PROFESI PENDIDIKAN
-

Rabu, 27 Mei 2009

Manajemen Pendidikan Teknologi Dan Pendidikan

Judul Buku : Pendidikan Teknologi Dan Kejuruan

Penulis : Basuki Wibawa

Manajemen Pendidikan Teknologi Dan Pendidikan

Setiap kegiatan dalam lembaga atau organisasi pendidikan dimasuksudkan untuk mendapatkan manfaat. Untk itu sebuah organisasi pendidikan melakukan kegiatan operasi yang mentransformasi masukan menjadi keluaran yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Setelah diperoleh keluaran, organisasi dapat memperoleh nilai tambah dari adanya proses operasi tersebut. Diperoleh nilai tambah dari adanya proses operasi tersebut. Diperolehnya nilai tambahinilah yang sebenarnya merupakan manfaat bagi organisasi.

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 menuntut adanya perubahan manajemen kependidikan dari sentralistik ke desantralistik. Pengawasan sebagai bagian dari manajemen harus dapat berjalan seimbang dengan fungsi-fungsi manajemen lainnya agar dapat dicapai tingkat peningkatan kinerja penyelenggara pendidikan secara optimal. Pelaksanaan otonomi daerah mempunyai implikasi terhadap tuntutan akan pengawasan yang lebih profesional dan transparan.

1. Pengertian Manajemen Pendidikan

Pengertian manajemen pendidikan tidak terlepas dari pengertian manajemen pada umumnya, yaitu mengandung unsur adanya kegiatan yang dilakukan dengan mengkoordinasikan berbagai kegiatan dan semua sumber daya untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dengan bertitik tolak pada pengertian tersebut, manajemen pendidikan pada dasarnya sebagai suatu proses yang secara berkesinambungan dan efektif menggunakan fungsi-fungsi manajemen untuk mengintegrasikan berbagai sumber daya pendidikan secara efisien dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.

2. Pengertian Manajemen Pendidikan Teknologi dan Kejuruan

Pendidikan teknologi dan kejuruan is for people, youth and adults interested in preparing for and progressing in a career in some type of satisfying and producative work(Wenrich, dan Wenrich, 1974). Pendapat Wenrich tersebut lebih menggaris bawahi tenten betapa uniknya karakteristik pendidikan teknologi dan kejuruan yang sangat berbeda dengan karakteristik pendidikan teknologi dan kejuruan yang sangat berbeda dengan karakteristik pendidikan pada umumnya.

Pendidikan teknologi dan kejuruan adalah pendidikan yang spesifik, demokratis, pendidikan yang dapat melayani berbagai kebutuhan individu. Bakat, minat, dan kemampuan seseorang dapat disalurkan melalui pendidikan kejuruan. Program pendidikan teknologi dan kejuruan tidak hanya menyiapkan siswa memasuki dunia kerja, tapi juga menempatkan lulusannya pada pekerjaan tertentu.

Menyiapkan tenaga kejra sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri (DUDI) menjadi pusat perhatian pendidikan teknologi dan kejuruan. Salah satu inovasi pendidikan teknologi dan kejuruan di Indonesia adalah perubahan dan pendekatan supply driven ke demand driven. Djojonegoro (1998) mengemukakan: “Pengerian demand driven, mengharapkan justru pihak dunia usaha, dunia industri, dunia kerja yang seharusnya Iebih berperan menentukan, mendorong, dan menggerakkan pendidikan teknologi dan kejuruan, karena mereka adalah pihak yang Iebih berkepentingan dan sudut kebutuhan tenaga kerja.” Untuk itu hendaknya MPKN, MPKP, dan Majelis Sekolah ditingkatkan peranannya, khususnya dalam menentukan program studi yang dibuka, pengembangan kurikulum sesuai kebutuhan dunia kerja, profil kompetensi lulusan, dan uji serta sertifikasi profesi. Paradigma pengembangan pendidikan teknologi dan kejujuran pada periode 1993 dan sebelumnya berorientasi pada mata pelajaran dan supply driven maka pada tahun 1994 sampai saat ini paradigmanya berubah menjadi antara lain:

v Demand/Market Driven

v Pendidikan dan pelatihan (diklat) mengacu pada Standar Kompetensi yang berlaku di dunia kerja

v Lulusan dapat bekerja mandiri atau mengisi lowongan yang ada di lapangan pekerjaan

v Diklat Kompetensi secara murni Multikurikulum

v Penyelenggaraan Dikilat yang fleksibel dan permeabel, multy-entry/exit, dan mendukung prinsip lifelong education

v Sinerji dengan jenjang dan jenis pendidikan Iainnya

v Pelaksanaan pendidikan sistem ganda

Apabila kebutuhan individu akan pekerjaan di satu pihak dan kebutuhan dunia usaha serta dunia industri akan tenaga kerja yang profesional di lain pihak sudah sepadan (match), akan memberikan dampak yang besar dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Jumlah penganggur, yang diproyeksikan sebanyak 10,5 juta pada tahun 2004, akan dapat ditekan. Bahkan lebih dari itu, kita dapat memasarkan tenaga kerja kita ke negara-negara lain yang membutuhkannya.

Prinsip pendidikan teknologi don keiuruan dalam hal program adalah: “Curricula for vocational education are derived from requirements in the world of work.” (Miller, 1985). Kemudian Calhoun dan Finch (1982) mengemukakan sebagai berikut: “The vocational component of the curriculum is a body of prescribed educational experiences under school supervision designed to prepare the individual for a role in sociefr and to qualify him or her for a trade or profession.” Program pendidikan teknologi dan kejuruan dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan persyaratan-persyaratan yang ada di dunia kerja. Dalam hubungan mi konsep link and match sangat relevan, dan di dalam implementasinya direalisasikan melalui pendidikan sistem ganda (PSG).

Akhir-akhir ini, pendekatan yang digunakan dalam mengembangkan program pendidikan teknologi dan kejuruan di Indonesia sudah tepat, yaitu dengan melibatkan DUDI melalui Majelis Pendidikan Kejuruan Nasional. Pengembangan program pendidikan teknologi dan kejuruan tidak cukup kalau hanya menetapkon profil kompetensi lulusan yang pada umumnya didominasi domain kognitif dan psikomotor, sedangkan domain afektif seperti sikap kerja, etos kerja, dan disiplin kerja kurang mendapat perhatian. Siswa SMK hendaknya dididik agar memiliki budaya industri dan wawasan kewirausahaan. Hal ni hanya mungkin dicapai apabila secara terencana dijadikan bagian dan kurikulum. Kurikulum SMK Edisi 1999 menganut lima prinsip, yaitu :

1. Berbasis luas, kuat, dan mendasor (Broad Based Curriculum, BBC).

2. Berbasis kompetensi (Competency Based Curriculum, CBC);

3. Pembelajaran tuntas (Masteiy Learning);

4. Berbasis ganda (Dual Based Program); dilaksanakan di sekolah dan di dunia usaha/industri; dan

5. perkuatan kemampuan daya suai dan kemandirian pengembangan din tamatan.

Sedang pengembangan kurikulum SMK 2004 menganut prinsip-prinsip

sebagai berikut:

• Menggunakan pendekatan: akademik, life skill, BBC, CBC.

• Pengorganisasian materinya: Modular

• Strategi diklatnya: learning by doing, mastery learning, individualized learning, group learning, dan modular sistem.

Berbagai inovasi dalam kurikulum SMK Edisi 1999 dan 2004 tersebut secara konseptual sudah baik, akan tetapi di dalam implementasinya masih terdapat banyak kelemahan. Oleh karena itu masih diperlukan komitmen, keberanian dan kreativitas para pengelola sekolah di lapangan.

Satu hal yang patut mendapat perhatian di sini adalah prinsip BBC. Tujuan yang ingin dicapai dengan penerapan pola BBC adalah tamatan yang memiliki keterampilan yang multidisiplin sehingga mempunyal fleksibilitas dan adaptifitas terhadap bidang pekerjaan di luar spesialisasinya. Dilihat dan tujuannya, penerapan BBC memang baik, akan tetapi perlu diingat bahwa jika cakupan materi pelajaran yang luas yang lebih diutamakan maka kedalamannya akan kurang, dan sebaliknya apabila kedalamannya yang lebih dipentingkan maka cakupan materi pelajaran akan lebih sempit. Lantas mana yang dipilih, lebar tapi dangkal atau sempit tapi mendalam. Penerapan pola BBC dipandang kurang tepat karena akan suit menghasilkan tamatan yang betul-betul terampil dalam bidang spesialisasi-nya disebabkan kurangnya waktu untuk latihan. Pola yang dipandang lebih cocok adalah penerapan pola Cluster Based Curriculum, yaitu penyusunan struktur kurikulum dengan memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang sama untuk bidang-bidang studi atau spesialisasi yang sejenis, bidang-bidang studi atau spesialisasi-spesialisasi yang dijadikan satu kelompok (cluster). Pola ini bertujuan untuk memberikan dasar kemampuan yang lebih kokoh bagi spesialisasinya dan untuk pelaksanaan pembelajaran yang lebih efisien.

3. Fungsi Manajemen

Telah dinyatakan sebelumnya bahwa kegiatan dalam manajemen pendidikan PTK mencakup penggunaan fungsi manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan. Dalam perencanaan, manajer menentukan tujuan dan subsistem operasi dan organisasi pendidikan dan mengembangkan program, kebijaksanaan dan prosedur yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Tahapan ini mencakup penentuan peranan dan fokus dan operasi pendidikan. Termasuk penencanaan produk dan jasa, perencanaan fasilitas doan perencanaan penggunaan sumber daya operasi di bidang pendidikan. Dalam pengorganisasion, pimpinan, manajer menentukan struktur organisasi, individu, grup, seksi, bagian, divisi, atau departemen dalam subsistem operasi untuk mencapai tujuan organisasi pendidikan. Manajer juga menentukan kebutuhan sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan serta mengatur wewenang dan tanggungjawab yang diperlukan dalam melaksanakannya. Fungsi penggerakan dilaksanakan dengan memimpin, mengarahkan, melatih, dan memotivasi karyawan untuk melaksanakan tugasnya. Fungsi pengendalian dilakukan dengan mengembangkan standar dan jaringan komunikasi yang diperlukan untuk mengawasi agar pengorganisasian dan penggerakan sesuai dengan yang direncanakan dan mencapai tujuannya.

4. Transformasi Pendidikan

Kegiatan operasional di bidang pendidikan merupakan bagian dan kegiatan organisasi yang melakukan proses transformasi dan masukan (input) menjadi keluaran (output), masukan berupa semua sumber daya yang diperlukan (Man, Money, Materials, Methods, Machines, Markets, Minutes), sedangkan keluaran berupa barang jadi, barang setengah jadi atau jasa pendidikan. Proses ini biasanya dilengkapi dengan kegiatan balikan untuk memastikan bahwa keluaran yang diperoleh sesuai dengan yang dikehendaki. Gambar berikut menunjukan skema proses transformasi dan masukan menjadi keluaran.

Dalam suatu perusahaan pembuat sepatu di Cibaduyut, sebagai contoh masukan (input) yang diperlukan antara lain berupa material (misalnya kain kanvas, kulit, sol karet, lem, paku), modal (yang dinyatakan dalam bentuk modal investasi, modal kerja, tanah dan bangunan), mesin dan peralatan, tenaga kera, metode-metode produksi dan kemampuan manajerial dan pengelola. Melalui proses transformasi masukan tersebut diolah menjadi keluaran (output) yang mempunyai nilai tambah, yang dalam hal ini berupa sepatu. Dalam bidang jasa, misalnya dalam suatu usaha ekspedisi, proses transformasi terjadi bila masukan (kendaraan, tenaga kerja dan energi) ditransformasikan menjadi satu jenis keluaran berupa jasa pelayanan pengangkutan dan satu tempat ke tempat yang lain.

Kegiatan balikan (feedback) dilakukan dengan melakukan pengecekan pada beberapa titik kunci dan membandingkannya dengan standar atau acuan yang telah ditetapkan. Apabila terjadi perbedaan antara hasil (keluaran) dengan standar maka dilakukan tindakan koreksi yang dapat berupa perbaikan dalam komponen masukon otau penyempurnaan dalam proses transformasi, sehingga keluarannya dapat sesuai dengan standar yang diharapkan. Di sinilah pentingnya program penjaminan mutu di bidang pendidikan teknologi dan kejuruan.

Akhir-akhir ini banyak opini yang dikeluarkan lewat media massa/elektronik dan dalam pertemuan-pertemuan atau dialog mengenai pendidikan. Ada yang menuntut pembaharuan, reformasi, bahkan ada yang menuntut transformasi secara menyeluruh. Ada juga yang sangat menekankan pada peningkatan anggaran pendidikan. Kalau sudah terlalu sering dikumandangkan maka yang mengumandangkan sering merasa pekerjaannya sudah selesai, oleh karena itu pelempar ide tidak perlu lagi berbuat apa-apa. Jika ditanya, spontan berkata: “Sudah saya katakan...” Dengan demikian berhentilah usahanya. Transformasi pendidikan pun hanya terjadi di kertas saja.

Hal ni tidak boleh terjadi lagi. Transformasi pendidikan harus bergulir dan harus merupakan pekerjaan tanpa akhir. Pora pembaharu pendidikan perlu stamina, perlu napas panjang, dan pandai mengatur irama perjuangannya. Sedikit sekali orang menyadari bahwa perbaikan pendidikan tidak datang begitu saja. Pendidikan Indonesia membutuhkan tronsformasi, perombakan secara menyeluruh; bukan sekedar perbaikan, dan bukan sekedar reformasi, juga bukan sekedar meningkatakan dana pendidikan. Jadi, semua sepakat bahwa harus ada transformasi pendidikan. Ini tidak hanya menyangkut perubahan kurikulum melainkan seluruh sistem harus berubah, mulai dari filsafat pendidikan, tujuan, metoda sampai perombakan dalam birokrasi pendidikan itu sendiri.

Ada dua kendala besar yang dihadapi. Pertama, birokrasi pendidikan yang ada kini harus direformasi dulu. Di atas puing-puing mahligai birokrasi yang membawa bencana itu, dimulai sesuatu yang baru. Kedua, proses transformasi pendidikan berada dalam kultur politik yang sangat dekaden. Kultur politik itu juga merupakan hasil sistem pendidikan yang ada sekarang. Ini merupakan masalah besar. Membutuhkan taktik dan strategi yang jitu. Semua orang berteriak, anggaran pendidikan Indonesia sekurang-kurangnya 15 persen, nanti lambat laun dijadikan 25 persen dan seluruh anggaran belanja negara. Jika pada tahun anggaran 2001/2002 anggaran pendidikan dinaikkan menadi 27 persen seperti dialokasikan (walau hanya tereaIisasi kurang dari separuhnya) akan sedikit sekali faedahnya, ada kecurigaan karena sebagian besar dana itu diduga masih akan bocor atau menguap.

Sebagai jalan keluar perlu dua pendekatan, dari atas dan dan bawah. Mau tidak mau harus ada kebijakan dari atas yang menggerakkan dan yang menekankan komitmen secara nasional. Sementara itu harus ada gerakan serentak dari bawah yang benar-benar menginginkan transformasi tesebut. Gerakan budaya serta masyarakat pendidikan itu sendiri secara nasional harus mendorong transformasi pendidikan yang didasani oleh keinsyafan mendalam dan merata.

Proses pendidikan memang harus dimulai dari bawah, dan para pendidik, para budayawan, dan para pemikir. Hasil akhirnya berupa suatu kebijakan yang tidak sepotong-potong namun harus komprehensif, menyeluruh, terpadu, dan mempunyai jangkauan selama 25 tahun sebagal siklus pertama. ini harus merupakan komitmen pemerintah, MPR/DPR, dan masyarakat. Dalam pada itu ketahuilah bahwa transformasi pendidikan harus bergandengan tangan dengan transformasi sosial budaya secara kontinyu.

Sejalan dengan transformasi pendidikan ini, Nobel industry merupakan salah satu paradigma pengelolaan pendidikan teknologi dan kejuruan yang mungkin menjadi pertimbangan di dalam upaya meningkatkan kualitas transformasi pendidikan di atas. Noble industry adalah wawasan di mana pendidikan dilihat sebagai industri jasa. Pendidikan disebut industri karena di sana ada pekerjaan dan orang yang mencari nafkah, ada investasi, ada majikan dan karyawan, ada usaha, ada proses pelayanan, ada -organisasi dan sebaganya. Pendidikan memiliki ciri pelayanan yang sama dengan industri jasa lainnya. Bidang ini membina manusia secara utuh, dengon tujuan menjadikannya lebih baik atau lebih mulia sesuai kodrat yang ditetapkan Tuhan Sang Pencipta. Dalam diri merekoa dikembangkan nilai-nilai kebajikan (virtues) yang merupakan noble values. Hal-hal yang mulia inilah yang membedakan pendidikan dengan industri jasa lainnya, sehingga dinamakan noble industry (Oentoro, 2000).

Wawasan noble industry ini diperlukan sebagai respon terhadap perkembangan pendidikan yang sedang dalam proses menjadi industri di berbagai negara maju. Wawasan profesionalisme dibutuhkan untuk dapat menangani masalah pendidikan secara lebih bersungguh-sungguh, sehingga dapat diungkapkan apa sebenarnya yang menjadi kendala kemajuan, untuk dicarikan solusi yang terbaik. Semoga dengan wawasan noble industry dan profesionalisme dapat menemukan terobosan-terobosan perbaikan yang dapat dilaksanakan sehingga bisa menjawab sentilan bahwa masyarakat pendidikan Indonesia memiliki lebih banyak pakar statement daripada pakar pelaksana. Kita bersyukur atas adanya peringatan tersebut, karena memang sudah saatnya kita benar-benar berusaha melakukan perbaikan sistem pendidikan, bukan sekedar mencari-cari kambing hitam dan mengharapkan adanya orang lain yang akan mengerjakan perbaikan tersebut

5. Transformasi Manajemen: Orientasi Pengembangan SDM Pendidikan

Merupakan suatu hal yang wajar setiap organisasi pendidikan, sekolah atau suatu perguruan tinggi menetapkan tujuan-tujuannya yang ingin dicapai terutama untuk memenuhi visi dan misinya. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut diperlukan berbagai upaya agar organisasi mampu berkembang. Hal tersebut juga terjadi pada berbagai sistem, yang memerlukan berbagai upaya untuk mengembangkannya. Upaya yang perlu dilakukan diantaranya adalah bahwa sistem organisasi harus mampu memberikan pelayanan yang profesional, balk dalam bentuk produk yang dihasilkan maupun kualitas dan sistem penyampaiannya pada masyarakat. Di samping itu, tuntutan mutu, efisiensi, efektivitas dan produktivitas dalam menghasilkan produk dan memberikan layanan kepada masyarakat harus dilakukan secara optimal.

Berdasarkan hal tersebut di atas, salah satu upaya peningkatan Mutu Pendidikan Indonesia dalam rangka sinkronisasi terhadap kebutuhan masyarakat adalah melalui pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan pengembangan organisasinya, termasuk di dalamnya sistem kelembagaan yang mewadahinya. Pengembangan kiat-kiat yang menunjang peningkatan mutu produk dan pelayanan ini merupakan hal yang menjadi perhatian organisasi di bidang pendidikan dewasa ini. Banyak pihak yang membicarakan perlunya perubahan dan pembaharuan, bahkan dalam berbagai buku manajemen banyak menekankan tentang hal ini. Akan tetapi, sedikit sekali yang mengulas bagaimana manajemen dan organisasi itu yang seharusnya pada situasi tertentu.

Dapat diamati, krisis yang terjadi saat ni yang berkaitan dengan suatu sistem organisasi, terutama adalah krisis kelembagaan, struktur organisosi, integrasi pen getahuon da!am ker/a don ker/a dolam prestosi. Krisis tersebut terjadi pada berbagai organisasi di Indonesia, sehingga banyak hal yang harus dibenahi agar produk yang dihasilkannya, terutama produk dan asa pendidikan, mampu bersaing di pasar Internasional. Perubahan dan pembenahan yang harus dilakukan yang berkaitan dengan proses organisasi (disain pekerjaan dan struktur organisasi), dan sistem manajemennya dapat dirancang secara terintegrasi.

Dalam dinamika organisasi di bidang pendidikan, organisasi menghadapi banyak tantangan dalam upaya mengembangkan potensi sumber daya manusianya. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa berbagai tantangan yang dihadapi oleh berbagal organisasi saat mi ditandal dengan kondisi sebagai berikut : Tidak ada sesuatu yang sederhana; Lingkungan organisasi selaku berubah; Apapun yang dilakukan tidak pernah cukup; Segala seiatu tidak pernah cukup; dan Setiap individu harus mampu mengelola dan mengantisipasi perubahan. Berdasarkan kondisi tersebut, dapat diamati bahwa tuntutan akan mutu sumberdaya manusia dalam menggerakan suatu organisasi harus mampu mengikuti dinamika organisasi yang dihadapi. Dengan demikian, diperlukan berbagai upaya ke arah pengembangan sumberdaya manusia yang berkelanjutan dan sesuai dengan tuntutan dinamika organisasi tersebut. Hal mi didasarkan suatu prinsip dasar bahwa sumberdaya manusia merupakan asset yang paling penting dalam suatu organisasi. Sebagai asset penting, maka sumber daya manusia baik guru, siswa, dan stakeholder lainnya harus diutamakan pengembangannya, kualifikasi don pendayagunaannya harus dipandang sebcigai kunci keberhasilan utamo don keberadaonnya merupakan penetu keunggulan kompetitif.

Implikasi dan kondisi tersebut adalah bahwa dalam pengembangan suatu organisasi dituntut keberadaan sumber daya manusia yang kompeten. Secara umum, kompetensi sumber daya manusia harus mencakup keandalan dalam pengetahuan, keterampilan dan kemampuannya serta memiliki kesehatan fisik, sosial dan mental spiritual. Apabila organisasi digerakkan oleh sumber daya manusia yang demikian, dapat dijamin bahwa pengembangan organisasi akan mampu memenuhi tuntutan masyarakat.

Tuntutan-tuntutan akan kualitas sumber daya monusia tersebut didasari suatu kenyataan bahwa banyak tantangan yang dihadapi organisasi saat ini, di antaroanya adalah akibat adanya globalisasi pasar, kemajuan teknologi, upaya peningkatan efisiensi dan orientasi organisasi yang harus selalu menengok kebutuhan masyarakat secara menyeluruh. Untuk menghadapi tuntutan-tuntuton tersebut, misi sumber daya manusia suatu organisasi harus dicirikan oleh :

a. bertanggung jawab atas kinerja dan produktivitas kerja,

b. mengembangkan kemampuan seutuhnya,

c. berkontribusi pada pengembangan organisasi,

d. melayani kebutuhan masyarakat,

e. ikut meningkatkan keunggulan bersaing,

f. membina kualitas sumber daya manusia sebagai kapital individual

Dengan demikian upaya-upaya pengembangan orgonisasi tersebut perlu ditunjang oleh sistem nilai sumber daya manusia, yang mencakup nilai-nilai kerja dan nilai-nilai sosial. Tuntutan akan nilai-nilai kerja tersebut harus dicirikan bahwa sumber daya manusia dalam organisasi selalu menujukkan tingkat kompetensi tertingginya, berani mengambil inisiatif dan resiko, mampu beradaptasi dengan perubahan, mampu mengambil keputusan dan selalu bekenjasama dalam tim. Adapun nilai-nilai sosial yang dibutuhkan antara lain adalah bahwa sumber daya manusia tersebut bersifat terbuka, mempercayai orang lain dan dapat dipercaya, menghargai orang lain, mampu mernpertanggung jawabkan setiap tindakannya serta berani menerima tanggungjawab (akuntabel).

Bertitik tolak pada hal tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa reorientasi pendidikan Indonesia perlu dilakukan dalam upaya menciptakan sinknonisasi terhadap kebutuhan masyorakat. Untuk itu foktor-faktor yang menentukan mutu pendidikan tersebut harus diorientasikan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat. Fokton-faktor penentu tersebut meliputi siswa, guru, kurikulum, bahan ajar ,metode, media dana sarana/prasarana, serta kualitas partisipasi masyarakat. Untuk mencapai mutu pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, diperlukan upaya-upaya yang memerlukan dana cukup besar. Oleh karena itu, mekanisme pembiayaan yang bernuansa keadilan perlu ditumbuh-kembangkan. Dalam upaya mencapai kondisi ideal suatu organisasi, dalam hal ini system pendidikan nasional, untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, terdapat empat tantangan utama yang harus mampu dikelola dan diantisipasi :

1. Misi : Apa yang harus dicapai ?

2. Kompetisi : Bagaimana kita dapat berkompetisi ?

3. Kinerja : Bagaimana kita dapat menunukkan hasil/manfaat?

4. Perubahan : Bagaimana kita mengatasi perubahan ?

Keempat aspek tersebut diarahkan untuk suatu tujuan utama, yaitu mencari dan mempertahankan kunci-kunci keunggulan bersaing. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan strategi-strategi yang mampu menjamin persaingan dalam memberikan pelayanan pada masyarakat, baik saat ini maupun di masa yang akan datang.

Berdasarkan keempat tantangan organisasi tersebut, orientasi pengembangan sumber daya manusia harus menunjang transformasi manajemen yang diperlukan. Dengan demikian, diperlukan pemberdayaan sumberdaya manusia dalam upaya peningkatan produktivitas organisasi untuk memberikan pelayanan pada masyarakat. Pemberdayaan sumber daya manusia suatu organisasi dapat mencakup pemberdayaan pada pelaksana operasional, pirnpinan, masyarakat serta kemitraan antara masyarakat dan SDM organisasi (pegawai) tersebut. Pemberdayaan pada pelaksana operasional dapat dilakukan melalui antara lain :

a. Desentralisasi dan delegasi sesuai dengan kemampuan

b. Merangsang tingkat kompetensi yang maksimal dalam menunjang kegiatan

c. Dijadikan mitra pimpinan dalam memecahkan berbagai persoalan

d. Diberikan penghargaan sesuai dengan prestasinya

e. Membentuk tim kerja yang mandiri

Pemberdayaan pada pimpinan dapat dilakukan melalui antara lain

a. Pimpinan berperan sebagai pembina, fasilitator dan penasehat.

b. Memasyarakatkan visi, inovasi, kerjasama tim dan mental positif

c. Menciptakan dan memberi kesempatan berkembang bagi semua pihak

d. Memahami kegiatan secara teknis maupun managerial

Pemberdayaan pada masyarakat dapat dilakukan melalui antara lain

a. Masyarakat dilibatkan dalam kegiatan sebagai bagian dan program secara menyeluruh

b. Memberi kesempatan untuk berpairtisipasi dalam berbagai kegiatan

c. Berorientasi pada perbaikan layanan dan produk yang dihasilkan

d. Memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan

Pemberdayaan pada kemitraan dapat dilakukan melalui antara lain

a. Memaksimumkan perolehan berbagai pihak terlibat

b. Pengalokasian resiko yang proposional

c. Memanfaatkan kelebihan masing-masing (sinergi)

Memperhatikan konsep transforrnasi manajemen tersebut, dapat dikatakan bahwa lembaga pendidikan harus mampu melaksanakannnya agar profesionalismenya dapat diwujudkan dalam upaya menciptakan daya saing pendidikan nasional dalam organisasi (Syamsul Maarif, 2001)

PELUANG DAN TANTANGAN PENDIDIKAN

DI ERA OTONOMI

Sekarang ini telah terjadi perubahan paradigma dalam menata manajemen pemerintahan termasuk di dalamnya menata manajemen pendidikan. Salah satu indikator apakah manajemen pemerintahan itu dijalankan secara otoriter atau demokratis dapat dilihat dan (1) sejauh mana fokus dan lokus kekuasaan itu dijalankan, (2) sejauh mana peran serta masyarakat ikut menentukan demokratisasi manajemen pemerintahan. Kekuasaan dan peran serta masyarakat amat menentukan corak dan pelaksanaan otonomi pendidikan. Di dalam manajemen pendidikan harus dilihat seiauh mana kekuasaan pembuat kebijakan pendidikan itu tersentralisasi atau terdesentralisasi dan sejauh mana masyarakat terlibat dalam proses pengelolaan pendidikan.

Perubahan paradigma dalam menata manajemen pendidikan itu sejalan dengan tuntutan perkembangan jaman yang semakin hari semakin dinamis. Beberapa perubahan itu antara lain adalah perubahan (1) paradigma yang berorientasi pada negara menuju ke orientasi kepada masyarakat; (2) orientasi manajemen yang otoriter menjadi demokratis; (3) paradigma sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan; (4) perundang-undangan tentang pemerintahan daerah; (5) sistem tata manajemen pemerintahan dan yang menekankan tata aturan nasional menuju tata manajemen pemerintahan yang cenderung dipengaruhi tata aturan global.

1. Desentralisasi Kewenangan

Pada tanggal 7 Mei 1999, telah diundangkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Inti dan isi UU itu adalah memberikan kewenangan kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Kewenangan yang diberikan itu bersifat utuh mulai dan perencanaan, pelaksanaan pengawasan, pengendalian dan evaluasi.

Ada tiga hal yang mendasari UU No. 22 tahun 1999 ini. Pertama, dalam rangka memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah; Kedua, penyelenggaraan otonomi daerah itu diharapkan dilakukan dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan, dan kemandirian dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah dan keserasian hubungan pusat dan daerah, serta meningkatkan peran dan fungsi legislatif; Ketiga, dalam rangka menghadapi tantangan dan persaingan dalam kehidupan yang semakin mengglobal.

Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, dan kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain mi yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat meliputi kebijakan tentang (1) perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secaro makro, (2) dana perimbangan keuangan, (3) sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, (4) pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, dan (5) pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional.

Sementara itu kewenangan Daerah Propinsi meliputi kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, kewenangan dalam bidang tertentu, kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten/Kota, dan kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah. Di luar itu semua, menjadi kewenangan Daerah Kabupaten/Kota, dan bidang pendidikan termasuk salah satu kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

Kewenangan Pemerintah yang diserahkan kepada Daerah harus disertal dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan. Oleh sebab itu, untuk mendukung pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 tersebut, pada tanggal 19 Mei 1999 telah dikeluarkan pula UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah. Tujuannya adalah (1) memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah; (2) menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab, dan pasti; dan (3) mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang jelas.

Dalam UU No. 25 tahun 1999 ini telah diatur sumber penerimaan. Daerah yang lebih besar yang mencakup tidak hanya yang diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) tetapi juga dana perimbangan yang diperoleh dan APBN dan kemungkinan peminjaman Daerah. Besarnya dana perimbangan ini terutama diperoleh dari pajak bumi dan bangunan (90%), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (80%), dan penerimaan dan sektor kehutanan dan pertambangan umum (80%). Sedang dari pertambangan minyak bumi dan gas alam, daerah masing-masing memperoleh 15 dan 30 %, bahkan di beberapa daerah diatur tersendiri. Sumber penerimaan Daerah lainnya dan Dana Alokasi Umum dan Khusus, sedang Daerah dengan otonomi khusus akan diatur dengan perundang-undangan tersendiri. Dengan demikian pembahasan UU No. 25 tahun 1 999 merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan pembahasan UU No. 22 tahun 1999, karena strategi pembagian kewenangan di bidang pendidikan yang dapat dikembangkan akan dibatasi oleh ketatnya pembagian struktur dan sumber pembiayaan.

Desentralisasi pendidikan merupakan upaya untuk mendelegasikan sebagian atau seluruh wewenang di bidang pendidikan yang seharusnya dilakukan oleh unit atau pejcibat pusat kepada unit atau pejabat di bawahnya; atau dan pejabat Pusat kepada Daerah; atau dan pemerintah kepada masyarakat. Salah satu wuiud dan desentralisasi ini adalah terlaksananya otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan. Kewenangan dalam bidang pendidikan ini dapat dirinci mulai dari kewenangan dalam merumuskan, atau membuat kebijakan nasional dl bidang pendidikan, melaksanakan kebijakan nasional, dan mengawasi, mengevaluasi dan memonitor kebijakan nasional tersebut. Memang harus disadari bahwa tidak semua kewenangan tersebut dapat didesentralisasikan. Otonomi daerah dalam bidang pendidikan bukan semata dilihat dan penyerahan kewenangan, tetapi harus mengedepankan aspek substansi yaltu peningkatan mutu pendidikan. Jika semua urusan secara emosional diserahkan ke pemerintah daerah, dikhawatirkan pemerintah Kabupaten/ Kota mengembangkan menurut selera masing-masing. Akan timbul ekses negatif jika semua urusan pendidikan didesentralisasikan. Di Kabupaten Sumbawa misalnya, dengan adanya PT Newmont Nusa Tenggara (Eksplorasi Emas dan Tembaga) boleh jadi akan memprioritaskan pelajaran IPA sedang PS akan kurang diperhatikan atau dikurangi. Lombok Barat akan memilih IPS karena daerah itu maju kepariwisataannya. Selain itu mungkin tiap Bupati akan menarik guru dan kepala sekolah yang bermutu ke daerah asal masing-masing dan tempat tugasnya sekarang. Selain alasan kebutuhan, kebijakan semacam itu dibenarkan UU No. 22/1999 dan PP NO. 25/2000 sehingga Provinsi tidak bisa melakukan intervensi (Kompas, 26 Februari 2001). Bertolak dan sisi negatip UU tersebut maka kewenangan penumusan dan pembuatan kebijakan nasional mengenai pendidikan yang meliputi kurikulum, persyaratan pokok mengenai jenjang pendidikan, persyaratan pembukaan program studi baru, persyaratan tenaga guru pendidik di setiap jenjang pendidikan, dan kegiatan strategis lainnya yang dipandang lebih efektif, efisien, dan tepat jika tidak didesentralisasikan. Sedangkan kewenangan implementasi dilaksanakan Pemerintah Daerah atau masyarakat. Dalam hal-hal tertentu yang spesifikasinya memerlukan penanganan khusus, Pemerintah Pusat berwenang melaksanakan sendiri. Namun kewenangan pembuatan kebijakan yang berdimensi daerah serta pelaksanaan dan evaluasinya tidak perlu lagi diintervensi oleh Pemerintah Pusat.

Deseniralisasi pendidikan berusaha untuk mengurangi campur tangan atau intervensi pejabat atau unit pusat terhadap permasalahan pendidikan yang sepaiutnya dapat diputuskan dan dilaksanakan oleh unit di tataran bawah atnu pemerintah daerah atau masyarakat. Ini sejalan dengan hasil peneilitian LIPI tentang kajian kebudayaan pada masa orde baru yang menyatakan bahwa intervensi pemerintah yang terlalu berlebihan kepada bidang pendidikan telah melumpuhkan lembaga yang seharusnya mampu memberikan pengetahuan yang relevan sesuaii kebutuhan masyarakat (Kompas,22 Jan 2001). Kebijakan yang berdimensi daerah adalah semua hal yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan rakyat, masyarakat (baik meiaiui egisiatif dan kelompok kepentingan daerah) dan pemerintah daerah. Kewenangan mernilih lokasi sekolah, menamboh dan mengangkat guru, memilih dan menetapkan kepaila sekolah, mendidik dan melatih guru, menentukan kurikulum lokal, manajemen jenjang pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi, akreditasi dan lainnya, sudah waktunya dipikirkan upaya desentralisasinya. Akan tetapi pelaksanaan itu tetap berlandaskan pada kebijakan, ketentuan, standarisasi dan keretapan Pemerintah Pusat.

2. Permasalahan Pendidikan di Era Otonomi

Merujuk pada si UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999 dapat disimpulkan bahwa fokus pelaksanaan otonomi daerah adalah di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota akan memegang peranan penting dalam pelaksanaan pendidikan. Dengan demikian diharapkan layanan di bidang pendidikan akan lebih dapat memenuhi kebutuhan, lebih cepat, efisien, efektif, dan lebih menegakkan aparat yang bersih dan berwibawa. Namun untuk mencopai tujuan yang mulia tersebut perlu kiranya diantisipasi, permasalahan pendidikan yang mungkin dihadapi dalam pelaksanaannya. Permosalahan tersebut di antaranya (1) permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan nasional dalam upaya national character building, pemerataan, dan relevansi, (2) permasalahan mutu pendidikan yang memenuhi standar nasional, profesional dan internosional, (3) permasalahan efisiensi pendidikan baik secara teknis dan ekonomis, (4) permasalahan kesenjangan antara daerah yang meliputi fasilitas, pendanaan, partisipasi dan peran serta masyarakat, dan (5) permasalahan akuntabilitas aparat pelayanan pendidikan, serta (6) permasalahan paradigma manajemen pendidikan yang meliputi struktur organisasi, pola hubungan, jenis organisasi, manajemen sumber daya manusia, manajemen sarana prasarana, manajemen pendanaan, kurikulum, pengendalian dan evaluasi. Dalam mengimplementasikan paradigma ini harus disiapkan lebih dahulu (a) sistem dan strategi pengelolaannya, pembagian kewenangan, dan pedoman pelaksanaan; (b) perangkat perundang-undangan; (c) sosialisasi dan pemberdayaan personal melalui pendidikan dan pelatihan; (d) penyempurnaan sistem secara terus menerus, (e) perluasan sistem yang sudah teruji.

3. Peluang dan Tantangan di Era Otonomi

Merujuk pada berbagai pengalaman empiris negara Indonesia khususnya di bidang pendidikan (UU Nomor 5 Tahun 1 974; PP Nomor 45 Tahun 1992 dan PP Nomor 8 Tahun 1995), menunukkan dalam reformasi pendidikan betapa pentingnya membangun konsensus dan komitmen atas otonomi pendidikan bahkan sampai pada otonomi sekolah. Dalam reformasi, seperti sistem pemerintahan daerah, reformasi penyelenggaraan pendidikan, memerlukan konsensus dan komitmen bersama dan semua komponen bangsa yang terkait (Fiske, 1 996). Tampaknya akhir-akhir ini konsensus dan komitmen tersebut mulai terbentuk sehingga menjadi peluang sekaligus tantangan bagi implementasi berbagai kebijakan penyelenggaraan pendidikan umumnya dan otonomi sekolah khususnya.

a. Pemberdayaan Sekolah

Pemberdayaan sekolah adalah bagaimana sekolah mampu mandiri dalam merencanakan pendidikan dengan segala macam elemennya. Tanpa pemberdayaan sekolah maka makna otonomi pendidikan akan berkurang, bahkan desentralisasi pendidikan akan memindahkan permasalahan pendidikan selama ini dari pusat ke daerah. Kalau fenomena ini terjadi maka tujuan desentralisasi pendidikan yang antara lain merangsang peran serta masyarakat dalam pendidikan tidak akan tercapai.

b. Akuntabilitas Pendidikan

Tanggung jawab pejabat birokrasi pemerintahan atau yang kini lebih populer dengan istilah akuntabilitas publik diyakini merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah, termasuk di bidang pendidikan. Tanpa akuntabilitas publik prakarsa, kreativitas dan partisipasi masyarakat sebagai inti kekuatan daerah akan sulit dibangun. Oleh karena itu dalam era otonomi daerah, masing-masing institusi harus dapat membangun akuntabilitas peran dan ungsinya untuk dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.

Ada tiga pilar utama yang menjadi prasyarat terbangunnya akuntabilitas. Pertama, adanya transparansi para penyelenggara pemerintahan dalam menetapkan kebijakan publik dengan menerima masukan dan mengikutsertakan berbagai institusi; Kedua, adanya standar kinerja di setiap institusi yang dapat diukur dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya; Ketiga, adanya partisipasi untuk saling menciptakan suasana kondusif dalam menciptakan pelayanan masyarakat dengan prosedur yang mudah, biaya yang murah, dan pelayanan yang cepat (Kompas, 16 April 2001). Dengan tumbuhnya akuntabilitas di setiap daerah, diharapkan dapat mendorong (1) pemberdayaan masyarakat serta tumbuhnya prakarsa, kreativitas maupun partisipasi masyarakat; (2) proses demokrasi yang dimulai dari pemerintah daerah kabupaten/ kota, (3) pemerataan dan keadilan dalam bidang ekonomi. Dengan tumbuhnya akuntabilitas di setiap daerah dan instansi diharapkan ekstensifikasi pelayanan kepada masyarakat yang bermutu semakin tumbuh dan berkembang.

c. Mutu Pendidikan

Dalam aspek mutu kinerja sistem pendidikan belum sesuai dengan harapan nasional, bahkan cenderung menurun, apalagi memenuhi standar internasional. Pengamatan menunjukan bahwa tekanan dalam proses pembelajaran terlalu banyak diberikan pada aspek akademik/ intelektual. Semua mata pelajaran menekankan aspek pengetahuan tanpa membedakan hakekat mata pelajaran itu sendiri. Misalnya, mata pelajaran Agama dan Pendidikan Moral Pancasila yang mestinya menekankan aspek nilai dan sikap serta amalan, juga lebih banyak memberikan pengetahuan akademik. Evaluasi hasil belajar juga terbatas pada aspek hafalan, dan ini memiliki dampak negatif pada proses pembelajaran. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa pengembangan aspek akademik masih pada tingkat yang rendah, belum sampai pada pengembangan kemampuan berpikir kritis apalagi kemampuan memecahkan masalah.

Dalam dunia pendidikan tinggi, data yang disajikan oleh Asia Week menunjukan bahwa empat universitas terbaik Indonesia-di antara 77 universitas yang disurvai di Asia Pasifik, ternyata menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73, dan ke-75. Indikator lain dan mutu pendidikan dapat dilihat dari data UNESCO (2000) tentang peringkat indeks Pengembangan Manusia (Human Develoment Index), yaitu komposisi dan peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia menurun.

Selanjutnya dari hasil survei yang dilakukan oleh The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong (Jakarta Post, 3 Sept 2001), mencerminkan betapa rendahnya kualitas pendidikan kita saat ini. Asumsinya adalah untuk mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas harus dilihat dan kualitas sistem pendidikan yang ada di suatu negara. Artinya, jika suatu negara memiliki sistem pendidikan yang baik, maka sistem itu akan mampu melahirkan tenaga kerja yang baik. Tujuh belas indikator yang digunakan oleh PERC terdiri dari:

1. Impresi keseluruhan tentang sistem pendidikan di suatu negara.

2. Proporsi penduduk yang memiliki pendidikan dasar.

3. Proporsi penduduk yang memiliki pendidikan menengah.

4. Proporsi penduduk yang memiliki pendidikan perguruan tinggi.

5. Jumlah biaya untuk mendidik tenaga kera produktif.

6. Ketersediaan tenaga kerja produktif berkualitas tinggi.

7. Jumlah biaya untuk mendidik tenaga kerja.

8. Ketersediaan tenaga kerja.

9. Jumlah biaya untuk mendidik staf manajemen.

10. Ketersediaan staf manajemen.

11. Tingkat keterampilan tenaga kerja.

12. Semangat kerja (work ethic) tenaga kerja.

13. Kemampuan berbahasa Inggris.

14. Kemampuan berbahasa asing selain bahasa Inggris.

15. Kemampuan penggunaan teknologi tinggi.

16. Tingkat keaktifan tenaga kerja.

17. Frekuensi perpindahan atau pergantian tenaga kerja (labor turnover).

Aspek lain yang sangat perlu diperhatikan adalah kemerosotan ahlak dan moral masyarakat Indonesia. Indikator-indikatornya adalah praktik-praktik korupsi-kolusi-nepotisme, berbagal pelanggaran hukum dan hak-hak asasi manusia, dan ketidakmampuan menyelesaikan kasus-kasus terkait. Indikator lain adalah eksploitasi calon-calon ibu anak bangsa, pengedaran narkoba, penyebaran HIV-AIDS, banyaknya tawuran yang makin merebak di berbagai tempat. Kegagalan pendidikan dalam membentuk moral kepribadian bangsa tentu saja ikut memberikan andil pada masalah ini. Masalah lain berkenaan dengan merosotnya rasa nasionalisme. Hal ini ditunjukan oleh terjadinya konflik horizontal di beberapa tempat yang terkait dengan cara berpikir sektarian-primordial dan sikap yang kurang demokratis. Indikator lain tersirat pada lontaran keinginan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari semua ini dapat disimpulkan bahwa upaya pendidikan yang dilakukan selama ni belum berhasil memfasilitasi pengembangan manusia Indonesia dengan segala ciri yang diinginkan, seperti telah disebut pada tujuan pendidikan dalam UU No. 20 Tahun 2003. Jadi, tantangan yang berkaitan dengan kualitas adalah bagaimana menghasilkan lulusan yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di era global, paling tidak untuk wilayah ASEAN. Keunggulan itu dapat dicapai melalui penguasan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta keterampilan hidup yang bermartabat.

d. Pemerataari Pendidikan

Layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Layanan pemerintah baru menampung 1% anak usia 0-5 tahun melalui penitipan anak dan 1 2,65% anak usia 5-6 tahun melalui taman kanak-kanank, serta 0,24% melalui kelompok bermain. Data lain menunjukan bahwa masih terdapat 11 .298.070 anak usia 4-6 tahun yang perlu diberi layanan pendidikan taman kanak-kanak dalam rangka kesinambungan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kegagalan pembinaan sejak usia dini diyakini akan menghambat tercapainya pengembangan kualitas pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan.

Efisiensi pendidikan nasional masih dalam kategori rendah. Rendahnya efisiensi pengelolaan pendidikan dapat dilihat dan seumIah kenyataan berikut: penyebaran guru yang tidak merata, terjadi putus sekolah di semua jenjang pendidikan, bangunan fisik gedung sekolah yang cepat rusak dalam waktu pendek, jam belajar yang tersedia tidak optimal, dan pengalokasian dana pendidikan yang tidak fleksibel. Penyebaran guru tidak merata, pada data BKN (1 997), yang menunjukan bahwa SD di daerah kekurangan guru 156.454 orang, di lain doerah kelebihan guru 12.971 orang. Adopun di SMP dan SMA terdapat sejumlah guru bidang studi tertentu yang merangkap bidang studi lain yang tidak sesuai dengan bidangnya. Tingkat putus sekolah, menurut data tahun 1999, terjadi di SD/MI (3,4%), SMP/MTs (4,04%), SMA/MA (2,1%), SMK (3,5%) dan PT/PTAI (1,4%), juga menunjukan tingkat efisiensi penyelenggaraan pendidikan yang belum optimal. Tentang bangunan fisik, pada tahun 1998/99 telah dibangun 1 73.000 SD/MI di seluruh Indonesia, tapi dari sejumlah itu, sebanyak 19.000 sekolah berada dalam kondisi rusak berat.

f. Relevansi Pendidikan

Pendidikan di Indonesia juga masih mengalami masalah relevansi. Rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kehidupan dapat dilihat dan banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMA sebesar 25,47%, Diploma/SO sebesar 27,5%, dan PT sebesar 36,60%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Sebaliknya berbeda sekali dengan kesempatan kerja pada periode 1997-2003 yang cenderung memprihatinkan. Menurut data Balitbang-Diknas 1999, setiap tahunnya sekitar tiga juta anak yang putus sekolah dan tidak melanjutkan sekolah tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenaga kerjaan sendiri. Adanya ketidak serasian antara hasil pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja mi antara lain disebabkan oleh kurikulum yang masih sarat dengan materi yang kurang fungsional terhadap tuntutan masa depan peserta didik akan keterampilan memasuki kerja. Hal ini terjadi karena belum terjalin kerjasama yang serasi antara dunia usaha sebagai pengguna hasil pendidikan dengan lembaga pendidikan, serta- kurangnya penekanan pada aspek kreativitas dalam proses pembelajaran.

g. Paritsipasi Masyarakat dalam Pembangunan Pendidikan

Otonomi pendidikan sangat menekankan adanya partisipasi seluruh elemen terkait dengan bidang pendidikan. Elemen yang dimaksud tidak saja dalam bentuk partisipasi orang tua, melainkan juga masyarakat umum, tokoh agama, tokoh adat, LSM, perusahaan, dan lembaga sosial lainnya. Ditinjau dari segi bahasa, partisipasi berarti turut serta dalam suatu kegiatan. Partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional orang-orang dalam suatu kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada tujuan kelompok dan berbagai tanggung jawab dalam pencapaian tujuan itu (Davis, 1990). Ada tiga unsur penting dalam definisi tersebut yaitu: unsur keterlibatan, kontribusi dan tanggung awab. Partisipasi dibedakan ke dalam dua bagian yaitu (1) partisipasi bebas (spontan dan akibat penyuluhan), dan (2) partisipasi paksaan sebagai konsekuensi dan hukum, kondisi sosial ekonomi dan kebiasaan setempat (Duseldorps, 1981).

4. Tingkat Partisipasi Masyarakat di Bidang Pendidikan

Dari penelitian ( Wibawa, 2001) yang dilakukan di delapan kota yang tersebar di empat propinsi di. Indonesia yaltu: Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, tingkat partisipasi masyarakat pada tahun kedua era otonomi pendidikan dapat disajikan sebagai berikut:

4.1. Keterlibatan Orangtua Siswa dalam Program Pendidikan

Data menuniukkan bahwa 96% orangtua siswa tahu tentang program pendidikan yang diselenggarakan di sekolah. Dari jumlah tersebut 91% dilibatkan dalam program oleh sekolah. Kalau ada yang tidak terlibat penyebabnya adalah karena pihak sekolah memang sengaja tidak melibatkan pihak orang tua (40%), tidak tahu (35%) dan tidak mau (25%) Hampir 60% sekolah hanya melibatkan satu orang wakil orangtua siswa dalam program Pada umumnya mereka adalah Ketua BP3/Komite sekolah. Pada umumnya mereka sebagian besar terlibat dalam perencanaan (3%), pelaksanaan (2%), dan evaluasi program (10%), terlibat dua dan tiga aktivitas (32%). Sedang yang terlibat keseluruhan kegiatan (53%) dan sebagaian kecil yang terlibat di atas. Bentuk keterlibatan dalam perencanaan adalah melakukan identifikasi kebutuhan bersama dengan anggota komite sekolah yang lain. Terlibat secara langsung pada kegiatan adalah bentuk keterlibatan dalam pelaksanaan. Sementara keterlibatan dalam evaluasi adalah menyempurnakan program dan memeriksa laporan program.

4.2. Keterlibatan dalam Pemberdayaan Pendidikan

Peran orangtua murid dalam keberlangsungan PBM di luar luran rutin (SPP, BP3) masih sangat kecil. Hanya 49% orangtua yang terlibat dalam keberlangsungan PBM di luar iuran ruitn. Dan 49% tersebut, sebagaian besar hanya terlibat dalam menyumbangkan ide, pemikiran yang berhubungan dengan kemajuan sekolah (46%), bantuan fisik (1 6%), bantuan material dan dana di luar iuran rutin (16%) atau kombinasi dua dan tiga jenis keterlibatan tersebut (19%). Hanya 3% saja yang terlibat sekaligus dalam menyumbang ide, pemikiran, fisik, material, dana di luar iuran rutin dan wajib.

Peran serta masyarakat di luar orangtua murid mliputi peran LSM, perusahaan, serta masyarakat umum di sekitar sekolah umumnya dirasakan masih sangat kurang. Lebih dari 60% dan jumlah sekolah menyatakan tidak ada unsur masyarakat di luar orangtua murid yang berperan serta dalam pemberdayaan sekolah. Hanya sedikit LSM yang ada dan umumnya bergerak di bidang sosial dan ekonomi. Selama ini peran yang paling besar dalam pemberdayaan sekolah di luar orongtua murid adalah berasal dan alumni dan donatur tetap dan tidak tetap. Masyarakat lain di sekitar sekolah yang berperan dalam pemberdayaan sekolah adalah pemerintah desa di Iingkungan sekolah, sementara keriasama dengan perusahaan lebih banyak terjadi pada SMK. Bantuan lain dan perusahaan kepada sekolah biasanya bersifat individual.

4.3. Keterlibatan dalam Pembiayaan Pendidikan

Pembiayaan sekolah, terutama swasta, banyak ditentukan partisipasi orang tua. Hal tersebut disebabkan dana yang berasal dari orangtua seringkali merupakan satu-satunya sumber pendanaan sekolah swasta khususnya di daerah. Beda halnya, pada umumnya sekolah negeri memiliki lebih dan satu sumber pendanaan (rutin dan pembangunan). Pendanaan dan orangtua siswa hanya merpakan tambahan pendapatan bagi sekolah di luar pendapat rutin.

Namun, kenyataannya bahwa kemampuan ekonomi orang tua murid sekolah swasta di daerah pada umumnya rendah, sehingga penggalangan dana dan orang tua menjadi tidak maksimal. Kondisi sebaliknya pada sekolah negeri. Sekolah negeri di daerah umumnya berjumlah sedikit dan merupakan sekolah favorit. Penggalangan dana yang dilakukan sekolah kepada orang tua masih terbatas pada SPP dan BP3 (39%). Sekolah yang menarik iuran SPP, BP3, dan uang pendaftaran mencapai 14%. Sementara sekolah yang menarik SPP, BP3, uang pendaftaran dan uang gedung/pangkal sebesar 11%. Sementara iuran lain di luar iuran pokok (SPP, BP3) seperti iuran OSIS, ekstra kurikuler, praktek, buku dan sumbangan lainnya masih sangat terbatas penggalangannya. Rata-rata nilai dana yang dibayarkan orangtua murid untuk setiap eniang pendidikan SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA berturut-turut sebesar Rp 152.000.-; Rp 160.900.-; dan Rp 289.900.- per murid per tahun. Temuan ini masih jauh lebih rendah dari perhitungan unit cost per murid yang dapat dihimpun dan berbagai sumber dana bahwa untuk Sekolah Dasar sebesar Rp 176,000,-, untuk SMP Rp 275,000,-, untuk SMA Rp 342,000,- per munid dan untuk Sekolah Menengah Kejuruan sebesar Rp 270,000,- per murid untuk setiap tahunnya (Suryadi, 2001).

4.4. Kemandirian Sekolah dalam Menghadapi Otonomi Daerah

Otonomi daerah secara Iangsung akan mempengaruhi kemandinian sekolah khususnya dalam pembiayaan sekolah. Kondisi ini terutama teradi pada sekolah negeri yang sangat mengandalkan bantuan pemerintah. Tindakan yang umumnya akan diambil oleh manajemen sekolah seandainya bantuan pemerintah (rutin, Pembangunan, dan sebagainya) dihentikan adalah (1) menaikan SPP/BP3 atau iuran (36%); (2) belum ada rencana menghadapi kondisi tersebut, dan kenyataan ini sungguh memprihatinkan (24%), (3) menunggu keputusan (6%), (4) mencari bantuan (12%); (5) memperbaiiki manajemen (5%); (6) kerjasama usaha (1%); (7) usaha sendiri (5%); (8) 2 dan 6 rencana kegiatan (10%); (9) 3 dan 6 kegiatan (1%).

Kemandirian sekolah dalam bentuk kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri masih jauh dari yang diharapkan. Usaha yang dilakukan sekolah sampai saat ini hanya bersifat menambah dana rutin yang diberikan pemerintah (kecuali sekolah swasta). Upaya melibatkan masyarakat (perusahaan, alumni, donatur lain) masih mengalami banyak kendala di antaranya karena kurang memahami stakeholdersekolah dan cara mobilisasi peran serta masyarakat.

PERBAIKAN SISTEM PENDIDIKAN

Begitu banyak issu sekitar globalisasi dan otonomi pendidikan antara lain masiffikasi pendidikan, sistem pendidikan terbuka, kualitas dan relevansi, orientasi pasar, akuntabilitas dan otonomi, pemerataan akses, serta pengembangan kapasitas. Untuk itu sistem pendidikan harus responsif terhadap berbagai issu tersebut.

Untuk memperbaiki sistem pendidikan teknologi dan kejuruan, maka salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah menerapkan konsep school-based management. Gagasan seperti ini cocok dengan wawasan industri mulia (noble industry). Sangatlah diharapkan agar masyarakat pendidikan memahami konsep-konsep seperti ini serta nilai-nilai industrial yang melatarbelakanginya, sehingga dapat mengembangkan atau menerima paradigma-paradigma yang mendukung pembuatan keputusan dan perencanaan strategis sebagaimana halnya dunia industri. Paradigma-paradigma tersebut seyogyanya menjiwai proses kepemimpinan dan manajemen lembaga-lembaga pendidikan, sehingga bisa menghasilkan SDM yang dibutuhkan dunia industri.

1. Pendidikan Sebagai Sistem

Pendidikan teknologi dan kejuruan sebagai sistem tersusun dan komponen konteks, input, proses, output, dan outcome. Konteks berpengaruh pada input, input berpengaruh pada proses, proses berpengaruh pada output, dan output berpengaruh pada outcome (Slamet PH, 2004).

Konteks adalah ekstemalitas yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan pendidikan teknologi dan kejuruan dan karenanya harus diinternalisasikan ke dalam penyelenggaraan Pendidikan. Konteks meliputi kemajuan ipteks, nilai dan harapan masyarakat, dukungan pemerintah dan masyarakat, kebijakan pemerintah,bandasan yuridis, tuntutan otonomi, tuntutan globalisasi, dan tuntutan pengembangan diri serta peluang tamatan untuk melanjutkan pendidikan ataupun untuk terjun dimasyarakat dan sebagainya. Input adalah segala sesuatu yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan, khususnya proses belajar mengajar. Input pendidikan teknologi dan kejuruan digolongkan menjadi dua yaitu yang diolah dan pengolahnya. Input yang diolah adalah siswa dan input pengolah meliputi visi, misi, tujuan, sasaran; kurikulum; tenaga kependidikan; dana, sarana dan prasarana, regulasi, organisasi, administrasi, budaya, dan peran masyarakat dalam mendukung Pendidikan. Proses adalah kejadian berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Proses meliputi manajemen, kepemimpinan, dan utamanya proses belajar mengajar. Dalam pendidikan, proses adalah kejadian berubahnya siswa belum terdidik menjadi siswa terdidik. Mutu proses belajar mengajar sangat tergantung mutu interaksi guru dan siswa. Mutu interaksi guru sangat tergantung perilakunya di kelas (utamanya) dan perilaku siswa di kelas (utamanya). Perilaku guru di kelas misalnya, kejelasan mengajar, penggunaan variasi metode mengajar, variasi penggunaan media pendidikan, keantusiasan mengajar, penggunaan jenis pertanyaan, manajemen kelas, penggunaan waktu, kedisiplinan, kesempatan terhadap siswa, hubungan interpersonal, ekspektasi, keinovasian pengajaran, dan penggunaan prinsip-prinsip pengajaran dan pembelajaran yang efektif. Demikian juga, mutu interaksi siswa di kelas sangat tergantung mutu perilaku siswa di kelas. Perilaku siswa di misalnya, keseriusan belajar, semangat belajar, perhatian terhadap pelajaran, keingintahuan, usaha, perlanyaan, dan kesiapan (mental dan fisik) belajar.

Output pendidikan teknologi dan kejuruan adalah hasil belajar yang merefleksikan seberapa efektif proses belajar mengajar diselenggarakan. Artinya, prestasi belajar ditentukan oleh tingkat efektivitas dan efisiensi p proses belajar mengajar. Prestasi belajar ditunjukkan oleh peningkatan kemampuan dasar dan kemampuan fungsional. Kemampuan dasar meliputi daya pikir, daya kalbu, dan daya raga yang diperlukan oleh siswa untuk terjun di masyarakat don untuk mengembangkan dirinya. Daya pikir terdiri dan daya pikir deduktif, induktif, ilmiah, kritis, kreatif, eksploratif, diskoveri, nalar, lateral, dan berpikir sistem. Daya kalbu terdiri dari daya spiritual, emosional, moral, rosa kasih sayang, kesopanan, toleransi, kejujuran don kebersihan, disiplin din, harga din, tanggungjawab, keberanian moral, kerajian, komitmen, estetika, dan etika. Daya raga meliputi kesehatan, stamina, ketahanan, dan keterampilan (olah raga, kejuruan, dan kesenian). Kemampuan fungsional antara lain meliputi kemampuan memanfaatkan teknologi dalam kehidupan, kemampuan mengelola sumberdaya (sumberdaya uang, bahan, alat, bekal, dsb.), kemampuan kerjasama, kemampuan mamanfaatkan informasi, kemampuan menggunakan sistem dalam kehidupan, kemampuan berwirausaha, kemampuan kejuruan, kemampuan menjaga harmoni dengan lingkungan, kemampuan mengembangkan karir, dan kemampuan menyatukan bangsa berdasarkan Pancasila. Outcome adalah dampak jangka panjang dan output/hasil belajar, baik dampak bagi individu tamatan maupun bagi masyarakat. Artinya, jika hasil belajar bagus, dampaknya juga akan bagus. Dalam kenyataannya tidak selalu demikian karena outcome dipengaruhi oleh banyak faktor diluar basil belajar. Outcome memiliki dua dimensi yaitu: (1) kesempatan melanjutkan pendidikan dan kesempatan kerja, dan (2) pengembangan diri tamatan. Pendidikan yang baik mampu memberikan banyak akses/kesempatan kepada tamatannya untuk meneruskan pendidikan berikutnya dan kesempatan untuk memilih pekerjaan. Pendidikan yang baik juga membekali siswanya kemampuan untuk mengembangkan dirinya dalam kehidupan. Pengembangan diri yang dimaksud adalah pengembangan intelektualitas dan kalbu yang dihasilkan dan proses pembelajaran di sekolah.

2. Mengapa Perlu Perbaikan Sistem Pendidikan?

Perbaikan sistem pendidikan teknologi dan kejuruan sudah banyak diusahakan, tetapi masih saja terdengar bahwa lembaga pendidikan tidak sanggup menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan dunia industri. Ada beberapa alasan mengapa terjadi demikian, antara lain: a) ketidaksesuaian sistem pendidikan; b) industrial, bukan komersial.

Ada empat alasan yang perlu diberikan perhatian serius mengapa ada ketidaksesuaian sistem pendidikan. Pertama, usaha perbaikan pendidikan tidak mengena atau tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada di dunia industri. Dengan kata lain, pemahaman kita tentang sumber daya manusia yang dibutuhkan dunia industri tidak tepat, sehingga terjadi kekeliruan dalam mengidentifikasi masalah. Kedua, kebijakan pendidikan yang ditetapkan tidak didukung oleh prinsip yang sesuai dengan perkembangan. Nilai-nilai yang melatarbelakangi prinsip mungkin tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah. Ketiga, perencanaan dan pelaksanaan program pendidikan tidak profesional dan tidak konsisten. Keempat, karena kebutuhan dunia industri berubah dengan cepat sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi, semantara perbaikan sistem pendidikan selalu terlambat dalam menyesuaikan diri. Kalau keempat alasan di atas benar, maka dalam mengatur sistem pendidikan perlu diantisipasi lompatan-lompatan kemajuan dunia industri dan perkembangan teknologi. Lembaga-lembaga pendidikan perlu mengenal dengan baik kualitas SDM yang dibutuhkan dunia industri, baik secara umum maupun secara khusus. Perbaikan secara umum berarti berusaha memenuhi kebutuhan SDM sesuai dengan trend global, sedangkan perbaikan secara khusus berarti berusaha menyiapkan SDM sesuai dengan kebutuhan yang terpaut dengan disiplin ilmu tertentu yang menjadi bidang studi lembaga terkait dan minat dari peserta didik (Oentoro, 2000).

Sistem pendidikan teknologi dan kejuruan perlu diperbaiki secara umum dan juga secara khusus dari segi kepemimpinan dan manajemen. Perbaikan secara khusus hendaknya diusahakan oleh lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, akademi, universitas, fakultas atau bahkan program studi. Perbaikan tersebut harus didasarkan pada pemahaman atas kebutuhan SDM dunia industri dan dunia usaha. Perbaikan secara umum hendaknya diterapkan secara nasional, dengan cara terus-menerus meninjau kembali kebijakan-kebijakan pemerintah sehubungan dengan kepemimpinan dan manajemen di bidang pendidikan, sehingga lembagalembaga pendidikan mendapat dukungan untuk dioperasikan sesuai dengan dinamika yang berkembang di dunia industri dan di tengah masyarakat. Perbaikan-perbaikan yang umum dan yang khusus harus sinkron satu dengan yang lain, dengan mengutamakan tujuan-tujuan yang disepakati.

Dalam mengusahakan perbaikan yang disebut di atas para penentu kebijakan, khususnya politisi dan birokrat, dapat memilih prinsip-pninsip yang tepat dan memberlakukannya secara konsisten. Kalau ditefapkan bahwa pendidikan harus membangun Indonesia baru yang demokratis, maka pendidikan uga harus dimungkinkan untuk berkembang secara demokrats. Dalam konsistensi terhadap demokrasi, memang pendidikan akan tampil pluralistis, karena masyarakat bangsa kitapun terdiri dan berbagal latar belakang etnis, agama dan lain sebagainya. Kalau dalam nuansa demokrasi pendidikan pemerintah menghendaki partisipasi masyarakat don swasta, maka biarkanlah badan swasta mengembongkan pendidikan sesuai visi dan misi mereka. Lebih dan itu, seyogyanya lembaga pendidikan dimungkinkan menggunakan dana masyarakat. Selain dalam bentuk yayasan, mungkin perlu dipikirkan agar organisasi pengelola pendidikan dapat juga berbentuk perseroan.

Dari segi industri dan bisnis, abad 21 merupakan permulaan era ekonomi berdasarkan ilmu (knowledge based economy). Salah satu indikatornya, makin sentralnya peranan ilmu pengetahuan di berbagai sendi kehidupan. Ilmu dan teknologi yang canggih, dengan didukung kekuatan ekonomi yang solid dan terpadu merupakan senjata ampuh bagi suatu bangsa untuk memenangkan persaingan. Dari “senjata” di atas sangat ditentukan oleh peranan pendidikan. Apa yang akan terjadi selanjutnya adalah berkembangnya knowledge capitalism. Di era ini, SDM yang dibutuhkan dunia industri bukan lagi sekedar produktif, tetapi sudah harus menjadi intangible asset, sekaligus sebagai unsur comparative advantage bagi organisasi atau perusahaan. Karena itu sistem pendidikan bonus siap menghadapi knowledge capitalism yang berteknologi serba cyber. Perkembangan seperti ini akan merubah banyak hal, termasuk nilai-nilai dalam dunia pendidikan.

Setiap institusi pendidikan bonus dikelola secara jujur dan benar, baik dari segi tenaga pendidik, keuangan, maupun admmnistrasinnya. Upaya ini tidak mudah dilakukan. Mana mungkin dunia pendidikan dapat menanamkan nitai-nilai kejujuran dan kebenaran, di lembaga pendidikan itu sendiri tidak dikelola dengan jujur dan benar ? Memang benar, bahwa otonomi pendidikan harus dikelola dengan jumlah biaya tertentu, akan tetapi tidak benar bila lembaga pendidikan dikelola seperti sebuoh usaha dagang. Lembaga pendidikan dikelola dengan menerapkan konsep industrial namun bukan komersial. Karena fungsi lemboga pendidikan bukanlah mencari untung semata, tetapi untuk mensosialisasikan nilai-nilai dan ilmu pengetahuan kepada anak didik.

Dalam upaya memperbaiki pendidikan teknologi dan kejuruan untuk menunjang dunia industri, kita perlu mengembangkan paradigma kependidikan yang terkait dengan dunia industri. Memang tidak ada paradigma yang sempurna dan tidak ada paradigma yang benar-benar sama. Setiap orang boleh mengembangkan paradigmanya sendiri dengan keuntungan dan resikonya sendiri. Dalam kaitan pendidikan sebagai noble industry, Oentoro (2000) menyatakan sekurang-kurangnya ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan dan dipahami: Persepsi masyarakat dunia tentang pendidikan dan industri; Pemahaman terhadap Kebutuhan dunia industri; Problematika kepemimpinan dan manajemen pendidikan.

Persepsi Masyarakat Dunia Tentang Pendidikan dan Industri.

