PROFESI PENDIDIKAN
-

Sabtu, 18 April 2009

Membedah Industri Pendidikan Tinggi

KOMPETISI global juga sudah melanda dunia pendidikan. Setiap tahun, saat lulusan SMA dan SMK bersaing untuk 
mendapatkan institusi pilihan, perguruan tinggi pun berlomba-lomba mempromosikan diri dan menjaring calon-calon 
mahasiswa potensial. Potensial bisa berarti mampu secara akademis atau finansial.
PERGURUAN tinggi dari luar negeri pun tidak mau kalah, dan gencar berpromosi. Begitu pula perguruan-perguruan tinggi 
swasta (PTS) melakukan berbagai upaya pemasaran dan menjadikan dunia pendidikan tinggi seperti bisnis dan industri. 
Kini beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) tidak mau ketinggalan dengan membuka jalur khusus atau ekstensi.

Persaingan merebut kue

Akhir tahun ajaran jenjang pendidikan SLTA sebenarnya jatuh sekitar bulan Mei. Para lulusan SMA/SMK biasanya 
mendapat surat tanda tamat belajar (STTB) dan surat tanda kelulusan (STK) sekitar bulan Juni. Namun sebelum 
mengikuti ujian akhir nasional (UAN), sebagian siswa SMA/SMK -terutama yang nilai rapor hingga semester lima tidak di 
bawah rata-rata-sudah mendapat tempat di perguruan tinggi.

Beberapa perguruan tinggi sudah melakukan ujian seleksi masuk dan menerima siswa SMA/SMK sekitar bulan Maret dan 
April. Bahkan ada perguruan tinggi yang sudah memulai seleksi gelombang pertama pada Januari dan Februari.
Beberapa tahun terakhir ini, seleksi mahasiswa baru menjadi makin dini karena perguruan tinggi berlomba-lomba 
memajukan tanggal penerimaan mahasiswa baru untuk menjaring mahasiswa pilihan sebelum didahului perguruan 
tinggi pesaing. Dalam semangat persaingan ini, ada perguruan tinggi yang menetapkan seleksi gelombang pertama 
pada awal tahun, tetapi sebetulnya diam-diam sudah memastikan untuk menerima mahasiswa pilihan sekitar bulan 
Oktober dan November ketika siswa SMA/SMK belum mengikuti ujian akhir semester gasal. Seleksi pra-gelombang 
pertama ini dibungkus dengan nama jalur prestasi, jalur khusus, jalur kerja sama, dan semacamnya.
Praktik penerimaan mahasiswa baru ketika mereka masih berstatus siswa kelas III, sering menimbulkan protes dari 
pihak sekolah menengah. Ada keluhan, siswa kelas III yang sudah diterima di perguruan tinggi menunjukkan 
kecenderungan meremehkan pelajaran dan guru mereka, meski beberapa perguruan tinggi menjanjikan bisa saja 
membatalkan penerimaan jika ada laporan pihak SMA/SMK mengenai tindakan indisipliner siswa.
Keluhan lain pihak SLTA adalah kedatangan dan kunjungan perguruan tinggi yang meminta waktu untuk melakukan 
presentasi kepada siswa kelas tiga. Akibat frekuensi kunjungan yang begitu besar, banyak kepala dan guru SLTA 
menghkhawatirkan terganggunya jadwal kerja dan pelajaran sekolah.
Di satu sisi, siswa kelas III memang membutuhkan informasi dan sosialisasi dari perguruan tinggi. Tetapi di sisi lain, jika 
kepala SMA/SMK melayani setiap permintaan perguruan tinggi untuk mengadakan presentasi, banyak waktu pelajaran 
harus dikorbankan, sementara siswa kelas III juga harus menyiapkan diri menghadapi UAN.
Beberapa SMA-terutama yang favorit dan menjadi target PTS-mengakomodasi kedua kebutuhan ini dengan menyediakan 
satu atau dua hari khusus untuk informasi studi dan mengundang PTS (dalam negeri maupun perwakilan PT luar negeri).
Untuk mendapatkan calon mahasiswa yang bersedia membayar sumbangan masuk antara Rp 3 juta hingga di atas Rp 
30 juta, pihak perguruan tinggi tidak keberatan membayar sewa stan atau memasang iklan di buku kenangan yang dibuat 
sekolah. Jadinya, selain memberi kesempatan bagi siswa untuk window shopping sebelum membuat keputusan akhir, 
ajang promosi perguruan tinggi juga memberi kesempatan bagi siswa SMA untuk mendapat dana tambahan yang 
mungkin dipakai untuk keperluan sekolah maupun kesejahteraan guru.

