PROFESI PENDIDIKAN
-

Senin, 11 Mei 2009

Kualitas Pendidikan Dasar Indonesia di Bawah Kamboja

Kualitas Pendidikan Dasar Indonesia di Bawah Kamboja 
Jakarta - Ironis. Ungkapan ini cukup tepat untuk menggambarkan komitmen pemerintah terhadap peningkatan pendidikan dasar. Posisi Indonesia menduduki peringkat 10 dari 14 negara berkembang di kawasan Asia Pasifik. Duh! Peringkat ini dilansir dari laporan monitoring global yang dikeluarkan lembaga PBB, Unesco. Penelitian terhadap kualitas pendidikan dasar ini dilakukan oleh Asian South Pacific Beurau of Adult Education (ASPBAE) dan Global Campaign for Education. Studi dilakukan di 14 negara pada bulan Maret-Juni 2005. Laporan ini dipublikasikan pada 24 Juni lalu. Rangking pertama diduduki Thailand, kemudian disusul Malaysia, Sri Langka, Filipina, Cina, Vietnam, Bangladesh, Kamboja, India, Indonesia, Nepal, Papua Nugini, Kep. Solomon, dan Pakistan. Indonesia mendapat nilai 42 dari 100 dan memiliki rata-rata E.

Untuk aspek penyediaan pendidikan dasar lengkap, Indonesia mendapat nilai C dan menduduki peringkat ke 7. Pada aspek aksi negara, RI memperoleh huruf mutu F pada peringkat ke 11. Sedangkan aspek kualitas input/pengajar, RI diberi nilai E dan menduduki peringkat paling buncit alias ke 14. Indonesia hanya bagus pada aspek kesetaraan jender B dan kesetaraan keseluruhan yang mendapat nilai B serta mendapat peringkat 6 dan 4. "Sangat ironis karena Thailand yang mengalami krisis bisa menempatkan diri menjadi rangking satu," ujar aktivis LSM Education Network for Justice (E-Net), M Firdaus, saat menjadi pembicara dalam seminar pendidikan mengenai laporan ini di Gedung YTKI, Jl Gatot Soebroto, Jakarta Selatan, Rabu (29/6/2005). Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas, Fasli Jalal, menganggap laporan tersebut memang tidak jauh dari kenyataan.

Faktor utamanya adalah populasi penduduk Indonesia yang sangat besar. Untuk itu, pada tahun ajaran 2005, Depdiknas akan mencanangkan pendidikan gratis untuk tingkat SD dan SMP. "Pungutan sekolah akan ditiadakan," ujarnya. Meski, lanjut dia, proses pengucuran dana ke sekolah akan mengalami keterlambatan dan baru tiba pada Agustus mendatang. "Uang SPP yang sudah dipungut tetap akan dikembalikan ke orangtua secara utuh," tukasnya. Namun, status cuma-cuma itu tidak diterapkan untuk sekolah swasta. Depdiknas tetap membolehkan sekolah swasta menarik uang bayaran. "Yang jelas, kami mengharuskan 10 persen peserta didik di sekolah swasta ditujukan untuk keluarga yang tidak mampu. Mereka pun harus tetap digratiskan," tegas Fasli. Namun, sekolah gratis ini masih belum diberlakukan untuk kategori Sekolah Teknik Menengah (STM). Alasannya, STM belum masuk dalam kriteria wajib belajar. "Kami akan tetap memperbanyak jumlah beasiswa," tandasnya. Mina Sarjuani dari Direktur Agama dan Pendidikan Bapennas merinci pemerintah mengalokasikan biaya operasional untuk 28,89 juta siswa SD Rp 235.000 persiswa setiap tahunnya. Sedangkan untuk 10,74 juta siswa SMP akan dikucurkan dana Rp 324.500 persiswa setiap tahunnya.

http://www.detiknews.com/read/2005/06/29/134044/39277

Tidak ada komentar:

Posting Komentar