Persepsi dunia mengenai pendidikan dan industri terbentuk oleh bagaimana pendidikan memahami industri dan bagaimana industri memahami pendidikan. Kalangan industriawan Amerika Serikat mempunyai persepsi sendiri yang agak berbeda dengan pandangan Eropa dan bagian dunia lainya.

a. Persepsi Industriawan Amerika

Industriawan Amerika sudah mulai memasuki dunia pendidikan sebagai bidang investasi yang menjanjikan. Berikut ini beberapa kutipan dan artikel yang ditulis Edward Wyatt, berjudul Profits of Education Investors to Make Schooling Big Business, yang mengungkapkan rencana industriawan Amerika Serikat menyangkut pendidikan. “Business executives like Paul Allen, the co-founder of Microsoft Corp. and Lamar Alexander, the erslwhile presidential hopeful and former governor of Tennessee, are flocking to education bringing with them a flood of dollars. They soy that they will turn the $ 700 billion education sector into ‘the next health care’. That is to transform large portion of fragmented, cottage industry of independent non-profit institutions into a consolidated, professionally managed, money-making set of business that include all levels of education, from pre-school through college and university work.”

Mungkin di Indonesia hal tersebut masih jauh dari kenyataan. Faktanya tidaklah demikian. Secara diam-diam beberapa kursus bahasa lnggris yang tergolong baik, terutama yang berkantor pusat di luar negeri sudah melakukan franchising. Jadi sudah saatnya kita memahami betapa perlunya pendidikan dikelola sebagaimana halnya industri, karena perubahan itu bukan saja pasti datang, tetapi sudah dimulai.

b. Persepsi Dunia Konferensi Luxembourg

Konferensi Internasional Luxembourg yang diselenggarakan pada tanggal 2-3 Mei 2000 mengetengahkan topik : Pendidikan Abad 21 Menujang Knowledge Bosed Economy (Tilaar, 2000) Hadir dalam konferensi tersebut para cendekiawan dari berbagai disiplin ilmu, para politikus dan European Union, kaum industriawan, birokrat pendidikan tinggi dari Eropa dan Asia. Sesuai dengan topik konferensi, diungkapkan bahwa “Tanpa ilmu pengetahuan, seseorang atau suatu masyarakat akan tersingkin dl era globalisasi.” Tanpa ilmu pengetahuan, seseorang atou suatu masyarakat ataupun bangsa tidak dapat berpartisipasi dl dalam penkembangan ekonomi yang cepat. Di dalam kaitan ini muncul apa yang disebut kapital intelektual (intellectual capital) dan seseorang atau masyarakat. Kapital intelektual dan seseorang atau masyarakat hanya dapat dibentuk melalui proses pendidikan dan pelatihan. Oleh sebab itu European Union menempatkan pendidikan sebagai salah satu prioritas yang sangat strategis dalam mempersiapkan masyarakat Eropa di era global.

Konferensi tersebut menyimpulkan bahwa pendidikan mempunyal peran ganda sebagai berikut:

1. Pendidikan berfungsi untuk membina manusia (human being). Hal ini berarti bahwa pendidikan pada akhirnya ditujukan untuk mengembangkan seluruh pribadi manusia, termasuk mempersiapkan manusia sebagai anggota masyarakat, warga negara yang baik, dan menggalang rasa persatuan (cohesiveness).

2. Pendidikan mempunyai fungsi sebagai pengembangan sumber daya manusia (human resources), yaitu mengembangkan kemampuanya memasuki era kehidupan baru dengan sikap kompetitif dan employability.

Yang melatarbelakangi rekomendasi tersebut adalah karena fenomena perkembangan ekonomi dunia yang sudah bertumpu pada pengetahuan (knowledge-based economy), bukan lagi pada tersedianya tenaga kerja yang banyak dan murah ataupun tensedianya sumber daya alam. Dunia sedang diperebutkan oleh perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan-perusahaan yang memiliki orang-orang pandai yang menguasai teknologi mutakhir, terutama sekali information technology, nantinya akan menang dalam perebutan ini. Disukai atau tidak, kita tidak dapat menolak kenyataan berkembangnya knowledge capitalism. Kekuatan dari knowledge capitalism terutama bersumber dan dikembangkan dari lembaga-lembaga pendidikan. Kenyataan seperti ini kiranya mendorong kita, masyarakat pendidikan yang terdiri dari para penguasa, penentu kebijakan, pengelola, pemilik dari pengurus yayasan dan lembaga pendidikan untuk benar-benar berperan serta mengkaji kembali sistem pendidikan di tingkat nasional dan di tingkat lokal. Sistem pendidikan nasional tentu saja akan dapat diperbaiki kalau kita terbuka untuk mengembangkan paradigma baru yang sesuai dengan hakikat, kebutuhan dan tujuan mulia kehidupan manusia di zaman yang berkembang dan berubah sangat cepat.

Pemahaman Terhadap Kebutuhan Dunia Industri

Agar dapat menyediakan sumber daya manusia bagi dunia industri, kita perlu mengetahui dengan jelas apa yang menjadi kebutuhan industri. Sudah banyak semiloka yang dilaksanakan untuk memahami kebutuhan SDM dunia industri. Sudah banyak pula kebijakan yang ditetapkan mengenai hal itu, termasuk perencanaan program link and match, dan diklat berdasarkan kompetensi. Mengapa dunia pendidikan belum bisa memenuhi kebutuhan dunia industri ? Cara terbaik untuk memahaminya adalah dengan mengadakan studi atau penelitian, seperti yang dikatakan Qentoro (2000), bila kita mencermati iklan-iklan lowongan kerja di berbagai surat kabar Indonesia terkemuka terbitan Jakarta, umumnya persyaratan jabatan yang diminta adalah :

• Menguasai bahasa lnggris

• Mahir menggunakan komputer

• Memiliki kepribadian yang baik

• Mampu bekerja dalam tim

• Memiliki ketrampilan komunikasi dalam hubungan antar pribadi

• Memiliki kualitas kepemimpinan

• Memiliki kemampuan berinisiasi dan berkreasi

• Memiliki semangat dan jiwa kewirausahaan

• Memiliki prestasi yang tinggi dalam bidang studinya

• Tamatan lembaga pendidikan terkemuka

Dari isi dan syarat-syarat iklan ini dapat disimpulkan bahwa yang dibutuhkan dunia industri bukan SDM yang sekedar pandai dan terampil, tetapi manusia yang memiliki karakter yang baik dan mampu berpikir kreatif, memiliki kualitas kepemimpinan, memiliki semangat kewirausahaan, dan mampu berkomunikasi dalam bahasa lnggris. Inilah kebutuhan dunia industri yang harus dijadikan tujuan suatu lembaga pendidikan.

Problematika Kepemimpinan dan Manajemen Pendidikan

Di lembaga pendidikan teknologi dan kejuruan, masalah kepemimpinan dan manajemen selalu terkait dengan visi, misi dan profesionalisme yang sering berujung pada masalah dana. Kelemahan umum yang dialami lembaga pendidikan selama ini ialah karena diperlakukan sebagai lembaga sosial berciri kedermawanan yang tidak menuntut adanya profesionalisme, apalagi untuk menentukan visi dan misi secara gamblang. Para pemimpin dan pengelolanya dianggap dan juga menganggap dirinya sebagai sukarelawan, dengan penekanan pada dedikasi. Bagi mereka, pernyataan visi dan misi tidak diperlukan. ini baik, karena menyiratkan adanya will-power serta pengharapan, tetapi dari segi profesionalisme itu tidak benar. Will-power harus didukung oIeh way- power, dan ini hanya mungkin bila ada profesionalisme yang ditandai oleh adanya vision-statement dan mission-statement.

Pengembangan dan juga perbaikan lembaga pendidikan teknologi dan kejuruan harus didasarkan pada visinya. Para pemimpinnya harus memiliki gambaran masa depan yang ideal bagi organisasinya, dan apa saja yang harus dialami atau diusahakannya sehingga gambaran ideal itu tercapai. Kalau suatu lembaga pendidikan bisa melihat dirinya yang ideal sebagai penghasil SDM yang handal secara spesifik bagi industri, maka lembaga tersebut memiliki visi. Visi tersebut harus dinyatakan melalui vision-statement, dan selanjutnya apa yang akan dikerjakannya dijabarkan dalam mission statement, Disadari atau tidak, setiap lembaga memiliki visi, hanya saja belum dinyatakan secara jelas. Kalau lembaga pendidikan tidak bersedia merumuskan visi dan misinya, itu berarti lembaga terkait tidak mau bertanggung jawab mengenai apa yang harus dicapainya dan membiarkan dirinya dihanyutkan oleh perkembangan yang ada. Lembaga pendidikan yang tidak memiliki vision-statement tidak akan memiliki komitmen untuk melakukan perbaikan. Lembaga yang tidak memiliki mission-statement juga tidak memiliki komitmen untuk keberhasilan dan tidak tahu apa sebenarnya yang penting bagi dirinya. Jadi untuk melakukan perbaikan lembaga pendidikan harus merumuskan vision- statement dan mission-statementnya.

3. Model Pengendali

Untuk mengendalikan, merencanakan dan melaksanakan usaha di pendidikan teknologi dan kejuruan, dapat dimanfaatkan pendekatan model pengendali atau Franklin Reality Model, sehingga bilamana tenjadi penyimpangan, dapat dildentifikasi lokasi dan jenis penyimpangan.

Dalam makalahnya Oentoro (2000), menjelaskan bagaimana Franklin Reality Model dipakai oleh pencetusnya untuk menerangkan proses strategis dalam memenuhi kebutuhan. Jika langkah-Iangkah dan keputusan yang diambil setiap langkah sudah tepat dan benar, maka tujuan atau kebutuhan yang ingin dipenuhi seharusnya dapat benar-benar tercapai atau terpenuhi. Kalau kebutuhan tersebut tidak terpenuhi atau tujuan tidak tercapai, maka model yang sama dipakai untuk mengidentifikasi lokasi penyimpangan ataupun lokasi permasalahan, sehingga jelas apa yang menadi persoalan dan kemudian dapat ditentukan langkah-Iangkah perbaikan.

Ada enam tahapan keputusan dan pengendalian, yang dimulai dengan (1) Penentuan kebutuhan yang harus dipenuh (needs); (2) Penentuan prinsip (principles); (3) Penentuan kebijakan atau aturan-aturan (rules); (4) Penerapan rencana (behavior); (5) Pencapaian hasil (results); (6) Pembandingan hasil dengan kebutuhan yang ditetapkan semula.