Program unggulan
Akreditasi program studi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) merupakan syarat minimal namun tidak 
cukup memadai untuk dijadikan poin jual. Kini perguruan tinggi berlomba mengemas dan menonjolkan beberapa 
program unggulan lain, di antaranya sertifikasi internasional, kerja sama dengan industri, dan kerja sama internasional. 
Sertifikasi internasional bisa berupa pengakuan dari organisasi profesi di luar negeri (misalnya ada program bisnis yang 
mengklaim mendapatkan pengakuan AACSB, American Association of Colleges and Schools of Business) atau sertifikasi 
kendali mutu yang biasanya dilakukan di dunia industri (ada PTS yang telah memperoleh ISO 9001).
Keterkaitan antara perguruan tinggi dan dunia kerja merupakan salah satu area yang sering mendapat sorotan. Dalam 
pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi (SK Mendiknas No 045/U/2002 perihal Kurikulum Inti), pengajaran harus 
relevan dengan kebutuhan masyarakat dan kompetensi yang ditentukan industri terkait dan organisasi profesi. Maka dari 
itu, kerja sama dengan industri sering dijadikan poin jual. Beberapa perguruan tinggi mencantumkan pelatihan dan 
sertifikasi Microsoft, SAP, atau Autocad dalam brosur mereka. Sementara perguruan tinggi lain memasukkan nama-nama 
perusahaan besar sebagai tempat magang dan penampung lulusan mereka.
Kerja sama internasional-berupa program transfer, sandwich, double degree dengan universitas luar negeri, dan 
pertukaran mahasiswa-sering ditonjolkan sebagai daya tarik karena dipercaya meningkatkan citra perguruan tinggi 
sebagai institusi berkualitas internasional. Dalam hal ini, calon mahasiswa dan orangtua perlu jeli dan memperhatikan 
dua hal.

Pertama, apakah institusi luar negeri yang dipasang sebagai mitra benar-benar berkualitas. Tidak semua institusi asing 
bermutu. Perguruan tinggi di Indonesia bisa saja memanfaatkan gengsi dan kelatahan orang Indonesia (termasuk diri 
sendiri) terhadap label asing. Ada universitas terkemuka di Indonesia yang pernah terkecoh dan mengecoh publik melalui 
kemitraan dengan institusi yang ternyata malah hanya menawarkan program nongelar dan reputasinya biasa-biasa saja. 
Kadang, institusi luar negeri yang dicantumkan menggunakan nama pelesetan yang bisa mengecoh. University of 
Berkeley tentu tidak sama dengan University of California at Berkeley dan Nanyang Institute berbeda dengan Nanyang 
Technological University.
Kedua, jika institusi luar negeri yang dipasang benar-benar bergengsi, betulkah ada kesepakatan timbal balik antara 
kedua institusi. Beberapa perguruan tinggi di Indonesia tidak segan-segan mencatut nama besar seperti INSEAD, Harvard 
University, universitas dalam kelompok Ivy League atau universitas besar lainnya. Calon mahasiswa perlu bertanya, 
sejauh mana dan dalam kapasitas apa kesepakatan antara kedua institusi dilakukan, apakah ada perjanjian tertulis, 
manfaat apa yang bakal diperoleh mahasiswa dalam kerja sama ini.

sumber : anazdjabo.files.wordpress.com/2008/02/membedah-industri-pendidikan-tinggi.doc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar