupun perwakilan PT luar negeri).
Untuk mendapatkan calon mahasiswa yang bersedia membayar sumbangan masuk antara Rp 3 juta hingga di atas Rp 
30 juta, pihak perguruan tinggi tidak keberatan membayar sewa stan atau memasang iklan di buku kenangan yang dibuat 
sekolah. Jadinya, selain memberi kesempatan bagi siswa untuk window shopping sebelum membuat keputusan akhir, 
ajang promosi perguruan tinggi juga memberi kesempatan bagi siswa SMA untuk mendapat dana tambahan yang 
mungkin dipakai untuk keperluan sekolah maupun kesejahteraan guru.

Program unggulan
Akreditasi program studi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) merupakan syarat minimal namun tidak 
cukup memadai untuk dijadikan poin jual. Kini perguruan tinggi berlomba mengemas dan menonjolkan beberapa 
program unggulan lain, di antaranya sertifikasi internasional, kerja sama dengan industri, dan kerja sama internasional. 
Sertifikasi internasional bisa berupa pengakuan dari organisasi profesi di luar negeri (misalnya ada program bisnis yang 
mengklaim mendapatkan pengakuan AACSB, American Association of Colleges and Schools of Business) atau sertifikasi 
kendali mutu yang biasanya dilakukan di dunia industri (ada PTS yang telah memperoleh ISO 9001).
Keterkaitan antara perguruan tinggi dan dunia kerja merupakan salah satu area yang sering mendapat sorotan. Dalam 
pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi (SK Mendiknas No 045/U/2002 perihal Kurikulum Inti), pengajaran harus 
relevan dengan kebutuhan masyarakat dan kompetensi yang ditentukan industri terkait dan organisasi profesi. Maka dari 
itu, kerja sama dengan industri sering dijadikan poin jual. Beberapa perguruan tinggi mencantumkan pelatihan dan 
sertifikasi Microsoft, SAP, atau Autocad dalam brosur mereka. Sementara perguruan tinggi lain memasukkan nama-nama 
perusahaan besar sebagai tempat magang dan penampung lulusan mereka.
Kerja sama internasional-berupa program transfer, sandwich, double degree dengan universitas luar negeri, dan 
pertukaran mahasiswa-sering ditonjolkan sebagai daya tarik karena dipercaya meningkatkan citra perguruan tinggi 
sebagai institusi berkualitas internasional. Dalam hal ini, calon mahasiswa dan orangtua perlu jeli dan memperhatikan 
dua hal.

Pertama, apakah institusi luar negeri yang dipasang sebagai mitra benar-benar berkualitas. Tidak semua institusi asing 
bermutu. Perguruan tinggi di Indonesia bisa saja memanfaatkan gengsi dan kelatahan orang Indonesia (termasuk diri 
sendiri) terhadap label asing. Ada universitas terkemuka di Indonesia yang pernah terkecoh dan mengecoh publik melalui 
kemitraan dengan institusi yang ternyata malah hanya menawarkan program nongelar dan reputasinya biasa-biasa saja. 
Kadang, institusi luar negeri yang dicantumkan menggunakan nama pelesetan yang bisa mengecoh. University of 
Berkeley tentu tidak sama dengan University of California at Berkeley dan Nanyang Institute berbeda dengan Nanyang 
Technological University.
Kedua, jika institusi luar negeri yang dipasang benar-benar bergengsi, betulkah ada kesepakatan timbal balik antara 
kedua institusi. Beberapa perguruan tinggi di Indonesia tidak segan-segan mencatut nama besar seperti INSEAD, Harvard 
University, universitas dalam kelompok Ivy League atau universitas besar lainnya. Calon mahasiswa perlu bertanya, 
sejauh mana dan dalam kapasitas apa kesepakatan antara kedua institusi dilakukan, apakah ada perjanjian tertulis, 
manfaat apa yang bakal diperoleh mahasiswa dalam kerja sama ini.

sumber : anazdjabo.files.wordpress.com/2008/02/membedah-industri-pendidikan-tinggi.doc

Liberalisasi Pendidikan Tinggi

Dalam bukunya, The Outliers, Malcolm Gladwell membeberkan kisah orang-orang sukses dan gagal. Beberapa di antaranya Bill Gates, Bill Joy (Sun Microsystem), dan Steve Job (Apple Computer).Salah satu faktor pendukung keberhasilan seseorang adalah kesempatan. Banyak dari orang sukses (misalnya Bill Gates, Bill Joy, and Paul Allen) dalam The Outliers berasal dari kelas sosio ekonomi menengah dan atas sehingga bisa mengakses pendidikan bermutu.Sebaliknya, saat kesempatan itu ditiadakan, seorang dengan IQ 195, Chris Langan (bandingkan: IQ Albert Einstein 150) harus putus kuliah karena ketiadaan biaya dan berakhir sebagai buruh tani dengan berbagai kepahitan. Di antara kedua titik ini, ada kisah Steve Jobs dari keluarga sederhana yang berhasil mengubah hidupnya dan dunia melalui perusahaan Apple Computer.

Meski tidak berasal dari keluarga kaya, Steve Jobs hidup di Silicon Valley dan bergaul dengan para insinyur Hewlett Packard. Pesan dari kisah-kisah ini, kesempatan merupakan pintu awal menuju keberhasilan.Salah satu fungsi pendidikan adalah memberi kesempatan itu untuk mengurangi jumlah orang yang berakhir seperti Chris Langan dan Steve Jobs. Jika The Outliers ditulis dalam versi Indonesia, pasti ada banyak kisah Chris Langan dan Steve Jobs ala Indonesia yang bisa menjadi latar belakang pembuatan kebijakan pendidikan atau keputusan negara maupun institusi. Kebijakan yang masih menuai kontroversi adalah UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Ketika sektor-sektor yang memenuhi kepentingan publik dan tidak diharapkan memberi keuntungan material, pendidikan menjadi tanggung jawab negara.

Pada era ini, ada pergeseran cara pandang dan praktik terhadap sektor-sektor itu.Liberalisasi pendidikanPasar sebagai salah satu pranata civil society dikendalikan pelaku bisnis. Saat pelaku bisnis menjelajahi dan menguasai sumber-sumber daya dalam pasar, lahan-lahan yang secara historis merupakan usaha untuk kemashalatan orang banyak sehingga diselenggarakan oleh negara seperti pendidikan dan kesehatan, kini mulai menjadi garapan pelaku bisnis.Salah satu dampak positif UU BHP adalah transformasi di PTN. Jerat birokrasi yang berwujud kurang efisien mulai bisa diperbaiki. Sementara itu kalangan yang masih memercayai nilai-nilai sosial demokratis mengkhawatirkan terjadinya liberalisasi pendidikan. Meski Pasal 4 UU BHP sudah mengatur bahwa badan hukum pendidikan bersifat nirlaba, fenomena liberalisasi pendidikan tinggi sudah amat terasa. Berbagai jalur yang disediakan PTN—mulai dari jalur Seleksi Nasional

Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNM-PTN) hingga jalur khusus dan mandiri—memberi berbagai paket dengan prosentase masing-masing.Yang dikeluhkan adalah alokasi penerimaan dengan biaya minimal kian makin dikurangi prosentasenya, Sedangkan alokasi penerimaan melalui jalur khusus atau mandiri, bertambah. Praktik ini dilakukan PTN guna menambah jumlah pendapatan sehingga bisa memperbaiki mutu. Formula alokasi disusun tiap PTN, dengan melihat kepentingan institusional PTN itu, dengan standar mutu yang ingin dicapai dan biaya yang harus ditanggung. Padahal alokasi jalur subsidi dan jalur khusus ini tidak sesuai dengan prosentase penduduk miskin di Indonesia. Akibatnya, kesempatan bagi anak-anak dari keluarga miskin untuk meniti jalur keberhasilan seperti Steve Jobs makin tertutup. Para penganut nilai-nilai sosial demokratis berpendapat UU BHP tidak berpihak kepada rakyat, bahkan cenderung melindungi yang kuat. Dikhawatirkan bertambahnya jumlah orang macam Chris Langan dan

Lintang (dalam Laskar Pelangi) yang berpotensi tinggi tetapi tidak mendapat kesempatan pendidikan, akan menjadi enerji negatif di masyarakat.Alternatif SolusiSementara perdebatan tentang subsidi negara untuk PTN atau PTS masih berlangsung dan mungkin tidak akan pernah reda, kisah-kisah Chris Langan dan Lintang akan terus terjadi di seluruh Nusantara. Dana subsidi pemerintah memang sudah dikucurkan ke berbagai PTN dan PTS, di antaranya melalui program hibah dan kompetisi. Dua alternatif solusi perlu dipertimbangkan guna meningkatkan akses terhadap pendidikan tinggi sambil tetap berjuang mencapai target mutu dan menjaga equilibrium antara layanan pendidikan tinggi sebagai entitas yang nirlaba dan eksploitasi pelaku bisnis dalam sektor pendidikan. (Dikotomi PTN an PTS tak lagi relevan saat mereka besaing memerebutkan ceruk pasar).Alternatif pertama adalah memberi dan meningkatkan jumlah beasiswa pemerintah melalui lembaga mandiri. Lembaga kepanjangan tangan pemerintah ini bertugas menseleksi kelayakan calon penerima beasiswa secara jujur dan transparan. Penyaluran beasiswa bisa dilakukan melalui PTN maupun PTS. Namun calon penerima bebas memilih PT mana yang dituju (asal sudah terakreditasi, misalnya).

Melalui cara ini, PTN dan PTS diberi kesempatan untuk bersaing secara adil guna meningkatkan mutu dan menjadikan lembaga pilihan mahasiswa.Alternatif kedua melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Selama ini beberapa korporasi melalui lembaga filantropis (di antaranya Tanoto Foundation, Djarum, Sampoerna Foundation dan lainnya), sudah cukup berperan dalam ikut mencerdaskan bangsa dengan memberi beasiswa bagi mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Kontribusi dari korporasi ini perlu dihargai. Apapun motifnya, kontribusi ini sudah terbukti menciptakan banyak Steve Jobs yang bisa berperan bagi bangsa dan masyarakat.Penghargaan dari pemerintah berupa pemotongan pajak bagi sumbangan filantropis untuk pendidikan setara dengan zakat, akan memicu lembaga lain maupun individu melakukan tindakan serupa.Anita Lie Guru Besar Unika Widya Mandala, Surabaya; Anggota Komunitas Indonesia untuk demokrasi.

Sumber:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/02/01394940/Liberalisasi.Pendidikan.Tinggi

Lembaga Pendidikan Akan Dikenai Pajak

Jakarta, Kompas - Sebagai konsekuensi dari disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, lembaga penyelenggara pendidikan menjadi subyek pajak. Karena itu, lembaga penyelenggara pendidikan yang kelak akan berubah nama menjadi badan hukum pendidikan akan dikenai pajak.

”Saya belum cek ke Dirjen Pajak, tapi katanya bakal ada keringanan pajak untuk penyelenggara pendidikan,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo di hadapan pimpinan redaksi media cetak dan elektronik di Jakarta, Jumat (16/1) siang. Belum dipastikan jenis pajak yang akan dikenakan kepada badan hukum pendidikan (BHP).
Khusus untuk perguruan tinggi negeri (PTN) yang umumnya memiliki areal tanah yang luas, menurut Mendiknas, status tanahnya milik negara yang ditangani Departemen Keuangan. Pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk PTN akan ditangani khusus Departemen Keuangan.
Mendiknas mengatakan, UU BHP, yang pada 17 Desember 2008 disetujui DPR untuk disahkan oleh pemerintah, berprinsip pada pengelolaan dana secara mandiri, nirlaba, otonomi, akuntabilitas, dan transparan-si untuk meningkatkan pelayanan pendidikan kepada masyarakat.

Mendiknas juga membantah jika dikatakan UU BHP identik dengan komersialisasi. ”BHP berprinsip nirlaba. Jika ada sisa hasil usaha, harus ditanamkan kembali untuk penyelenggaraan pendidikan,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Mendiknas, diberikan jaminan 20 persen kursi untuk peserta didik yang miskin secara ekonomi, tetapi berprestasi. Pemerintah dan badan hukum pendidikan pemerintah (BHPP) pun berkewajiban memenuhi 2/3 biaya operasionalnya, sedangkan 1/3 ditanggung mahasiswa. ”Apa yang dimaksud biaya operasional akan dirumuskan dengan Ikatan Akuntan Indonesia,” ujarnya.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Fasli Jalal mengatakan, dalam UU BHP memang tak diatur soal lembaga pendidikan asing. Meski demikian, pemerintah menggariskan, lembaga pendidikan asing harus memenuhi tiga prinsip, yakni nirlaba, hanya membuka bidang keahlian setara politeknik bidangSitus resmi Ditjen Pendidikan Tinggi : elektronika dan otomotif, serta hanya boleh dibuka di lima kota, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Yogyakarta.
”Setelah mengetahui tiga syarat yang ditetapkan, peminat asing yang semula akan membuka pendidikan di Indonesia, mundur,” kata Fasli. (THY)

Sumber : Situs resmi Ditjen Pendidikan Tinggi : http://www.dikti.go.id

Hanya Lima PTN yang Raih Akreditasi A

Bandung, Kompas - Kesiapan perguruan tinggi untuk membangun sistem penjaminan mutunya dinilai masih sangat minim. Dari 55 perguruan tinggi yang mengikuti akreditasi institusi tahap I, hanya lima di antaranya yang telah meraih nilai sangat baik atau A.
Kelima perguruan tinggi itu adalah Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Menurut Sekretaris Eksekutif Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Adil Basuki Ahza, Rabu (3/12), di Bandung, tidak ada kaitan perolehan nilai A ini dengan reputasi internasional yang kebetulan dimiliki kelima perguruan tinggi negeri (PTN) ini.
”Tidak berkaitan dengan status kelas dunia. Tapi, secara faktual, kita tidak bisa membohongi diri kalau kelima perguruan tinggi ini punya kualitas lebih,” ungkap Basuki Ahza.
Ia melihat, ketidaksanggupan perguruan tinggi lain meraih nilai A lebih karena faktor ketidaksiapan diri. Serta, belum membangun sistem penjaminan mutu yang memadai.
Belum berani dinilai

Tahun 2008 ini, bahkan masih banyak perguruan tinggi yang belum berani dinilai. Dari kuota 50 perguruan tinggi yang dinilai, hanya 30 di antaranya yang terisi. Dan, hanya 25 yang lolos untuk dilakukan site visit (visitasi asesor). Visitasi dilakukan Desember ini. Untuk itu, Badan Akreditasi Nasional (BAN PT) berancang- ancang menghentikan sementara proses akreditasi ini di tahun depan.
Padahal, ia mengatakan, setiap program studi maupun perguruan tinggi negeri wajib untuk mengikuti akreditasi. ”Mereka (perguruan tinggi) lupa bahwa perguruan tinggi bisa kena pidana jika tidak segera memiliki akreditasi. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, jika perguruan tinggi tidak terakreditasi, maka perguruan tinggi tersebut tidak boleh meluluskan mahasiswa,” ujarnya.

Menurutnya, ketentuan ini akan efektif berlaku selambat- lambatnya tahun 2012 mendatang.
Di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pendidikan, ucapnya, bahkan disebutkan, hanya perguruan tinggi berakreditasi minimal B yang bisa meluluskan mahasiswa.
”Lulusan bisa menuntut penyelenggara program studi, dekan, atau rektor apabila klaim tentang akreditasi tidak betul dan mereka tidak bisa lulus,” kata Basuki Ahza.
Meski demikian, perguruan tinggi diperbolehkan mengajukan ulang penilaian setelah dua tahun pengajuan pertama, asalkan ada jaminan perbaikan.

Dalam kesempatan yang sama, Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Prof Sunaryo Kartadinata mengakui, hasil akreditasi institusi sangatlah bergantung faktor kesiapan tiap perguruan tinggi. Namun, ia melihat, akreditasi institusi ini tidak lebih penting daripada akreditasi yang ada di tiap-tiap program studi. Sebab, ujung tombak akademik justru ada di program studi.UPI saat ini memperoleh akreditasi B meski kampus ini sekarang memiliki aset gedung mewah bernilai sekitar Rp 500 miliar.

sumber : http://www.dikti.go.id

Formalisasi Pada Pendidikan Nonformal

Tadi pagi sampai siang sebelum ke Sahid, saya diminta oleh PKBM Sekar Melati (Mlati, Sleman) mengisi pada Workshop Pengembangan Silabus dan Penyusunan RPP Pendidikan Kesetaraan. Workshop tsb dilaksanakan didorong keinginan untuk mengimplementasikan Permendiknas no 14 Tahun 2007 ttg Standar Isi Pendidikan Kesetaraan dan pengalaman ketika uji petik akreditasi Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal (BAN PNF), yaitu teman2 pengelola PKBM ditanya dokumen silabus dan RPP program Kejar Paket A, B, dan C yang diselenggarakan.


Saya sampaikan pada mereka sadarkan kita bahwa telah terjadi formalisasi pada pendidikan nonformal, termasuk pada pendidikan kesetaraan. Memang standar nasional pendidikan sebagaimana diatur PP 19 th 2005 harus kita pegang untuk mencapai standar minimal layanan pendidikan. Namun demikian, memperhatikan ragam dan bentuk pendidikan nonformal maka tidak serta merta berbagai standar yang berlaku pada pendidikan formal dapat diterapkan pada pendidikan nonformal. Salah satunya adalah tuntutan adanya silabus dan RPP. Untuk silabus, walaupun tidak seperti silabus SD SMP dan SMA, memang harus ada karena merupakan arahan program pembelajaran secara garis besar. Namun untuk RPP saya kita perlu dipertimbangkan untuk dilakukan penyederhanaan bentuk sehingga tidak memberatkan para tutor yang saya kira hampir semua adalah sukarelawan. Berbeda dengan guru yang sekarang ini sudah mulai menikmati tunjangan profesi.


sumber : http://www.imadiklus.co.cc/formalisasi-pada-pendidikan-nonformal

Diknas akan Integrasikan Program Non Formal ke Pendidikan Formal

Depdiknas akan mengintegrasikan beberapa program yang diajarkan melalui pendidikan non-formal dengan program pendidikan formal sehingga diharapkan peserta didik setelah menyelesaikan pendidikannya juga memiliki bekal kecakapan hidup."Pendidikan non formal banyak mengajarkan program kecakapan hidup (life skill) sehingga selayaknya dapat ditransfer dalam program pendidikan formal," kata Mendiknas Bambang Sudibyo ketika membuka Rakernas Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin.

Untuk itu, pemerintah saat ini tengah menggodok peraturan pemerintah yang memungkinkan dua program pendidikan yang berbeda tersebut dapat dipadukan.Ia mengatakan, pemerintah akan memberikan penyelesaian dan mekanisme bagaimana melakukan transfer, namun demikian lembaga kursus yang dapat melakukan transfer ke pendidikan formal tentu harus melalui proses modifikasi dan terakreditasi.Mengenai lembaga yang bakal ditunjuk melaksanakan akreditasi, Mendiknas menyatakan, lembaga tersebut sebenarnya sudah tersedia.Beberapa lembaga yang berada dalam binaan Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas, yang selama ini sudah mengembangkan program kecakapan hidup, bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi, katanya."Kalau yang diasuh oleh lembaga-lembaga itu saya tahu, itu sudah siap dan langsung bisa diberikan akreditasi. Tapi kalau yang diselenggarakan oleh masyarakat saya kan harus melihat dulu," katanya.Ia juga mengatakan, jika pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan non formal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi.

Menurut dia, pemerintah akan mendorong lembaga formal seperti Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang memungkinkan anak didiknya mendapat bekal kecakapan hidup atau life skill. Hal ini sangat mungkin mengingat saat ini banyak disuplai oleh pendidikan non-formal.Pendidikan nonformal seperti lembaga kursus, kata Bambang, punya keunggulan dibandingkan dengan pendidikan formal sebab lembaga kursus membuka program untuk memenuhi kencenderungan kebutuhan masyarakat.Ia mengatakan, lembaga kursus berbeda dengan pendidikan formal. "Pemerintah membangun sekolah dimana-mana, biasanya tanpa banyak memperhitungkan kebutuhan masyarakat, semata-mata karena program pemerintah, maka dibangun saja. Sebaliknya, lembaga pendidikan non-formal dibangun dengan memperhitungkan kebutuhan masyarakat," katanya.Pendidikan non-formal, memang tidak terlalu terstruktur dan dapat diselenggarakan lebih mengakomodasi kepentingan individual, sementara pendidikan formal prosesnya cenderung massal sehingga seringkali tidak memperhitungkan apakah programnya dibutuhkan masyarakat atau tidak, katanya.

Lebih lanjut Mendiknas mengatakan, tuntutan dunia pendidikan nasional ke depan akan mengutamakan lulusan sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) yang memiliki kemampuan memasuki bursa kerja semakin tinggi.Oleh sebab itu Mendiknas, Bambang Sudibyo merencanakan agar pada sistem pembelajaran sekolah menengah umum tersebut juga diberikan pelajaran kecakapan hidup untuk menunjang kesiapan lulusan sekolah itu untuk memasuki dunia kerja."Diharapkan dengan adanya program ini maka angka partisipasi kasar sekolah bisa ditingkatkan," katanya.Data Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) menyebutkan saat ini terdapat 2.500 lebih lembaga kursus di Indonesia, dan terdapat 131 jenis kursus yang diselenggarakan oleh PLSP.Mengenai bentuk kurikulum pendidikan yang akan disusun dengan masuknya program pendidikan non formal ke dalam pendidikan formal, Mendiknas mengatakan pemerintah akan menerapkan kurikulum yang longgar sekali, kemudian sesuai dengan UU Sisdiknas."kurikulum efektif itu (yang memasukkan pendidikan non formal-red) akan diramu oleh masing-masing sekolah di bawah koordinasi dinas pendidikan daerah. Jadi nantinya terserah masing-masing sekolah, bagaimana meramu kurikulumnya.

http://www.gatra.com/2004-12-20/artikel.php?id=50823

Eksistensi Pendidikan Non Formal Dilematis

Eksistensi dunia pendidikan non formal (PNF) belakangan waktu dilematis. Pasalnya, lembaga pendidikan ini acap kali dikonotasikan sebagai wadah pendidikan para remaja putusan sekolah formal. Lain halnya dengan minimnya political will dan dukungan pemerintah pusat dan daerah dalam pembinaannya, mengakibatkan kondisinya yang mampu menciptakan life skill para keluarannya masih sering tidak dapat ditampung di berbagai perusahaan.Demikian dikatakan MK Baginta Sembiring, ketua Himpunan Seluruh Pendidik dan Penguji Indonesia-Pendidikan Non formal (HISPPI-PNF) Sumut, Minggu (25/11), seusai acara pelantikan kepengurusan HIPPSI-PNF Labuhanbatu, di Gedung PKK Labuhanbatu di Rantauprapat.Kata Sembiring, political will dari pihak eksekutif dan legislatif dinilai masih belum optimal dalam memberi perhatian pengembangan lembaga itu.

Padahal, dihadapkan pada kompleksnya situasi pendidikan belakangan waktu, sebenarnya, lembaga pendidikan non formal yang kini banyak muncul dapat dijadikan sebagai alternatif solusi permasalahan di dunia pendidikan. Hal itu didasari, lembaga PNF memiliki sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah. serta, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan, terlebih lagi fleksibelitas waktu yang dibutuhkan, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai.Padahal, ujarnya persentase lulusan pendidikan formal yang ada masih banyak yang tidak sanggup melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sementara era globalisasi terus membutuhkan peningkatan kualitas generasi yang trampil dan siap pakai. “Berbagai tempat yang menerima lowongan pekerjaan sekarang memiliki standart dalam menerima calon pekerja yang trampil dan berwawasan luas. Sedangkan, di Sumut tidak sedikit jumlah keluaran pendidikan formal terpaksa kandas melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, disebabkan beberpa faktor, salah satunya masalah pendanaan,” terangnya.

Pemerintah, lanjutnya, masih separuh hati dalam membina lembaga PNF yang merupakan jalur alternatif penyedia tenaga kerja yang trampil, termasuk dalam memberi kemudahan pengurusan ijin pendirian lembaga PNF. “Mental birokrasi masih perlu dikritisi dalam hal memberi perhatian yang lebih serius,” paparnya.Memang, akunya, standart kurikulum PNF masih perlu terus ditingkatkan, terlebih lagi dalam hal standart tenaga pendidik dan lembaga PNF yang sejatinya mampu menelurkan tenaga-tenaga terampil. “Tahun 2008, pihak Badan Standart Nasional Pendidikan Non formal (BSN-PNF) di Jakarta akan mengeluarkan dan terus mengkaji ataupun menganalisa muatan kurikulum PNF yang ideal untuk penerapan dan pedomannya di berbagai lembaga PNF yang ada. Dilain hal, bagi lembaga dan tenaga PNF, juga pihak Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) juga akan mengeluarkan standart mutu sebagai ukuran pendirian lembaga PNF se-Indonesia,” bebernya.PNF yang di bawah koordinasi dengan pihak Diklusemas dan dinas tenaga kerja masing-masing daerah, sejatinya kedepan dapat lebih sinergis dalam menyediakana tenaga-tenaga yang terampil dan menyalurkannya ke berbagai institusi pencari kerja.

Pada kesempatan itu, dilantik kepengurusan HIPPSI-PNF Labuhanbatu, sebagai ketua Amin Prasetyo, sekretaris Razid Yuliwan. Serta, pada kesempatan yang sama, dilantik pula kepengurusan Dewan pengurus cabang Himpunan Penyelenggara Pelatihan dan Kursus Indonesia (DPC HPPKI) Labuhanbatu, sebagai ketua Tatang Hidayat Pohan, sekretaris Hasymi

Prihatin Siregar di lengkapi dengan beberapa biro.
sumber : http://peperonity.com/go/sites/mview/artikel.2/16907174

Pendidikan Nonformal Gratis untuk Anak Putus Sekolah

JAKARTA, SENIN - Tingginya angka putus sekolah, banyaknya anak jalanan dan anak terlantar di Indonesia membuat banyak pihak prihatin, tak terkecuali Yayasan Pendidikan Indonesia-Amerika (Indonesian-American Education Foundation) di Jakarta atau di singkat Jakarta IAEF. Jakarta IAEF akan membangun gedung dan memberikan pendidikan nonformal gratis buat anak-anak tersebut.Demikian diungkapkan Ketua Jakarta IAEF Daniel Dhakidae, Ketua Pembina Jakarta IAEF Azyumardi Azra, anggota Pembina IAEF Jakarta Aristides Katoppo, dan President Dallas IAEF Henny Hughes, kepada pers Senin (27/10) di Jakarta. "Idenya membangun suatu yayasan untuk kepentingan pendidikan, terutama untuk anak-anak putus sekolah, anak jalanan dan anak terlantar. Mereka akan ditampung, dididik dan dilatih hingga mampu berdiri sendiri menopang kehidupannya, tanpa mengeluarkan biaya," kata Daniel Dhakidae.

Bagi mereka sudah lulus dan menguasai keterampilan sesuai bidang yang diminatinya, maka mereka akan disalurkan bekerja di luar negeri dengan jejaring yang dibangun, misalnya di Timur Tengah, Malaysia, termasuk Amerika sendiri. Sejumlah duta besar sudah dikontak dan mendukung program ini. Namun, Jakarta IAEF bukanlah lembaga pengerah jasa tenaga kerja yang mendapatkan fee.Azyumardi Azra mengatakan, yayasan pendidikan ini dibuat sebagai jembatan budaya kedua negara, Indonesia-Amerika. "Yayasan Pendidikan Indonesia Amerika ini lebih dari soal pendidikan, tapi juga pertukaran budaya, sehingga dengan ini mereka bisa mengetahui dan menghayati, dan saling menghargai kebudayaan masing-masing," katanya.

Karena itu, untuk mendukung ini, Aristides Katoppo berharap banyak pihak, apakah pribadi atau perusahaan yang peduli pendidikan anak-anak bangsa yang terlupakan ini, untuk membantu mewujudkan pembangunan gedung Learning Center, tempat mereka membekali diri dengan berbagai keterampilan untuk berkarya."Tanggal 11 Desember 2008, akan digelar malam dana bertajuk We are the Forgotten Children of Indonesia di Balai Sarbini. Diharapkan masyarakat mau menyumbang, bersimpati, dan memberikan solidaritas dan kebersamaan," ujarnya.Henny Hughes menambahkan, gagasan ini berdasarkan investigasi dua tahun lalu. Untuk membawa anak-anak itu kembali belajar, motivasinya harus dari diri mereka sendiri. Keinginan belajar dari mereka itu harus kuat.Membawa mereka kembali belajar bukanlah hal yang mudah, akan tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil karena pengaruh kehidupan liar di luar rumah telah merubah pola pikir mereka. "Untuk itu dibutuhkan metode khusus, praktis dengan bahasa yang sederhana dan berbagai variasi sistem penyampaian, misalnya melibatkan audio-visual agar lebih mudah dipahami, sehingga membuat belajar sebagai bagian dari aktivitas yang menyenangkan dan menjadi suatu kebutuhan," jelasnya.Menurut Henny, pendidikan nonformal di Learning Center bisa menampung 400 anak.

Walaupun yang menjadi target sementara adalah mereka yang putus sekolah dan yang memasuki usia dewasa atau 17 tahun ke atas, akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu maka Learning Center juga akan dapat menampung berbagai tingkatan, termasuk anak-anak setingkat SD hingga universitas. Bahkan, akan menjangkau setiap warga yang ingin meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya.
Learning Center yang didesain oleh Fakultas Teknik Jurusan Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti, untuk tahap awal selain memiliki fasilitas belajar-mengajar dan training juga memiliki sejumlah fasilitas olahraga. Bangunan tiga lantai seluas lebih kurang 2.000 meter persegi di atas tanah seluas 3.000 meter persegi itu, rencananya akan dilaksanakan pada awal tahun 2009 dan diharapkan akan dapat dioperasikan pada pertengahan tahun 2010.sumber :

http://peperonity.com/go/sites/mview/artikel.2/16907174

Dana Pendidikan Nonformal Dipotong Rp 41,8 Miliar

Surabaya, Kompas - Dana pendidikan nonformal dan informal Jawa Timur dipotong sekitar Rp 41,8 miliar. Akibatnya, beberapa program peningkatan kualitas pendidikan seperti penghapusan buta aksara, dana hibah pendidikan luar sekolah, program penyetaraan wajib belajar sembilan tahun, dan pengembangan budaya baca dipastikan berkurang.Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jatim Rasiyo mengatakan, pemotongan dana itu dipastikan akan mengurangi sasaran sejumlah program peningkatan pendidikan. "Program penghapusan buta aksara di pedesaan terpaksa akan dikurangi pesertanya," katanya di Surabaya, Senin (28/4).Menurut Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal Nomor 181 Tahun 2008, dana penghapusan buta aksara untuk Provinsi Jatim dipotong sebesar Rp 23 miliar dari Rp 63 miliar. S

asaran pun berkurang sekitar 5.000 orang. Padahal, jumlah penduduk buta aksara di Jatim masih menempati posisi tertinggi di Indonesia, yaitu sekitar 3,7 juta jiwa dengan usia 10 tahun ke atas.Sementara pemotongan dana penyetaraan wajib belajar sembilan tahun menyebabkan program kejar Paket A atau program penyetaraan pendidikan setingkat SD ditiadakan. Adapun dana untuk program kejar Paket B dipotong sebesar Rp 4,1 miliar. Demikian juga dana kejar Paket C yang dipotong hampir setengahnya. Menurut data Badan Pusat Stastistik tahun 2006, terdapat 3,6 juta penduduk Jatim yang belum pernah mengecap bangku sekolah.Program pengembangan budaya baca pun terkena dampak penundaan anggaran oleh Departemen Keuangan.

Program ini mengalami pemangkasan hingga Rp 2,8 miliar dari dana yang tersedia sebelumnya, yaitu Rp 3,7 miliar. Akibatnya, sebanyak 125 taman baca masyarakat yang ditargetkan dibangun per tahun berkurang menjadi 63 buah saja.Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan Kota Surabaya Edi Santosa mengatakan, pemotongan sebesar Rp 6 miliar dari pengembangan kursus dan magang mengakibatkan dana hibah untuk lembaga pelatihan dan kursus dibekukan.Pembekuan bantuanSelama sebulan terakhir, bidang PLS telah menolak sebanyak empat pengajuan bantuan kursus yang meliputi kursus menjahit, pengobatan alternatif, kecantikan, dan komputer. "Pembekuan ini terpaksa kami lakukan, padahal program ini sangat berguna untuk penduduk putus sekolah," kata Edi.Pemilik dan pengelola LPK Menjahit dan Bordir Sarasvati, Endang Srividodo, mengatakan bahwa penghapusan bantuan itu akan menghentikan kursus gratis yang selama ini ia selenggarakan untuk anak-anak putus sekolah dan belum bekerja di Kecamatan Sambikerep. Diposkan oleh rizki_hakiki di 23:23 0

komentarLabel: Pendidikan Non FormalPendidikan Kesetaraan Ajarkan Kecakapan HidupJAKARTA, SELASA - Pendidikan kesetaraan untuk peserta yang terdaftar di institusi penyelenggara pendidikan ini diharapkan bukan sekedar mengejar ijazah. Dalam program pendidikan kesetaraan, pembelajaran kecakapan hidup dan kepribadian profesional justru perlu ditekankan untuk menyiapkan lulusannya siap memasuki dunia kerja.”Pembelajaran di lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan kesetaraan seperti pondok pesantren, pusat kegiatan belajar masyarakat, atau sanggar kegiatan belajar dilakukan berdasarkan acuan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi peserta untuk bisa siap bekerja dan berwirausaha. Bahan ajar yang diberikan ke peserta juga sesuai dengan kondisi kehidupan sehingga mereka memiliki kecakapan untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan,” kata Ella Yilaelawati, Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas di Jakarta, Selasa (8/7).Menurut Ella, pendidikan kesetaraan Paket A atau setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA ini merupakan bagian dari pendidikan nonformal yang memberikan fleksibilitas kepada peserta untuk menjalani pendidikan sesuai minat dan kondisinya. Pendidikan kesetaraan sebenarnya bisa menjadi pilihan alternatif bagi individu dalam menjalani proses belajar sepanjang hayat.

Dalam kaitannya dengan program pemerintah mencanangkan wajib belajar sembilan tahun untuk anak usia sekolah, pendidikan kesetaraan mampu berkontribusi sebanyak 4,6 persen pada angka partisipasi kasar (APK) SMP secara nasional.Karena itu, pemerintah sendiri sudah mulai mensinergikan pendidikan formal di sekolah dan pendidikan nonformal di luar sekolah, termasuk pendidikan kesetaraan, untuk meluaskan akses wajib belajar sembilan tahun bagi warga yang memiliki kendala ekonomi, sosial, budaya, dan geografis untuk bisa menikmati pendidikan di sekolah-sekolah.

Buhai Simanjuntak, Ketua Forum Komunikasi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) mengatakan pembelajaran di lembaga pendidikan kesetaraan ini perlu ditingkatkan tanpa membuatnya menjadi kaku seperti di sekolah formal. ”Pendidikan kecakapan hidup memang perlu ditekankan. Sebab, yang ikut pendidikan kesetaraan ini kan masih banyak dari keluarga tidak mampu atau bekerja. Mereka ini butuh pendidikan yang bisa meningkatkan taraf hidup dan pekerjaan mereka,” kata Buhai.

sumber : kompas

Jumat, 17 April 2009

Form Evaluasi Diri Rintisan SMA Bertaraf Internasional

Merujuk surat Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Atas nomor 981/C.4/MN/2008 tanggal 9 September 2008 mengenai pengajuan proposal sekolah calon rintisan SMA Bertaraf Internasional, Direktorat Pembinaan SMA akan melaksanakan verifikasi terhadap 146 sekolah calon pelaksana program Rintisan SMA Bertaraf Internasional yang telah lolos seleksi proposal dari 248 proposal yang masuk pada tanggal 5-15 Maret 2009, dengan jadwal sebagai berikut: 1. Tanggal 5-7 Maret 2009 untuk Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Banten. 2. Tanggal 10-12 Maret 2009 untuk Provinsi Jawa Timur dan Bali. 3. Tanggal 13-15 Maret 2009 untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Papua, Bengkulu, Gorontalo, dan Kepulauan Riau.

Untuk calon penyelenggara program Rintisan SMA Bertaraf Internasional yang akan diverifikasi terlebih dahulu harus mengisi form Evaluasi Diri yang telah dikirim bersamaan dengan surat pemberitahuan dari Direktorat Pembinaan SMA. Jika sekolah belum menerima surat pemberitahuan tersebut, sekolah dapat mendownload file form Evaluasi Diri pada situs ini.
sumber : http://www.dikmenum.go.id

OpenSource, Dalam Kurikulum Pendidikan Menengah Berbasis Kompetensi

Perkembangan kurikulum pendidikan menengah sebagai respon terhadap tuntutan perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, tuntutan desentralisasi, dan hak asasi manusia menyebabkan adanya penyesuaian bahan kajian yang harus dikuasi oleh siswa. Dengan demikian, siswa memiliki bekal berupa potensi untuk belajar sepanjang hayat serta mampu memecahkan masalah yang dihadapinya. Salah satu fasilitas untuk menunjang kompetensi tersebut siswa perlu dikenalkan dengan mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau Information and Communication Technology (ICT) yang berfungsi sebagai bahan maupun alat pembelajaran.

Paragraf diatas merupakan sedikit pendahuluan dari dokumen final mata pelajaran teknologi informasi dan komunikasi yang bisa didownload dari www.puskur.or.id . Pada kenyataannya ternyata banyak sekali sekolah (SMP/Madrasah Tsanawiyah, SMU/Madrasah Aliyah) yang kesulitan untuk mengaplikasikan kurikulum kompetensi tersebut dikarenakan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk sarana dan prasarananya.
Memang didalam kurikulum tersebut tidak mengharuskan sekolah untuk menggunakan aplikasi software tertentu yang digunakan, namun bila dilihat dari penjabarannya terlihat sedikit “Microsoft minded”. Hal ini bisa dilihat dengan banyaknya sekolah-sekolah yang menggunakan aplikasi microsoft (windows, office) dalam materi pembelajarannya. Seperti kita telah ketahui bersama bahwa penggunaan software komersial secara tidak legal (baca:membeli) akan menjadi masalah dikemudian hari apalagi dengan telah ditetapkannya UU HAKI. Sedangkan untuk membeli software ASLI, tidak semua sekolah mempunyai kemampuan keuangan yang sama. Mungkin hanya sekolah-sekolah besar saja yang bisa membelinya.

Melihat kondisi diatas, maka software Opensource bisa menjadi sebuah solusi. Mulai dari yang bersifat efisiensi biaya pengadaan hardware hingga efisiensi biaya pengadaan software yang semuanya bisa didapatkan dengan gratis. Software Opensource yang tersedia pada saat ini sangat banyak sekali.Efisiensi Pengadaan Hardware
Dalam rangka menghemat biaya pengadaan hardware, Opensource mengenal sistem diskless workstation (LTSP – Linux Terminal Server Project). Diskless workstation merupakan penggunaan komputer oleh dua atau lebih tanpa adanya suatu media penyimpanan (harddisk) pada komputer client. Untuk proses booting hanya dibutuhkan 1 disket saja untuk meload boot image, setelah itu client menghubungi server untuk proses selanjutnya.

Kebutuhan minimum untuk client LTSP adalah komputer kelas 486 / pentium I. Sedangkan untuk server bisa menggunakan processor terbaik saat ini dengan RAM minimum 512 (mampu untuk 10 client) untuk bisa menjalankan aplikasi OpenOffice. Untuk kebutuhan RAM berbanding lurus dengan jumlah client. Sebagai perbandingan, kami menggunakan P4 2,4 GHz dengan RAM 1 GB untuk meng-handle kurang lebih 22 client. Informasi mengenai LTSP bisa dilihat di http://www.ltsp.org atau http://www.ltsp.or.id .
Efisiensi Pengadaan Software
Untuk menghembat biaya pengadaan software, opensource banyak menawarkan solusi alternatif. Dimana solusi alternatifnya pun bebas biaya alias gratis, sehingga tidak akan melanggar UU HAKI yang telah diterapkan di Indonesia. Selain gratis, software opensource juga mempersilahkan kita untuk melakukan modifikasi karena source codenya disertakan dalam setiap distribusinya. Selain itu banyaknya forum yang bisa kita gunakan untuk mencari sebuah solusi apabila kita menghadapi permasalahan dalam penggunaannya. Berbeda dengan software komersial yang sifatnya closed source.

Berdasarkan penjabaran diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa software Open Source menawarkan sebuah solusi yang cukup ekonomis. Seperti juga hal yang lain, konsep diatas juga mempunyai kelemahan. Yaitu kurangnya SDM yang menguasai software Open Source sehingga sekolah-sekolah pun sedikit kesulitan mencari tenaga pengajar, karena biasanya sudah terbiasa dengan software microsoft. Tetapi itu bukan hambatan yang berarti apabila kita mau belajar dan terus belajar untuk berusaha untuk menggunakannya.

sumber: http://step2k.blogsome.com/2004/12/29/opensource-dalam-kurikulum-pendidikan-menengah-berbasis-kompetensi/

Pendidikan Menengah : Pemerintah Alokasikan Rp 500 Miliar Untuk Perbanyak SMK

Pemerintah mengalokasikan dana total Rp 500 miliar untuk membantu pemerintah daerah memperbanyak pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di berbagai daerah, khususnya SMK yang bertaraf internasional.
"Depdiknas siap membantu melakukan studi kelayakan bagi Pemda yang berniat untuk mengubah SMA menjadi SMK serta mengembangkan SMK-SMK baru sesuai dengan target pemerintah hingga 209 nanti," kata Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Depdiknas, Suyanto pada jumpa pers di sela-sela acara Rembug Nasional Pendidikan 2006 di Sawangan, Bogor, Jumat (21/4).

Ia menyatakan, keinginan sejumlah daerah untuk mengubah SMA menjadi SMK sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk memperbanyak sekolah menengah kejuruan (SMK) dan mengurangi sekolah menengah atas (SMA). Depdiknas mengharapkan perbandingan SMK dan SMA 70:30 pada 2009.
Saat ini, rasio SMK dengan SMA masih 30:70. Target pada 2008 menjadi 40:60 dan pada 2009 rasio perbandingan SMK dengan SMA menjadi 70:30.
Sedangkan, selisih siswa SMA dengan SMK saat ini sebanyak dua juta orang. Secara perlahan-lahan dengan analisis yang tepat peralihan sekolah itu akan dilakukan, katanya.
Dirjen mengatakan untuk membuat SMK yang bermutu dan bertaraf internasional serta lulusannya bisa diandalkan di pasar kerja membutuhkan Rp 22 miliar untuk satu sekolah. SMK untuk bisa disebut bertaraf internasional minimal harus membangun fasilitas seperti laboratorium, juga memiliki jaringan kerja perusahaan di luar negeri.

Tujuan untuk terus memperbanyak SMK, menurut Suyanto, karena lulusan SMK lebih mudah masuk ke aspar kerja ketimbang lulusan SMA karena umumnya mata pelajaran di SMK sudah disertai dengan praktik keterampilan.
Siswa SMA yang tidak bekerja atau tidak melanjutkan ke perguruan tinggi menyumbang jumlah pengangguran yang saat ini jumlahnya mencapai 40 juta orang. Harapannya dengan diubah dari SMA ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) supaya mereka bisa bekerja pada orang lain atau membuka lapangan kerja sendiri.
"Memperbanyak SMK itu relevan sekali. Sebab, lulusan SMA memberikan sumbangan yang besar terhadap pengangguran di Indonesia," kata Suyanto.
Ia mengatakan, Depdiknas siap membantu daerah-daerah yang ingin mendirikan SMK, baik berupa bantuan guru-guru maupun program, kurikulum, dan bantuan menentukan jenis SMK yang cocok untuk suatu daerah.
Namun demikian, SMK itu juga harus sesuai dengan potensi wilayah dan kebijakan daerah itu di masa mendatang.

Alternatif lainnya ada program penyisipan SMK di SMA. Artinya, selama ini jurusan yang terkait dengan kejuruan dimasukkan dalam salah satu jurusan di SMP, kini dialihkan juga ke SMA.
Dalam kaitan ini, Bupati Bantul, Jateng M Idham Samawi dan Bupati Ende, Flores, NTT Paulinus Domi yang hadir dalam acara itu menyambut baik program penyisipan tersebut dan siap menindaklanjutinya dengan Depdiknas soal teknisnya.
Sebelumnya, Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri Depdiknas, Gatot Hari Prijowirjanto yang bertindak sebagai ketua seksi substansi Rembug Nasional mengatakan Depdiknas siap membantu daerah-daerah yang ingin mendirikan SMK, baik dalam bentuk bantuan guru-guru, program, kurikulum, maupun bantuan untuk menentukan jenis SMK yang cocok untuk suatu daerah.
"SMK itu juga harus sesuai dengan potensi wilayah dan kebijakan daerah itu pada masa mendatang," ujarnya.

Menanggapi usulan tersebut Bupati Bantul, Jateng, M Idham Samawi dan Bupati Ende, Flores, NTT Paulinus Domi yang hadir dalam acara itu menyambut baik program penyisipan tersebut dan siap menindaklanjutinya terkait teknis pelaksanaannya.
Bupati Bantul mengakui lulusan SMA lebih banyak menganggur ketimbang lulusan SMK, khususnya di wilayahnya. Contohnya, dari total 6.267 lulusan SMA yang menjadi penganggur 4.200 orang. Sisanya, sebanyak 1.114 orang meneruskan kuliah dan 911 lulusan bekerja.
Mengantisipasi hal tersebut, Bantul juga menyiapkan untuk membangun lima SMK di wilayahnya. Antara lain, SMK Kelautan dan SMK Pertukangan.
"Kami sudah menyetop izin untuk membangun SMA baru, tapi akan terus memperbanyak SMK," katanya sambil menambahkan rasio SMK dan SMA di wilayahnya bahkan sudah mencapai 40:60.

Sedangkan, Bupati Ende Paulinus Domi mengatakan kebijakan untuk memperbanyak SMK itu perlu didukung dengan bantuan guru-guru dan prasarana lainnya. Sekarang ini di Ende terdapat tujuh SMK dan 20 SMA.
"Kami siap melakukan program yang ditawarkan itu dengan istilah SMA terpadu itu, yaitu penyisipan jurusan SMK di SMA. Bahkan, saat ini fokus anggaran kabupaten lebih banyak ke sektor pendidikan. Untuk 2007 mendatang diharapkan sudah mencapai minimal 20 persen.

Subsidi Pendidikan, Buat Siapa?

Subsidi Pendidikan, Buat Siapa?
Rencana pemerintah untuk menggratiskan biaya sekolah, patut disambut dengan gembira. Dan, mungkin inilah yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat pada umumnya di seluruh penjuru nusantara. Lagipula, planning untuk mengalokasikan subsidi BBM ke sektor pendidikan itu, tampaknya telah sepakati oleh beberapa fraksi di dewan perwakilan rakyat. Kabar tersebut seperti diberikatakan oleh bebarapa media elektronik dan cetak nasional beberapa waktu yang lalu.Namun pertanyaan yang mengganjal di hati saya adalah, mampukah mutu pendidikan menjadi lebih meningkat hanya dengan membebaskan biaya pendidikan formal? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa setidaknya upaya itu ditempuh untuk mencegah bertambahnya para anak muda yang drop out, putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan sekolah yang lebih tinggi lagi.Akan tetapi, di sisi lain, anak usia sekolah yang mogok belajar bisa jadi disebabkan karena kurang perhatian dan dukungan dari orang tua dan masyarakat sekitar.

Sehingga anak tidak mempunyai motivasi dan cita-cita yang mantap. Juga masih maraknya anggapan kuno dari masyarakat yang menyatakan bahwa buat apa bersekolah tinggi-tinggi, kalau pada akhirnya pekerjaan yang cocok sulit diperoleh alias menjadi penggangguran setelah lulus sekolah.Selain itu, pemerintah kurang peka terhadap perkembangan di sekolah-sekolah. Karena jarangnya pemerintah --khususnya yang bergelut di bidang pendidikan-meluangkan waktunya untuk meninjau lokasi sekolah, maka pihaknya tidak tahu secara persis situasi dan kondisi lingkungan sekolah. Padahal ada hal-hal yang perlu diperbaharui di sana, misalnya saja, ada beberapa bangunan fisik sekolah yang sangat memprihatinkan, bahkan tak pantas disebut sebuah sekolah ini. Ditambah pula dengan minimnya tenaga pendidik, terutama di daerah pelosok yang sulit dijangkau plus alat-alat sekolah yang kurang memadai.Perlu diketahui bahwa yang namanya pendidikan itu merupakan suatu usaha dilakukan oleh seseorang untuk dapat menggali potensi diri yang dimilikinya yang berupa intelektual, skill dan mengembangkan kepribadiannya. Dari itu, sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan diharapkan dapat membantu (bukan menciptakan) terwujudnya kompetensi-kompetensi yang ada pada diri siswa.

Hal ini seperti yang dinyatakan Drost bahwa sekolah itu bertugas sebagai pembantu orang tua dalam hal pengajaran (bukan pendidikan). Maka, di sinilah peran guru sangat mutlak diperlukan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang sebenarnya.Oleh karenanya, guru yang baik, tidak hanya menjadi pengajar yang handal saja. Lebih dari itu, ia juga mampu menjadi pendidik, pembina dan pelatih yang baik pula. Dengan begitu, interaksi yang harmonis antara guru dan siswa akan berjalan dengan semestinya. Jika sudah demikian, maka proses pengalihan ilmu pengetahuan dari guru kepada para siswanya dapat dilakukan tanpa menemui banyak kesulitan. Akan tetapi, untuk mewujudkan hal demikian itu, diperlukan bantuan orang tua siswa, masyarakat dan pemerintah yang kelak akan menciptakan sebuah sekolah unggul.Untuk dikatakan sekolah unggul, Syaiful Sagala (2004) menyatakan bahwa sekolah harus mampu mengidentifikasikan keinginan dan membuat daftar kebutuhan melalui proses analisis kebutuhan, seperti para siswa menginginkan agar kegiatan belajar dapat memberikan ilmu pengetahuan dan ketrampilan secara mudah dan suasana belajar yang menyenangkan, guru menginginkan tersedianya fasilitas dan sarana belajar yang cukup, orang tua siswa menginginkan hasil belajar anaknya sesuai dengan biaya yang dikeluarkan orang tua dan pemerintah, dan masyarakat menginginkan agar hasil belajar mempunyai kemampuan dan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.Sekali lagi, agar proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan tertib, maka salah satu hal yang tidak boleh dilupakan ialah menyangkut biaya pendidikan untuk melengkapi piranti pendukung belajar di sekolah yang digunakan oleh guru dan siswa.

Sebab, belajar tanpa disertai dengan media pendidikan dan pengajaran akan menjadi faktor penghambat dalam proses belajar-mengajar. Juga semangat belajar pun akan semakin turun sedikit demi sedikit.Nah, untuk itulah, pemerintah sewajarnya bisa membantu dalam hal tersebut semaksimal mungkin. Karena itu, agar upaya pemerintah untuk membantu pendidikan gratis, (atau lebih tepatnya meringankan biaya pendidikan) ini tidak mubazir, sepatutnya perlu dipandang beberapa hal: yakni, pertama, disadari atau tidak, yang namanya pendidikan itu memang mahal, jika melihat konteks bahwa pendidikan (baca: mencari ilmu pengetahuan) itu wajib bagi setiap orang semasa hidupnya, tidak hanya dibatasi sembilan tahun saja. Karena itu, pihak terkait berusaha untuk menyalurkan dana pendidikan sedemekian rupa agar dengan tepat sasaran.Kedua, subsidi pendidikan dialokasikan sebaiknya tidak hanya diperuntukkan terbatas pada siswa sekolah saja, melainkan juga untuk kesejahteraan guru (atau bahkan orang tua/wali siswa?). Jangan lupa, seorang guru pun bisa saja tidak mampu mencukupi kebutuhan pimer sehari-harinya. Ini juga untuk menghindari adanya 'kecemburuan sosial' terhadap anak didiknya.

Jika persoalan ekomomis guru terbantukan, -untuk tidak dikatakan terpenuhi-maka setidak-tidaknya akan tumbuh semangat yang menyala untuk memotivasi siswa agar terus maju dan giat belajar dan bekerja.Ketiga, siswa yang berprestasi -tanpa memandang tingkat status ekonomi-layak diberi award, penghargaan, misalnya berupa beasiswa melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri. Contoh semacam ini akan menjadi pemicu bagi siswa yang lain, utamanya dari golongan yang the haven't, kurang mampu, untuk bisa mengejar ketertinggalannya, dalam bidang akademik dan non akademik.Keempat, perlu adanya jalur khusus bagi siswa yang memiliki bakat dan minat yang berbeda, umpamanya dengan cara memberikan sejumlah ketrampilan yang diminatinya. Ini untuk mencegah tekanan jiwa pada siswa yang hanya memiliki kemampuan intelejensi yang biasa-biasa atau pas-pasan saja, sehingga bisa menyalurkan skill yang tampak menonjol dalam dirinya dan bahkan potensi belum muncul sekalipun.Kelima, pemerintah, secara formal atau nonformal, minimal sekali-kali meninjau, mengontrol, memonitoring kebijakan yang telah dilontarkannya itu dari jarak dekat.

Kegiatan ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah subsidi itu sudah digunakan dengan semestinya atau tidak. Dengan demikian, peristiwa yang tidak diinginkan dapat mencemarkan citra pendidikan, dapat sedini mungkin dicegah.Dua KemungkinanSeandainya pendidikan gratis itu benar-benar direalisasikan, diprediksikan ada dua kemungkinan yang akan muncul, yakni dampak positif dan negatif. Kemungkinan pertama, pendidikan yang diperoleh secara tanpa mengeluarkan biaya, semestinya malah menjadikan faktor untuk meningkatkan pendidikan yang berkualitas. Sebab, orang tua siswa tidak terlalu bersusah payah mengeluarkan sejumlah besar dana untuk membiayai anaknya di sekolah sehingga mereka bisa berkonsentrasi untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka sendiri.Lalu, agar subsidi itu dimanfaatkan sesuai dengan rencana, maka subsidi seyogianya bukan berupa segepok uang yang diberikan langsung kepada siswa, tetapi alangkah baiknya disalurkan langsung ke sekolah, dan sisanya dalam bentuk buku-buku pelajaran atau bahan bacaan penjunjang. Dan, jika terpaksa subsidi harus dicairkan dalam bentuk sejumlah uang, seharusnya tetap dikontrol oleh pihak sekolah dan orang tua siswa mengenai penggunaan dana sumbangan pendidikan tersebut.Selanjutnya, kemungkinan kedua, pendidikan gratis dari pemerintah itu bisa jadi membuat mutu pendidikan akan semakin menurun atau sama seperti sebelumnya. Pasalnya, mereka, para siswa dan orang tua yang minim tingkat ekonominya, berpikir bahwa mengenyam pendidikan sekolah itu ternyata gampang, sehingga dalam belajar pun siswa menjadi asal-asalan. Maka dari itu, perlu juga diberikan sanksi bagi siswa yang meremehkan, malas belajar hingga berkali-kali harus 'mandeg' di kelas.

Demikian juga orang tua siswa perlu diberi pengertian dan peringatan agar selau membina dan mengarahkan serta mengontrol perkembangan prestasi belajar anaknya di rumah.Mencermati kemungkinan-kemungkinan tersebut, agaknya program pendidikan gratis bagi kaum miskin kota dan desa, menurut hemat saya, perlu dikaji ulang sebelum dan sesudah launching ke masyarakat. Meskipun, diakui rencana itu baik dan dibutuhkan, namun hal penting yang harus dilakukan oleh berbagai pihak -kelurga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah-- ialah menyaksikan bagaimana praktik riilnya nanti lapangan, apakah berjalan di atas rel telah ditetapkan atau malah keluar dari jalur yang semestinya. Karena, jika pendidikan gratis hanya berorientasi utama agar anak itu bisa sekolah saja, dengan alat dan biaya secukupnya pun hal itu bisa diwujudkan.Tetapi lebih dari itu, bagaimana pula agar siswa atau anak didik mampu mandiri -tidak terus-menerus menggantungkan bantuan-- dengan mengembangkan segala potensi yang dimilikinya, sehingga pasca tamat sekolah ia dapat melanjutkan ke perguruan tinggi, atau menyalurkan ketrampilannya di suatu instansi, atau mungkin menjadi wiraswasta dengan membuka usaha sendiri yang modalnya diberikan (bukan dipinjamkan) oleh pemerintah secara cuma-cuma. Pendeknya, dengan semua itu, diharapkan anak muda usia yang tidak dapat merampungkan sekolah dan tidak mampu melanjutkan studi serta belum memperoleh pekerjaan yang cocok, sedapat mungkin diminimalisir.Dengan kata lain, sekolah berfungsi sebagai wadah untuk memperoleh segala ilmu pengetahuan dan membentuk sikap kepribadian yang unik dalam setiap anak jiwa anak didik yang sedang mengalami masa pertumbuhan. Dan, ini juga merupakan tanggung jawab sekolah untuk bekerja bersama para orang tua mengoptimalkan potensi siswa agar mendapat manfaat dari proses belajar di sekolah.Kemudian dengan adanya potensi-potensi yang itulah, maka siswa diusahakan mampu menemukan solusi yang efektif atas masalah pribadi, dan kelompok atau komunitas baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat dengan memfungsikan sumber daya pengetahuan yang dikuasainya. Berkenaan dengan hal ini, tampaknya kata-kata dari Jerome S Arcaro patut direnungkan, bahwa "tujuan sekolah adalah untuk menemukan apa yang tidak berjalan dan memperbaikinya sebelum hal tersebut menjadi masalah yang bertambah besar". Ini berarti, sekolah diyakini sebagai problem solver, dan juga pencegah problem agar tidak menjelma menjadi problem lebih parah lagi.Oleh:Khaerul hakim

Sumber : Pendidikan.net

Depdiknas Terbitkan Peta Bahasa di Tanah Air

Pusat Bahasa Depdiknas akan menerbitkan peta bahasa yang terdiri atas kumpulan bahasa daerah di Tanah Air dari Sabang, Pulau We sampai Merauke, Papua."Penyusunan peta bahasa ini sudah berlangsung selama 15 tahun karena proses pengumpulan data bahasa ibu dari satu daerah ke daerah lain mengalami kendala geografis," kata Kepala Pusat Bahasa Depdiknas, Dr Dendy Sugondo di Jakarta, Rabu sehubungan penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia IX di Jakarta, pada 28 Oktober- 1 November 2008.Penelitian tentang bahasa daerah atau bahasa ibu bertujuan untuk memetakan bahasa sebagai budaya dan sarana mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Ia mengatakan, bangsa Indonesia memiliki lebih dari 746 bahasa daerah dan 17.508 pulau. "Melalui bahasa kita bisa membuat peta budaya dan wilayah NKRI. Ini suatu senjata paling kuat, yaitu peta budaya, bukan hanya peta wilayah," katanya.

bahasa telah mencapai kawasan timur yakni di Provinsi Papua dan Maluku. Dendy mengharapkan, pada 28 Oktober nanti meski Peta Bahasa tersebut belum sepenuhnya sempurna -karena bahasa ibu di Papua belum masuk- tetap akan dipamerkan pada acara Kongres Bahasa nanti.Untuk melakukan pemetaan bahasa tersebut, Depdiknas menerjunkan tim pemetaan bahasa yang disebar di seluruh Indonesia. Mereka ditempatkan di balai bahasa setiap provinsi di Indonesia.Dendy mengatakan, selama penelitian diperoleh data terdapat enam bahasa daerah yang sudah punah. Bahasa-bahasa tersebut berada di daerah Nusa Tenggara Timur, Papua, dan wilayah Maluku."Kebanyakan, bahasa daerah, terutama yang kecil-kecil komunitasnya, turun temurun secara lisan. Akibatnya, setelah penutur aslinya tidak ada, bahasa tersebut hilang," tambahnya. Sementara tidak semua daerah memiliki dokumentasi secara tertulis, katanya.Selain itu, lanjut Dendy, terdapat juga beberapa bahasa daerah yang terancam punah. Bahasa-bahasa tersebut terutama yang memiliki penutur di bawah 100 orang. (media indonesia)

Sumber : dikmentidki.go.id

Sentra Pendidikan Layanan Khusus Ditambah

Sentra Pendidikan Layanan Khusus DitambahPada tahun 2007, pemerintah berencana menambah dan mengembangkan sentra pendidikan layanan khusus, terutama di wilayah-wilayah bekas bencana, terpencil, dan perbatasan. Upaya ini merupakan bagian penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, khususnya dari jalur pendidikan luar biasa.Hal tersebut disampaikan Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Dikdasmen Depdiknas, Eko Djatmiko, ditemui di sela-sela acara Spirit, ”Kreasi Gemilang Anak-anak Luar Biasa Indonesia", di Bandung, Kamis (16/11). Acara tahunan ini menghadirkan ratusan anak-anak berkebutuhan khusus dari 33 provinsi se-Indonesia.Eko menjelaskan, sentra-sentra pengembangan yang dimaksud diantaranya wilayah Nunukan (Kalimantan Timur), Natuna (Kepulauan Riau), Sangihe Talaud (Sulawesi Utara), dan Rondo (NAD). Daerah-daerah yang menjadi pilot project ini dipilih berdasarkan permintaan dan analisis kebutuhan daerah.”Program (pendidikan layanan khusus atau PLK) ini memang terbilang baru. Setahun terakhir bergulirnya. Sesuai dengan UU Sisdiknas, khususnya Pasal 31, PLK ini ditujukan bagi siswa-siswa yang berada di daerah pelosok, terpencil, komunitas adat terpencil (KAT), daerah konflik, maupun bekas bencana alam,” ungkapnya.Berbeda dengan pendidikan luar sekolah (PLS), sasaran PLK ini adalah siswa-siswa usia wajar dikdas 9 tahun. Keunikan dari program ini, metoda pengajarannya tidak melulu bersifat akademis atau kognitif. Melainkan, dipadukan dengan pembekalan life skill yang tentunya disesuaikan potensi anak didik.Tahun 2006 ini, PLK ini diujicobakan di sedikitnya 12 daerah yang ada di tanah air, diantaranya Lampung, Medan, Batam, Makassar, Sulawesi Tengah dan Mataram. Di antara sejumlah sentra, lokasi pengungsian di Atambua (Nusa Tenggara Timur) dan KAT Suku Anak Dalam (Jambi) menjadi salah satu indikator keberhasilan program.Menurut Eko, program strategis ini diharapkan bisa efektif membantu pencapaian target wajar dikdas, khususnya di daerah yang sulit terjangkau pendidikan jalur reguler. ”Tahun 2006 ini, saya berutang 54.000 anak difabel usia sekolah (wajar dikdas) yang tidak bersekolah. Padahal, jumlah ini baru sepertiga dari seluruh siswa pendidikan khusus,” ujarnya kemudian.Anggaran ditingkatkanUntuk mendukung rencana tersebut, Depdiknas mengimbanginya dengan pengajuan penambahan alokasi anggaran dalam APBN 2007 mendatang. Kenaikannya, mencapai 35 persen dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi Rp 365 miliar. Dari total Rp 365 miliar anggaran PSLB, 30 persen diantaranya ditujukan untuk PLK.Agus Prasetyo, penanggung jawab sebuah PLK yang beroperasi di daerah bencana khususnya NAD, menyambut baik penambahan alokasi anggaran tersebut. ”Ini tentunya sangat baik. Bisa mendukung operasional dan pengembangan kualitas tutor. Apalagi, selama ini kegiatan (PLK) ini sifatnya sukarela. Padahal, jangkauan daerah sangat luas

sumber:kompas cyber media

Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan Khusus

Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan KhususKUPANG,SABTU - Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Program ini diprioritaskan untuk anak usia sekolah di lokasi bencana, pulau atau desa terisolir, anak-anak dari keluarga sangat miskin, terbelakang, dan tidak punya orangtua.Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya.Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri.Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa. Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.KOR

http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/11/18122444/masyarakat.harus.dukung.pendidikan.layanan.khusus

PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT ANGKATAN V

Keberadaan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang diundangkan tanggal 5 April 2006, tidak saja memberikan kepastian hukum dan status hukum bagi advokat sebagai penegak hukum, yang berprofesi memberikan jasa hukum, (seperti : memberikan konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentngan klien), tetapi juga menuntut lahirnya advokat-advokat yang profesional, demi terciptanya hukum dan keadilan.

Syarat untuk menjadi advokat antara lain adalah lulus pendidikan tinggi hukum, telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat, lulus ujian advokat, serta telah magang selama dua tahun berturut-turut di kantor advokat. Pelaksanaan pendidikan khusus dan ujian advokat menjadi kewenangan organisasi profesi. Selain itu organisasi profesi juga melakukan pengangkatan, pengawasan (oleh Dewan Pengawas) serta menindak, termasuk memberhentikan advokat (oleh Dewan Kehormatan).

Selama ini organisasi advokat tergabung dalam Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang dideklarasi oleh organisasi profesi Advokat Indoensia yang terdiri dari: Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal Indonesia (HKHPM), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Menurut Undang-Undang Advokat, organisasi profesi harus sudah terbentuk selambat-lambatnya 2 tahun. Amanat UU Advokat sudah terealisasi dengan dibentuknya Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).

Kewenangan yang diberikan kepada organisasi profesi Advokat (PERADI) untuk menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat, diharapkan dapat memenuhi standar kualitas profesi advokat. Oleh karena itu, perlu dipersiapkan kerangka dan rancangan materi program pendidikan khusus profesi advokat dengan jumlah sesi dan bobot dari masing-masing sesi mata ajar.

Kewenangan pada PERADI untuk menyelenggarakan pendidikan khusus profesi advokat, dapat dilaksanakan sendiri oleh PERADI maupun dilaksanakan oleh PERADI dan bekerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga pendidikan/profesi lainnya.

Dalam kaitannya dengan maksud tersebut diatas, Unika Atma Jaya bekerjasama dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI).

sumber : http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=4193

NTT Selenggaraka Pendidikan Layanan Khusus

KUPANG, SPIRIT -- Pendidikan Layanan Khusus (PLK) resmi diselenggarakan di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Peresmian penyelenggaraan pendidikan ini ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan gedung PLK di Kelurahan Oebufu, Kota Kupang oleh Direktur Pembinaan Pendidikan Luar Biasa (PPLB), Departemen Pendidikan Nasional RI, Ekodjatmiko Sukarso, Jumat (7/3/2008) sore.Peletakan batu pertama ini disaksikan oleh Direktur Yaspurka Kupang, Y Aryanto Ludoni, B.Sc, Kepala Sub Dinas (Kasubdin) Pendidikan Layanan Khusus, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Propinsi NTT, Willy Paga, S.Fil, Kasubdin Sekolah Menenga Pertama (SMP)/Sekolah Menengah Atas (SMA), Yusuf Miha Ballo, rombongan dari Jakarta, para guru dan kepala sekolah mitra dan dan ratusan calon warga belajar dari beberapa sekolah kejuruan di Kota Kupang. Selain di Kota Kupang yang diselenggarakan oleh Yaspurka Kupang, PLK juga diselenggarakan di wilayah Tenukiik, Fatubanao, Manumutin di Kabupaten Belu.Seperti disaksikan Pos Kupang, Direktur PPLB, Ekodjatmiko Sukarso yang datang bersama rombongan dari Jakarta disambut dengan tarian penjemputan tebe-tebe dari Kabupaten Belu, diberi kalungan bunga serta pakaian adat lengkap dari TTS. Acara ini dimeriahkan dengan tarian dan vokal grup dari SMA Kristen Tarus dan SMK Mentari Kupang.Dalam sambutanya, Ekodjatmiko mengatakan, PPLB lahir karena adanya Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003. Yang dikenal selama ini, katanya, pendidikan formal yakni sekolah dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), pendidikan non formal, yakni PKBM-PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) seperti Paket A, B ,C, dan pendidikan informal. Pendidikan non formal, kata Ekodjatmiko, filosofinya untuk pendidikan orang dewasa, tetapi munculnya kebijakan politis pemerintah bahwa tahun 2008, Indonesia harus sudah menuntaskan buta aksara maka penyelenggarakan pendidikan ini juga diberikan kepada anak usia 15 sampai 45 tahun.Menurutnya, PLK menampung anak-anak yang mengalami trauma akibat bencana alam, perang, anak-anak cacat, anak-anak yang tidak beruntung dalam bidang ekonomi dan anak-anak dengan kecerdasan istimewa, anak-anak suku terasing, anak korban pengungsian. Dalam penyelenggaraanya ke depan, katanya, PLK harus bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat. Dikatakanya, PLK memiliki mobile school untuk melakukan pendekatan pelayanan pendidikan kepada anak-anak. Sedangkan metode penyelenggaraan pendidikan adalah lokal wisdom (kearifan lokal) dimana kurikulum tingkat satuan pelajaran (KTSP) sesuai dengan kearifan lokal, dengan 20 persen teori dan 80 persem praktek.Sementara itu, Kasubdin PLK Dinas P dan K Propinsi NTT, Willy Paga, S.Fil, mengatakan, PLB di NTT sudah ada sejak tahun 2000 yang ditetapkan melalui peraturan daerah (Perda) Tahun 2000, dan saat ini sudah berjalan delapan tahun, mulai dari tingkat TKLB sampai SMALB. Pendidikan ini merupakan sekolah yang menampung anak-anak dengan layanan khusus. Di NTT, katanya, ada 24 sekolah terpadu dan sembilan sekolah akselerasi yang selalu lulus UN 100 persen. Sedangkan untuk PLK, katanya, ada beberapa yayasan yang mengelolah, namun yang komitmen dengan PKL hanya Yaspurka Kupang.Sementara itu, Direktur Yaspurka Kupang, Y Arhyanto Ludoni, B.Sc, dalam sambutanya mengatakan, berterima kasih karena pemerintah melalui Dirjen PPLB sudah mau mencetuskan pendidikan layanan khusus untuk anak-anak termarjinalkan untuk mengenyam pendidikan. Sebagai orang yang juga komit dengan pendidikan, ia akan terus belajar untuk menyukseskan pengetasan buta aksara di NTT dan akan belajar terus megelolah PLK. Karena menurutnya, berbicara pendidikan tidak semudah membalikkan telapak tangan. *


sumber : http://spiritentete.blogspot.com/2008/03/ntt-selenggarakan-pendidikan-layanan.html

Pendidikan Layanan Khusus

Betapa gembiranya anak-anak nelayan yang kurang beruntung itu di Kampung Baru Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakart Utara memperoleh akses pendidikan lewat program Pendidikan Layanan Khusus (PLK). Data yang diperoleh dari ketua Yayasan Lentera Bangsa Syaifudin Zufri ada sebanyak 190 anak usia sekolah yang kebanyakan karena putus sekolah atau terhimpit ekonomi, bahkan ada pula yang tidak pernah sekolah. Dari 190 anak, katanya, 150 anak merupakan usia sekolah SD-SMP dan sisanya usia SMA. Jadi hanya 20 persen dari jumlah total anak-anak di Kampung Baru yang punya kesempatan sekolah. "Sekolah PLK ini gratis," kata Syaifuddin. Untuk menjawab permasalahan tersebut pemerintah punya tekad kuat untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun pada tahun 2008 ini. Karena hal ini merupakan sikap dan komitmen politik sekaligus kepedulian bangsa. "Anak-anak usia dibawah 18 tahun yang belum sekolah atau putus sekolah dapat belajar lewat jalur PLK. Karena telah dijamin oleh undang-undang,". kata Direktur Pembinaan SLB Ekodjatmiko Sukarso saat meresemikan PLK Anak Nelayan di Muara Angke Jakarta Utara.
UU Sisdiknas 20/2003 pada Pasal 32 Ayat 1 tentang pendidikan khusus (PK) seperti untuk orang cacat, kemudian anak cerdas istimewa dan bakat istimewa. Pasal 32 Ayat 2 tentang PLK seperti anak-anak yang memerlukan pendidikan yang aksesnya tidak terjangkau seperti anak-anak di daerah terbelakang / terpencil / pedalaman / pulau-pulau, anak TKIM SILN (Sekolah Indonesia di Luar Negeri) anak suku minoritas terpencil, pekerja anak, pelacur anak/traficfficking, lapas anak, anak jalanan, anak pemulung, anak pengungsi (gempa konflik), anak dari keluarga miskin absolut. "Kami sadar bahwa anak-anak yang berkebutuhan khusus ini memikirkan makan apa untuk sekarang dan besok, sulitnya bukan main. Sehingga dengan adanya Pasal 32 UU Sisdiknas, maka anak-anak tersebut harus sekolah," katanya.Diakuinya, bahwa pemerintah tidak dapat memenuhi semua itu tanpa adanya dukungan masyarakat, LSM, pemerintah daerah dan pihak swasta. "Semoga peran LPPM Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan mendirikan Sekolah PLK Lentera Bangsa dapat merealisasikan niat baik pemerintah untuk mencerdaskan anak-anak dan kelak dapat mendirikan mereka." katanya. Program Sekolah PLK nantinya menitikberatkan pada "kearifan lokal", yaitu membina dan mendidikan anak-anak berkebutuhan khusus ini dengan konsentrasi 80 persen kecakapan hidup. Hal ini dimaksudkan agar keluar atau lulus dari Sekolah PLK mereka dapat hidup mandiri. Kearifan lokal itu menjadi kekayaan setiap daerah yang harus dikembangkan.


sumber : http://pelangi.dit-plp.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=602&Itemid=206

SOSIALISASI SUBSIDI PENDIDIKAN KHUSUS DAN PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS DI KABUPATEN/KOTA SE NUSA TENGGARA TIMUR

SOSIALISASI SUBSIDI PENDIDIKAN KHUSUS DAN PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS DI KABUPATEN/KOTA SE NUSA TENGGARA TIMURKegiatan Sosialisasi Program Perluasan dan Peningkatan Mutu Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus berlangsung selama 3 (tiga) hari mulai dari tanggal 12 s/d 14 April 2007 bertempat di UPTD PKB Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa tenggara Timur Jln. Perintis Kemerdekaan Kota Baru Kupang. Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Bapak Ir. Thobias Uly, M. Si.Kegiatan ini berlangsung lancar dan tertib dengan jumlah peserta 105 orang dengan melibatkan unsur-unsur Kepala Sekolah/Guru SLB, Sekolah Terpadu, Penyelenggara Akselerasi, Komite Sekolah dan Staf Sub Dinas PLBK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur.Para peserta sosialisasi menyambut baik adanya pemberian subsidi dari Pemerintah baik Pusat maupun Daerah guna mendukung pemerataan Wajar Dikdas 9 Tahun dan menyediakan Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus (PK dan PLK) yang semakin merata dan berkualitas.Tujuan pemberian subsidi ini adalah untuk mewujudkan perluasan dan pemerataan pendidikan melalui kesempatan memperoleh pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan melalui penyelenggaraan pembelajaran yang bermutu, mendorong sekolah untuk melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan di sekolah serta mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

http://www.subdinplbk-ntt.com/2007/index.php?menu=news&id_news=51

Pendidikan Khusus Korpaskhas TNI AU Paripurna

JAKARTA, SELASA — Komandan Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara Marsma Harry Budiono menutup dua pendidikan, Kursus Komandan Kompi dan Kursus Spesialisasi Bravo, di Wing III Diklat Paskhas, Pangkalan Udara TNI AU Sulaiman, Bandung, Selasa, (9/12).Kedua jenis pendidikan berlangsung tiga bulan diikuti 18 orang prajurit Paskhas berpangkat perwira dari batalyon satuan jajaran Korpaskhas seluruh Indonesia (Sus Danki) dan 29 orang prajurit Paskhas (Sus Bravo).Predikat siswa terbaik diperoleh Letda Pasukan David Dulinggomang dari Batalyon 461 Paskhas Jakarta dan Prada Laude Ronie dari Detasemen Bravo.Dalam pidato sambutannya, Harry mengatakan, penyelenggaraan kedua jenis pendidikan kursus tersebut dilakukan untuk menjamin ketersediaan prajurit Paskhas yang siap digunakan sesuai kemampuan untuk mendukung, baik tugas-tugas Korpaskhas, maupun tugas bersama satuan TNI lain.Wisnu Dewabrata

http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/09/19310624/pendidikan.khusus.korpaskhas.tni.au.paripurna

Resolusi No. 03/ VII/Tap/Munas-VI/Pertuni/2004 tentang Pendidikan Khusus

Resolusi No. 03/ VII/Tap/Munas-VI/Pertuni/2004 tentang Pendidikan KhususMenimbang : * Bahwa pendidikan bagi para penyandang cacat seyogyanya merupakan bagian yang integral dari sistem pendidikan umum; * Bahwa mereka yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus akibat kecacatan seyogyanya memperoleh akses ke sekolah umum yang dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan khususnya; * Bahwa sekolah umum dengan orientasi inklusi tersebut merupakan alat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan mencapai Pendidikan untuk Semua; * Bahwa sekolah semacam ini akan memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya akan menurunkan ongkos bagi seluruh sistem pendidikan; * Bahwa pengiriman anak secara permanen ke sekolah luar biasa ‑ atau kelas khusus atau bagian khusus di sebuah sekolah umum ‑ seyogyanya merupakan suatu kekecualian, yang direkomendasikan hanya pada kasus-kasus tertentu di mana terdapat bukti yang jelas bahwa pendidikan di kelas reguler tidak dapat memenuhi kebutuhan pendidikan atau sosial anak, atau bila hal tersebut diperlukan demi kesejahteraan anak yang bersangkutan atau kesejahteraan anak-anak lain di sekolah umum;Mengingat : * Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945; * Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (1990); * Peraturan Standar tentang Persamaan Hak dan Kesempatan bagi Penyandang Cacat (Resolusi PBB No. 48/96 Tahun 1993); * Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi mengenai Pendidikan Kebutuhan Khusus (Unesco, 1994); * Undang-undang RI No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat; * Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (khususnya Pasal 32);Maka dengan ini Musyawarah Nasional Persatuan Tunanetra Indonesia, yang diselenggarakan pada tanggal 4-8 Januari 2004, mengusulkan kepada Presiden Republik Indonesia hal-hal sebagai berikut : * Hendaknya peraturan pemerintah tentang pendidikan khusus (yang seyogyanya dikeluarkan sesuai dengan amanat Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 32 ayat 3) mengakomodasi hak penyandang cacat untuk bersekolah dalam seting inklusi di sekolah umum dengan layanan pendidikan khusus. * Dalam Peraturan Pemerintah tersebut, hendaknya pendidikan khusus tidak diartikan sebagai pendidikan di sekolah khusus (atau sekolah luar biasa), melainkan layanan pendidikan khusus yang diberikan kepada para peserta didik penyandang cacat yang diselenggarakan dalam seting segregasi di sekolah khusus maupun dalam seting inklusi di sekolah umum. * Hendaknya SLB yang ada dikembangkan fungsinya sehingga mencakup fungsi sebagai pusat sumber bagi sekolah umum yang melayani peserta didik penyandang cacat. * Hendaknya Direktorat Pendidikan Luar Biasa beserta lembaga infrastrukturnya berfungsi sebagai lembaga koordinasi sistem pendukung pendidikan kebutuhan khusus bagi peserta didik penyandang cacat di berbagai seting pendidikan termasuk di sekolah umum.

http://www.idp-europe.org/pertuni/Resolusi2004/PendidikanKhusus.php

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KHUSUS UNTUK SISWA CI/BI

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KHUSUS UNTUK SISWA CI/BIPerlunya pendidikan untuk anak yang memiliki potensi cerdas istimewa (CI) secara eksplisit diungkapkan dalam UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Secara spesifik disebutkan bahwa anak CI berhak mendapatkan pendidikan khusus, yang diarahkan untuk pengembangan potensi yang ada agar dapat diwujudkan dalam bentuk karya atau prestasi.Selama ini layanan pendidikan untuk anak CI diwujudkan dalam bentuk program akselerasi yang dilakukan di sekolah-sekolah mulai tingkat SD, SMP sampai SMA. Program akselerasi yang dilakukan lebih diarahkan pada percepatan penyelesaian studi, SD dapat diselesaikan dalam waktu 5 tahun dan SMP/SMA diselesaikan dalam waktu 2 tahun. Di satu sisi, program ini menjadi salah satu andalan sekolah untuk memberikan nilai tambah, sehingga reputasi sekolah yang bersangkutan menjadi lebih baik di mata masyarakat. Sehingga banyak sekolah yang berminat membuka program tersebut, meskipun kesiapan sumber daya dan pemahaman tentang konsep anak CI masih sangat terbatas.Berdasarkan data yang ada pada penulis, di seluruh Indonesia terdapat 191 sekolah penyelenggara akselerasi yang tersebar di 22 propinsi. Data ini agak berbeda dengan data resmi Dit PSLB tahun 2007 yang menyatakan bahwa terdapat 130 sekolah tersebar di 27 propinsi dengan jumlah siswa 4510 orang. Meskipun kedua data ini berbeda, namun tampak bahwa jumlah anak CI yang terlayani jumlah masih relatif sedikit.Beberapa ahli psikologi menyatakan bahwa sekitar 2,2% dari populasi anak usia sekolah, ada yang memiliki kecerdasan istimewa. Apabila menggunakan data BKKBN tahun 2004 terdapat 39.246.700 orang anak usia 7-15 tahun. Artinya terdapat 863.427 anak CI. Jika dibandingkan dengan data Direktorat PSLB tahun 2007, yang menyebutkan baru 4.510 anak CI yang terlayani di program akselerasi, berarti baru 0,52% yang terlayani.Di sisi lain, sorotan akan keberadaan program akselerasi juga tidak kurang semaraknya. Salah satu hal penting yang disoroti adalah rendahnya kecakapan sosial siswa, sehingga cenderung mereka menjadi asing dengan lingkungan dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Sorotan negatif ini kemudian menjadi alasan bagi sekelompok pihak untuk meminta pembubaran program akselerasi. Kritik tersebut dapat dipahami, karena jika dicermati lebih jauh, tidak semua siswa di kelas akselerasi memenuhi kriteria psikologis yang mencakup IQ, kreativitas dan task commitment. Akibatnya mereka tidak mampu mengikuti program dengan baik dan berdampak prestasi yang diraih menjadi tidak optimal. Faktor guru, juga merupakan aspek yang mempengaruhi efektivitas penyelenggaraan akselerasi. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar guru tidak disiapkan untuk mengajar di program akselerasi, serta karateristik psikologis guru tersebut kurang cocok untuk melayani anak CI. Di samping itu, ditemukan juga di beberapa sekolah, penugasan guru untuk mengajar program akselerasi dilakukan secara bergantian (seperti model arisan) dengan alasan pemerataan kesempatan.Kondisi di atas menunjukkan bahwa layanan pendidikan untuk anak CI belum dilakukan secara cukup memadai. Lebih jauh diperlukan keterlibatan semua pihak untuk menjadikan pendidikan. Menyadari keadaan semacam itu, pada bulan Desember 2007 dilakukan pertemuan di Semarang yang diikuti oleh unsur sekolah, perguruan tinggi, Direktorat PSLB, Dinas Pendidikan dan kelompok masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap anak CI. Pertemuan tersebut menyepakati pembentuk suatu perhimpunan yang diberi nama Asosiasi Penyelenggara, Pengembang dan Pendukung Pendidikan Khusus untuk Anak Cerdas/Berbakat Istimewa disingkat ASOSIASI CI/BI. Secara umum ada tiga kelompok yang berhimpun dalam Asosiasi, yaitu sekolah (penyelenggara), perguruan tinggi (pengembang), serta pemerintah dan masyarakat (pendukung).Asosiasi CI/BI merupakan badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka peningkatan mutu secara berkelanjutan dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Pendidikan Asosiasi CI/BI memiliki 4 tujuan, yaitu: (1) meningkatkan kapasitas kelembagaan penyelenggara pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, (2) Meningkatkan peluang bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh akses terhadap layanan pendidikan yang bermutu dan berkelanjutan, (3) Meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, (4) Mengembangkan jaringan informasi dan kerjasama.Sementara itu, Asosiasi CI/BI berfungsi sebagai : (1) Penggerak, mendorong lembaga pendidikan penyelenggara pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk melakukan layanan pendidikan yang bermutu, efektif, dan berkelanjutan., (2) Pemberdaya, melakukan pembinaan dan pengembangan manajemen dan mutu layanan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, (3) Pengkoordinasi, membangun kerjasama dengan pemerintah dan instansi terkait dalam pemberdayaan lembaga penyelenggara pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewaSaat ini Asosiasi CI/BI sedang melakukan penataan organisasi dan penguatan kelembagaan melalui pembentukan pengurus-pengurus wilayah di setiap propinsi yang telah memiliki sekolah akselerasi. Di samping itu, Asosiasi CI/BI juga melakukan identifikasi pengumpulan data tentang anak-anak cerdas istimewa yang mengikuti program akselerasi. Asosiasi juga berupaya untuk memfasilitasi pengembangan potensi siswa cerdas/berbakat istimewa yang selama tidak terakomodasi di lembaga pendidikan formal dalam bentuk program akselerasi atau lainnya.Dalam bidang kurikulum, pokja Asosiasi sedang melakukan kajian tentang kompetensi terutama bidang MIPA yang harus dimiliki oleh anak CI. Hal ini dilakukan karena selama ini, tidak tampak perbedaan kompetensi antara siswa program reguler dan program akselerasi. Yang membedakan hanya kecepatan menyelesaikan materi yang ditentukan dalam standar isi. Dalam bidang pembelajaran, Asosiasi CI/BI sedang,mengkaji model pembelajaran inklusif untuk anak CI melalui sistem moving class dan pembelajaran akselerasi di dalam kelas inklusif.Perhimpunan yang dibangun relatif masih baru, oleh karena itu aktivitas yang diselenggarakan oleh Asosiasi CI/BI masih sangat terbatas. pada tahun 2008, pengurus Asosiasi telah melakukan dua pertemuan untuk koordinasi program dan pertengahan Juni 2008 telah diadakan pelatihan Identifikasi Anak CI yang diikuti oleh para psikolog dari lingkungan perguruan tinggi maupun praktisi di biro psikologi yang menjadi mitra sekolah-sekolah akselerasi. Direncanakan pada akhir Juli 2008 Asosiasi akan meluncurkan blog dan pada akhir Agustus 2008, akan mengadakan seminar nasional tentang pengembangan pendidikan khusus bagi anak cerdas istimewa dari prespektif pemerintah, psikolog, pendidik, serta pendidikan karakter bagi anak CI. Cita-cita yang ingin dibangun Asosiasi CI/BI adalah menjadi bagian dari bangsa ini untuk membangun pendidikan yang lebih baik bagi semua. Meskipun terkesan ekslusif, namun program-program yang terkait dengan pengembangan pendidikan khusus bagi anak CI memberikan multiplier effect pada pendidikan secara keseluruhan.

http://asosiasicibinasional.wordpress.com/2008/09/13/pengembangan-pendidikan-khusus/

Komitmen Depdiknas terhadap Pendidikan Khusus

Komitmen Depdiknas terhadap Pendidikan KhususJumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup banyak. Sayang, hal tersebut belum diikuti ketersediaan sekolah yang cukup dan tenaga pendidik yang memadai. Bagaimana program pemerintah untuk mengangkat derajat pendidikan para ABK itu?Hingga kini, masih terlihat kesenjangan antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Belum adanya pendataan yang akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) oleh pemerintah merupakan salah satu bukti. Selama ini, untuk memprediksi jumlah ABK di Indonesia, pemerintah menggunakan data dari hasil sensus nasional atau prevalensi dari standar lain. implikasinya, pemerintah tidak dapat menyusun program layanan yang benar-benar akurat sesuai dengan karakteristik kebutuhan ABK itu sendiri.Berdasar hasil analisa BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depsos (Departemen Sosial) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori usia sekolah) diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat, atau 317.016 anak.Sementara itu, berdasar data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan sebanyak 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen ABK di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan.Kenyataan itu diperparah dengan minimnya tenaga pendidik yang hanya berjumlah 10.338 orang. Jumlah tersebut disinyalir jauh dari kebutuhan. Apalagi, mainset guru kita sudah telanjur terpola secara dikotomi antara guru regular dan guru khusus.Menurut Budiyanto, tim pengembang SDN Inklusi Ngasem 1 Surabaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hak mendapat pendidikan merupakan hak semua anak bangsa. Itu sesuai UUD 1945 pasal 31 (1) dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan disik, emosional, mental, sosial dan memliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ada 12 jenis ABK. Yaitu, tunanetra (cacat penglihatan), tunarungu (cacat pendengaran), tuna grahita, tunadaksa (cacat tubuh), tunalaras (lambat belajar), tuna wicara (tidak dapat berbicara), tunaganda (korban penyalahgunaan narkoba), dan penyandang HIV/AIDS. Tuna Grahita dibagi menjadi tiga. Yaitu, tuna grahita ringan (anak yang memiliki IQ diantara 50-70), tuna gfrahita sedang (IQ: 25-50), dan tuna grahita berat (IQ dibawah 25).Pada ayat 2 dijelaskan, pendidikan layanan khusus (PLK) merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang. "Termasuk yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.Melihat fenomena yang cukup miris itu, Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa) tahun ini berkonsentrasi mendandani pendidikan khusus (PK). Salah satu langkah yang diupayakan ialah menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Nilai anggaran itu berkisar Rp 365 miliar. "Nilai itu belum termasuk anggaran yang diprogramkan dari APBD masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota," ujar drg Sjatmiko dari direktorat PSLB Depdiknas dalam seminar Strategi Pengembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia yang diadakan Unesa, beberapa waktu lalu.Persoalannya, kata Jatmiko, pada tataran realisasi, apakah semua daerah memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan? "Sebab, di era otonomi seperti sekarang, masing-masing daerah memiliki kewenangan sendiri-sendiri," ujarnya.

http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Edukasi&id=131764

Pendidikan Keagamaan; Politik Pendidikan Penebus Dosa

Nasib pendidikan keagamaan sudah lama menyimpan memori panjang diskriminasi anggaran. Negara lebih memanjakan pembiayaan sekolah umum dan mengabaikan sekolah agama. Belanja negara dialokasikan secara tidak berimbang antara lembaga pendidikan negeri dan swasta. Sialnya, sebagian besar lembaga pendidikan keagamaan berstatus swasta.
Lengkap sudah nestapa pendidikan berbasis agama yang berlangsung sejak dahulu kala. “Sekarang negara harus menebus dosa dengan menunjukkan pemihakan pada pemberdayaan pendidikan keagamaan,” kata Menteri Agama, Maftuh Basyuni. Sebab para pendidik dan anak didik di lingkungan pendidikan keagamaan juga warga negara yang sama dengan anak didik dan pendidik pada umumnya. “Mereka sama-sama mendedikasikan diri untuk pendidikan anak bangsa,” Maftuh menambahkan.
Awal tahun anggaran ini menjadi momentum penting untuk menguji apakah politik anggaran negara sudah menunjukkan aksi nyata “penebusan dosa”. Perangkat regulasi sebenarnya sudah kian lengkap. Pada penghujung 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Beleid itu mengukuhkan kebijakan pendidikan dalam Undang-Undang 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahwa pendidikan keagamaan adalah bagian integral sistem pendidikan nasional. Undang-undang ini menjadi tonggak penting politik pendidikan yang menghapus diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta serta antara sekolah umum dan sekolah keagamaan. Alokasi anggaran pun, menurut Pasal 12 PP 55/2007, harus adil antara sekolah negeri dan swasta.
Pendidikan keagamaan merupakan wujud orisinal pendidikan berbasis masyarakat di Nusantara. Mereka tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat. Di lingkungan Islam terdapat pesantren, madrasah, dan diniyah. Di Katolik ada seminari.
Di Hindu ada pasraman dan pesantian. Buddha mengenal pabbajja. Konghucu menyebut shuyuan, dan sebagainya. Tumbuhnya pendidikan keagamaan dalam masyarakat sebagian justru akibat kebijakan negara yang buruk dalam mengelola pendidikan agama.
Pendidikan agama kerap berjasa menampung anak didik yang kurang mampu, sehingga tidak terwadahi di sekolah umum dan negeri. Banyak di antara lulusannya yang kemudian menjadi tokoh penting dalam sejarah nasional. Jumlah mereka tidak bisa dipandang sebelah mata.
Di lingkungan pendidikan Islam saja, menurut data Departemen Agama (Depag) tahun 2006, ada 2,67 juta anak didik yang menempuh pendidikan di 14.700 pondok pesantren. Hampir sama dengan jumlah mahasiwa di 2.800 perguruan tinggi negeri dan swasta di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sebanyak 2,69 juta orang.
Yang bersekolah di 27.000 sekolah diniyah ada 3,4 juta orang. Setara dengan siswa pada 9.000-an SMA negeri dan swasta se-Indonesia, yang juga berjumlah 3,4 juta.
Peserta pendidikan dasar sembilan tahun di lingkungan madrasah dan diniyah mencapai 6,1 juta murid. Seperenam dari total peserta pendidikan dasar sembilan tahun ada di lingkungan Depdiknas, yang mencapai 36 juta murid.
Sebagian terbesar (lebih 80%) jenjang pendidikan agama di lingkungan Islam, mulai level taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi, adalah swasta. Bahkan, menurut data Depag tahun 2005, sekitar 17.000 raudhatul athfal (TK), 14.700-an pesantren, dan 27.600-an diniyah adalah swasta.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), 90% SD hingga SMA adalah sekolah Katolik dan berstatus swasta. Dari seluruh pendidikan Katolik itu, 60% sehat, 30% sedang, dan 20% hampir sekarat. Sekolah Katolik yang sehat ada di Flores, sedangkan yang sulit berkembang terdapat di Sumba.
“Pada masa Orde Baru, di sini pun sekolah Katolik swasta jadi anak tiri,” kata Ludo Taolin, Wakil Ketua DPRD Belu, NTT. “Padahal, sekolah Katolik banyak berperan mendidik kalangan menengah ke bawah,” katanya. Baru setelah reformasi, menurut Ludo, insentif guru untuk sekolah negeri dan swasta sama. Pemerintah daerah mulai membantu dengan menempatkan guru negeri di sekolah Katolik swasta.
Wajah politik anggaran pemerintah pusat dalam bidang pendidikan berbasis agama dapat dilihat dari anggaran Depag. Tahun 2008 ini, ada peningkatan persentase alokasi untuk “fungsi pendidikan” ketimbang tahun 2007.
Pada 2007, dari total anggaran Depag Rp 14,5 trilyun, alokasi terbesarnya (49,5%) adalah untuk “fungsi pelayanan umum” (Rp 7,2 trilyun). Porsi anggaran pendidikan di Depag pada waktu itu hanya menduduki pos kedua, senilai Rp 6,6 trilyun (46%).


Tahun 2008 ini, di satu sisi, anggaran Depag meningkat 20,9%, menjadi Rp 17,6 trilyun. Di sisi lain, alokasi terbesar bergeser dari fungsi pelayanan umum ke fungsi pendidikan. Gelontoran dana pendidikan meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun lalu, menjadi Rp 14,3 trilyun (81,4%) –macam-macam alokasinya lebih rinci, lihat tabel.
Tidak hanya di tingkat pusat. Wajah lebih ramah pada pendidikan agama juga ditampilkan sejumlah pemerintah daerah. Namun kebijakan anggaran APBD provinsi dan kabupaten/kota sempat tersandung Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Moh. Ma’ruf, Nomor 903/2429/SJ tanggal 21 September 2005 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2005.
Surat itu oleh sebagian kepala daerah diartikan sebagai larangan alokasi APBD untuk pendidikan keagamaan, karena bidang agama tidak mengalami desentralisasi. Sehingga anggarannya diambilkan dari belanja pemerintah pusat di APBN, bukan dari APBD.


sumber : http://apit.wordpress.com/2008/02/01/pendidikan-keagamaan-politik-pendidikan-penebus-dosa/