Setelah dilakukan pembandingan antara keinginan yang harus dipenuhi dengan hasil yang dicapai, akan muncul dua alternatif kemungkinan. Kemungkinan pertama yakni hasil memenuhi target yang ingin dicapai. Kemungkinan kedua adalah hasil tidak memenuhi kebutuhan sesuai harapan. Kalau hasil yang dicapai sudah sesuai dengan apa yang diharapkan, maka proses kepemimpinan dan manajemen dianggap baik dan tuntas. Bilamana hasil yang dicapai ternyata tidak sebagaimana yang diharapkan dari kebutuhan yang ditetapkan semula tidak terpenuhi, maka harus dicari di mana letak penyimpangan atau kesalahan. Untuk itu perlu dilakukan tahapan mengidentifikasi letak dan hakekat persoalan. Proses analisa ini dilakukan bertahap dengan urutan terbalik dari belakang ke depan, dimulai dari Iangkah terakhir (7) dalam skema di bawah, yaitu membandingkan berturut-turut behavior, rules dan principles. Apabila behavior tidak sesuai dengan rules, dapat dipastikan bahwa penyimpangan atau kesalahan terjadi pada behavior. Dengan demikian tindakan perbaikan harus dilakukan di sektor behavior. Kalau behavior sudah sesual dengan rules, maka rules dibandingkan dengan principles. Bilamana rules tidak sesuai dengan principles, maka kesalahan terletak pada rules, dan perbaikan perlu dilakukan di sektor tersebut. Tetapi kalau rules sudah sesuai dengan principles, maka yang perlu diperiksa atau ditinjau kembali adalah principles. Dalam kasus demikian, diambil kesimpulan bahwa kebutuhan tidak terpenuhi atau tujuan tidak tercapai karena prinsip-prinsip yang dianut memang tidak benar. Prinsip dalam hal ini menyangkut wawasan, nilai-nilai, dan paradigma. Prinsip yang semula dianggap baik dan benar bisa saja tidak demikian, karena faktor perubahan yang terjadi di segala sektor. Bisa juga karena prmnsip yang dianut semula memang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip universal yang abadi. Control model tersebut di atas untuk aplikasi perbaikan sistem pendidikan dapat dimodifikasi sebagai berikut:

(1) Menentukan kebutuhan dunia industri (needs); (2) Menentukan prinsip-prinsip (principles); (3) Menentukan kebijakan dan peraturan (rules); (4) Menetapkan rencana (planning);(5) Melaksanakan rencana dan mengawasi (process); (6) Memproduksi atau membuahkan hasil (result); dan (7) Membandingkan hasil dengan tujuan yang harus dicapai (feedback).

Dengan menerapkan model ini, dapat dianalisa bahwa kemungkinan masalah sistem ataupun lembaga pendidikan dalam menyediakan SDM bersumber dan kekeliruan / kesalahan yang terjadi pada salah satu ataupun beberapa dan tujuh tahapan kontrol, yaitu (1) Pemahaman tentang kebutuhan dunia industri sesungguhnya; (2) Pemilihan prinsip-prinsip; (3) Pengembangan kebijakan; (4) Pembuatan rencana kerja; (5) Pelaksanaan dan pengawasan proses pembelajaran; (6)

Pengukuran keberhasilan; (7) Umpan balik dan tindak lanjut usaha

perbaikan pendidikan yang diperlukan.

Dengan asumsi dasar bahwa konsep noble industri dapat diterima,

maka selanjutnya kita harus memikirkan langkah-langkah yang perlu

diambil dan upaya apa yang mesti dikerjakan. Berdasarkan asumsi ini,

tindakan perbaikan itu hendaknya dimulai dan sekolah sebagai SBU, dan harus didukung sepenuhnya oleh yayasan dan pemerintah.

Franklin Reality Model di atas dapat membantu menerangkan apa yang harus dilakukan di semua tingkat birokrasi. Alasan menggunakan pendekatan ini ialah karena produktivitas, efektivitas dan efisiensi pada dasarnya terkait dengan pengendalian atau control.

Dengan menggunakan model pengendali dalam merencanakan dan melaksanakan pendidikan, akan dapat diidentifikasi hal-hal khusus yang perlu mendapat perhatian seputar penentuan prinsip-prinsip, nilai-nilai dan penentuan kebijakan. Kesalahan-kesalahan mendasar biasanya terjadi pada penentuan prinsip-prinsip, nilai-nilai dan budaya organisasi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi penentuan kebijakan. Kebijakan yang keliru akan mengakibatkan kesalahan dalam perencanaan dan demikian selanjutnya, sehingga tujuan semula tidak tercapai. Jadi usaha perbaikan pendidikan akan banyak bertumpu pada penetapan prinsip. Disanalah sebenarnya diperlukan perbaikan.

4. Agenda Perbaikan Sistem Pendidikan

Pada dasarnya untuk perbaikan sistem pendidikan nasional perlu ditetapkan tiga agenda pokok (1) Pengembangan paradigma baru; (2) Mengatasi sikap yang paradoksal terhadap pendidikan; (3) Melaksanakan Education Re-engineering.

Mengembangkan Paradigma Baru.

Salah satu paradigma yang perlu dikembangkan ialah bagaimana memahami pendidikan sebagai industri mulia (noble industry). Paradigma terhadap yang amat melihat pendidikan sebagai kegiatan sosial dan bukan sebagai industri, akbatnya pendidikan tidak berkembang sesuai kemajuan zaman, sementara dunia berpikir serba industri, dimana pertumbuhan dan keuntungan sangat diperhitungkan, sehingga efektivitas dan efisiensi selalu di1adikan tolok ukur keberhasilan.

Paradigma yang lain yang perlu dikembangkan ialah Total Transformational Education (TTF). Melalui kegiatan pendidikan peserta didik sebagai makhluk Citra Tuhan (Imago Dei), yang terdiri dan substansi roh, iwo, dan tubuh dikembangkan secara utuh, terintegrasi dan seimbang. Tujuan akhir TIE adalah terbentuknya pribadi manusia dewasa yang arif dan berhikmat (wisdom), karena memiliki excellent competence, Godly character dan spiritual discernment. Excellent competence didapatkan dan pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Godly character merupakan hasil dan pengembangan budi pekerti sesuai standar yang telah ditetapkan Tuhan bagi manusia. Spiritual discernment adalah kemampuan transcendental yang diperoleh orang-orang yang telah mengalami transformasi spiritual karena kepatuhan dan kasihnya kepada Tuhan, sehingga ia dapat membedakan yang baik dan yang tidak baik secara rohani. Total Transformational Education mungkin dapat juga dipahami dengan istilah IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), IMTAQ (lman dan Taqwa) serta Budi Pekerti.

Mengatasi Sikap Paradoksal Terhadap Pendidikan

Sikap paradoksal adalah kendala yang besar pengembangan sistem pendidikan. Pendidikan selalu dikatakan penting dan harus diutamakan, namun demikian selalu diremehkan. Hal ini terjadi karena kebijakan pendidikan masih bersifat political driven, padahal kehidupan politik itu sendiri dalam proses terus menerus mencari bentuk. Mereka yang meremehkan justru yang gandrung pada pendidikan dan rela mengeluarkan biaya yang tinggi secara pribadi bagi pendidikan keluarganya. Mereka tahu bahwa masa depan bangsa ditentukan oleh kemajuan pendidikan. Demikian juga halnya dengan industri. Industri hanya bisa maju bila ditunjang oleh sumber daya manusia yang terdidik, pandai dan terampil, dan itu hanya mungkin bila pendidikan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.

Rekayasa Ulang Pendidikan (Education Reengineering)

Sejalan dengan berjalannya waktu yang senantiasa diiringi terjadinya perubahan, diperlukan adanya re-engineering pendidikan secara strategis. “Reengineering adalah perekayasaan untuk menghadirkan perubahan yang terbaik. (Wilardjo, 2000). Contoh mengenai perubahan yang sangat menonjol terjadi dalam bidang perekonomian dunia, di mana comparative advantage alamiah tidak lagi bisa diunggulkan, karena hal itu sudah menjadi man-made. “When we compare this to the economic battles in the past, the essential difference is the fact that comparative advantage is now man-made. Natural resources have dropped out of the competitive equation. In fact, a lack of natural resources may even be an advantage. Because the industries we are competing for (the industries of the future) are all based on brain-power.” (Lester Thurow, Changing The Nature of Capitalism) (Gibson, 1 997). Man-made yang dimaksud tidak lain daripada pendidikan yang menghasilkan SDM yang mengembangkan kemampuan pemikiran seoptimal mungkin. Thurow juga menandaskan bahwa : “The dominant competitive weapon of the twenty-first century will be the education and skills of the work-force.” Tujuan pembahasan mi adalah mengemukakan keterkaitan kedua belah pihak (pendidikan dan dunia industri), untuk mencari terobosan perbaikan pendidikan, agar dapat memberikan kontribusi kepada dunia industri. Dalam hal inilah dibutuhkan re-engineering sistem pendidikan. Alasan tema pencarian terobosan ini adalah kepentingan timbal balik antara pendidikan dan dunia industri, dan juga kepentingan umat manusia yang menjadi tujuan bersama pendidikan dan industri.

5. Penerapan Manajemen Berbaisis Sekolah

Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah sebuah konsep “baru” yang sedang diterapkan sekolah-sekolah di Indonesia. MBS adalah sebuah pendekatan pengelolaan sekolah yang bertitik tolak dari pemikiran, pertimbangan, kebutuhan dan harapan dari sekolah itu sendiri. Artinya, sekolah akan berakar dan bertopang pada kondisi nyata masyarakat setempat dan bukan lagi mengikuti ‘bulat-bulat’ petunjuk pemerintah (Sigit, 2001). Dengan kata lain, sebuah sekolah akan melaksanakan keingingin masyarakat pendukungnya, atau stakeholder-nya. Mereka dapat terdiri dari orang tua murid, masyarakat, pelaku ekonomi, lingkungan sosial yang mempunyal tuntutan pendidikan yang khas, kebutuhan pembangunan setempat, hingga policy otonomi daerah untuk mempercepat kemajuan.

lstilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school-based management”. lstilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan cigar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap pada kebutuhan setempat. Pelibatan masyarakat dimaksudkan agar mereka dapat memahami, membantu, dan mengontrol pengelolaan pendidikan. Dalam pada itu, kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah harus pula dilakukan oleh sekolah. Pada sistem MBS, sekolah dituntut secara mandiri menggaui, mengabokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah.

MBS merupakan salah satu wujud dan reformasi pendidikan, yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan. Hal ini dimungkinkan karena pada sebagian masyarakat tumbuh rasa kepemilikan yang tinggi terhadap sekolah.

MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi MBS sesuai dengan kondisi setempat, sekolah dapat lebih meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada tugas. Keleluasaan dalam mengelola sumber daya dan dalam masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong profesionalisme kepala sekolah dalam peranannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah. Dengan diberikannya kesempatan kepada sekolah untuk menyusun kurikulum, guru didorong untuk berinovasi, dengan melakukan eksperimentasi-eksperimentasi di lingkungan sekolahnya. Dengan demikian, MBS mendorong profesionalisme guru dan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan disekolah. Melalui penyusunan kurikulum elektif, rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan sempat meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan peserta didik serta masyarakat sekolah. Prestasi peserta didik dapat dimaksimalkan melalui peningkatan partisipasi orang tua, misalnya, orang tua dapat mengawasi langsung proses belajar anaknya.

6. Otonomi Sekolah dan MBS

Otonomi dan MBS mewajibkan sistem untuk memperlakukan sekolah sebagal strategic business unit (SBU). Kepemimpinan dan manajemen harus berbasis pada pengoperasian sekolah yang harus bisa membiayai dirinya sendiri, unggul dalam persaingan, dan terus menerus mengembangkan diri. Sebagai SBU, sekolah ditantang untuk memperbaiki diri agar mampu memenuhi kebutuhan SDM dunia tenaga kerja. Ini tidak berarti bahwa sekolah akan berdiri sendiri. Sekolah tetap berada di dalam dan menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Sementara itu, sistem pun diharapkan untuk memperbaiki diri, dalam rangka mendukung usaha perbaikan sekolah-sekolah. Dari sisi school-based leadership and management, perencanaan dilakukan secara bottom-up, walaupun tentu saja tetap mengindahkan kebijakan yang biasanya bersifat top-down. Pimpinan dan pengelola sekolah harus mengembangkan profesionalisme, memahami kebutuhan umum dan kebutuhan khusus dunia industri, seria berusaha untuk memenuhinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar